Tentangmu, Wahai Lord

Ridwan Zamroni
Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia. Menjelajahi sastra dan senjatanya. Menulis buat berpikir dan berpikir buat menulis. Membaca sebagai referensi dan menjadikannya puisi.
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2022 17:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridwan Zamroni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai salah satu dari penjelajah media digital yang dinamis ini, sudah tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak pernah mendengar nama-nama seperti Lord Rangga, Lord Adi, hingga Lord Luhut Panjaitan sekalipun. Jika dilihat sekilas, nama-nama tersebut seakan-akan menggambarkan manusia-manusia hebat sekelas raja-raja Britania. Namun, kenyataannya julukan "lord" tersebut justru punya arti lain bagi kebanyakan orang sekarang ini. Khususnya bagi mereka yang sebelumnya mengenal betul budaya sepakbola dunia. Sebab faktanya, julukan tersebut justru menjadi humor tersendiri bagi para penggiat sepakbola. Maka dari itu, saya tertarik untuk mengupas seluk-beluk "lord" ini secara pragmatis.
ADVERTISEMENT
Menurut George Yule (1996) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna yang dikomunikasikan oleh pembicara (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Salah satu konsepnya adalah inferensi, yaitu kegiatan menyimpulkan apa yang dimaksud oleh penutur (referen). Fenomena julukan "lord" sendiri sangat erat kaitannya dengan bagaimana masyarakat menyimpulkan julukan tersebut secara berbeda dari makna leksikalnya sendiri. Sehingga konsep inferensi ini dianggap cocok untuk menjelaskan bagaimana fenomena ini beredar di masyarakat. Kemudian juga dilihat bagaimana fenomena ini mempengaruhi masyarakat secara luas.
Pengertian "lord" secara singkat diartikan sebagai raja atau seseorang yang berkuasa atas sesuatu. Istilah "lord" sendiri merupakan sapaan/gelar yang diberikan kepada raja-raja atau pangeran-pangeran Inggris. Sehingga tak ayal julukan tersebut pernah keren pada masanya. Namun, kebesaran tersebut berubah dengan cara yang konyol pada 2015 silam. Nicklas Bendtner, pemain Denmark yang kala itu merumput di Arsenal, mendapatkan julukan "lord" dengan makna lain untuk pertama kalinya. Julukan tersebut dinisbahkan oleh para fans justru sebagai cemoohan terhadap kontradiksi antara omong besarnya di luar lapangan dengan performa buruknya di lapangan. Sejak saat itu, julukan "lord" sontak berubah drastis derajatnya terutama di kalangan pesepakbola.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, julukan tersebut meluas ke ranah lainnya. Misalnya saja pada Rangga Sasana dan Luhut B. Panjaitan yang berkecimpung di dunia politik, serta kepada Adi MasterChef yang berkecimpung di dunia kuliner. Penisbatan tersebut terjadi atas dasar statement-statement mereka yang di luar nalar dan kontroversial di tengah-tengah masyarakat. Sama halnya dengan apa yang dilakukan Zlatan Ibrahimovic, Martin Braithwaite, sampai Jesse Lingard yang ke semuanya memiliki motif yang sama, yaitu "sesumbar besar-besaran". Sehingga konsep tersebut perlahan-lahan menjadi inferensi yang pakem digunakan masyarakat sekarang ini terhadap julukan "lord" di atas.
Demikianlah analisis tersebut membuka mata kita. Sedikitnya mengenai kultur yang semakin lama semakin dinamis saja, serta bagaimana sebuah istilah bisa memicu inferensi yang berbeda atau berubah-ubah di kemudian hari. Beruntungnya, dalam hal ini inferensi negatif dari julukan "lord" tersebut justru memberikan suasana humor yang hangat di tengah kejenuhan media yang diisi pergolakan politik dan hukum. Namun sayangnya, inferensi negatif tersebut juga menjadi keprihatinan, khususnya bagi julukan yang ditujukan kepada para pelaku politik dan hukum itu sendiri. Sebab penisbatan "lord" bagi para penyelenggara negara justru menginterpretasikan kinerja yang sama ampasnya dengan kinerja pesepakbola berjulukan sama.
ADVERTISEMENT
Di luar itu semua, fenomena ini mampu menjadi bukti bahwa perkembangan bahasa dan maknanya adalah suatu keniscayaan yang tidak mudah ditebak. Ladang baru yang seharusnya kita sadari potensi dan bahayanya. Sehingga kita tidak hanya terjebak sebagai penonton kemajuan saja. Namun juga berperan di dalamnya. Tentu saja dengan cara yang dibenarkan oleh norma.
Martin Braithwaite, salah satu pemain yang mendapatkan julukan "lord", Sumber: https://www.instagram.com/braithwaiteofficial