Bukan Salah Nagita Slavina

R Graal Taliawo
Pegiat Sosial dan Mahasiswa S3 Ilmu Politik di Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
7 Juni 2021 13:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R Graal Taliawo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bukan Salah Nagita Slavina
zoom-in-whitePerbesar

Polemik penunjukan ikon PON XX Papua

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan pemberitaan mengenai Papua agak lain. Lini masa sedang ramai dengan pro-kontra penunjukan Nagita Slavina (selebritas non-Papua) sebagai duta (utusan) yang kemudian diralat menjadi ikon (simbol: maskot?) Pekan Olahraga Nasional (PON) Ke-XX di Papua.
ADVERTISEMENT
Adalah Arie Kriting, komika asal Timur Indonesia, yang mengkritik penunjukan Nagita. Ia mempertanyakan alasan PB-PON mengambil kebijakan tersebut. Melalui Instagram pribadinya, ia menulis, “…Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua.” Menurutnya, ini akan lebih otentik dan menjadi sinyal baik bagi pengakuan atas keberagaman. Meski begitu, Arie juga tak memungkiri bahwa popularitas Nagita bisa mendongkrak sosialisasi PON Papua dengan cepat. Atas pertimbangan itu, dia menyarankan agar Nagita cukup diposisikan sebagai sahabat Duta PON.

Bukan salah Nagita dan kebijakan afirmasi

Logo PON Papua dalam bentuk Pictogram. Foto: Dok. Media PON XX
Penting ditegaskan bahwa polemik ini sebenarnya bukanlah kesalahan Nagita. Tidak tepat jika kritik atas kebijakan penunjukan tersebut seakan sedang menghakimi Nagita, karena sesungguhnya dia juga adalah “korban”. Sumber masalahnya ada pada kebijakan PB-PON sendiri, selaku penanggung jawab utama. Penunjukan ini mencerminkan adanya sikap yang tidak linier antara PB-PON dengan semangat kebijakan afirmasi pemerintah terhadap masyarakat Papua yang telah dan sedang terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Selama ini, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, baik pembangunan manusia maupun infrastruktur di Papua, dinilai belum mampu sepenuhnya menjawab peningkatan kesejahteraan ekonomi dan kebutuhan penghargaan atas harkat dan martabat serta rasa keadilan masyarakat Papua. Masyarakat Papua itu memiliki pengalaman sejarah politik panjang yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, mulai dari integrasi tahun 1969 hingga hari ini; konflik kekerasan dan tuntutan untuk penentuan nasib sendiri masih terus mengemuka dan terjadi hingga hari ini.
Menghadapi konflik politik tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua pada 2001. Otsus dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah. Pun, satu sisi sebagai simbol bahwa pemerintah Indonesia memiliki keinginan politik untuk menyejahterakan dan mengangkat harkat dan martabat masyarakat asli Papua. Sejak tahun 1960-an, negara dianggap gagal dan lalai memanusiakan orang asli Papua. Kekhususan atau pemberian status istimewa ini dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Papua seutuhnya, terutama orang asli Papua (OAP), sehingga secara perlahan juga bisa ikut meredam keinginan untuk penentuan nasib sendiri.
ADVERTISEMENT
Otsus memberi ruang representatif untuk teraktualisasinya nilai dan kearifan lokal masyarakat Papua, jati diri mereka, kebebasan untuk berkembang dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Di dalamnya mengandung lima prinsip, yakni proteksi, afirmasi, pemberdayaan, universal, dan akuntabilitas masyarakat Papua (Mohammad Abud Musa’ad, 2012). Berdasarkan itu, kita dapat melihat bagaimana upaya pemerintah untuk mengakomodasi kesejahteraan masyarakat Papua. Pentingnya masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, menjadi subjek dalam pembangunan.
Kata lain, kehadiran kebijakan Otsus menandakan bahwa negara sedang melaksanakan kebijakan dan perlakuan berbeda (diskriminasi positif) terhadap orang asli Papua dibandingkan dengan warga negara Indonesia lainnya. Bahwa Papua dan khususnya orang asli Papua diperlakukan secara berbeda atau bisa disebut “diistimewakan”, sebagai akibat telah lama mereka diabaikan dan dilupakan dalam pembangunan.
ADVERTISEMENT
Situasi ini perlu dipahami oleh semua pihak, agar tuntutan-tuntutan diafirmasinya orang asli Papua dalam segala sektor hidup bisa disikapi secara proporsional dan wajar, termasuk dalam kaitan dengan penyelenggaraan PON hari ini.
Didapuk sebagai tuan rumah PON XX, tentu menjadi salah satu bentuk nyata dari kebijakan afirmasi tersebut. PON menjadi wujud bahwa pemerintah Indonesia mau memberikan kepercayaan, tanggung jawab, dan wadah bagi masyarakat Papua untuk merasakan rangkulan negara dalam mewujudkan semangat Otsus. Sejak penunjukan tuan rumah pada 2014, memang semangat afirmasi itulah yang digaungkan. Meski memiliki keterbatasan-keterbatasan dari sisi kesiapan infrastruktur penyelanggaraan, Papua tetap ditunjuk menjadi tuan rumah PON. Diharapkan melalui PON, bisa memacu percepatan pembangunan infrastruktur di daerah.
PON adalah bagian upaya pemerintah untuk mendorong pencapaian keadilan dan kesetaraan berbagai provinsi untuk mengakses kesempatan yang sama, termasuk bagi Papua. PON dimaksudkan menjadi ajang bagi Papua untuk unjuk diri, menunjukkan potensi yang selama ini “terpendam”, seperti keunikan potensi sumber daya manusia, keragaman budaya, keramahan sosial, dan potensial kekayaan pariwisata.
ADVERTISEMENT
Harapannya masyarakat Papua sebagai kunci PON dilibatkan seluas-luasnya, supaya mereka merasakan tujuan afirmasi tersebut. Penyelenggaraan PON perlu mengedepankan pemberdayaan dan pembangunan masyarakat Papua demi mengurangi kesenjangan dan memberikan peluang yang sama. Jadi, makna dan tujuan PON di Papua itu “istimewa”, lebih dari sekadar ajang olahraga dan hiburan.
Sayangnya, semangat dan kebijakan afirmasi ini tidak tercermin, khususnya dalam penunjukan ikon yang bukan perempuan asli Papua. Semangat dan kebijakan afirmasi yang berusaha dibangun pemerintah menjadi seakan tidak konsisten, karena mestinya posisi itu bisa diisi oleh perwakilan orang asli Papua, sebagai bentuk komitmen pemberdayaan dan pengaktualisasian jati diri masyarakat Papua.
Juga sebagai penghargaan atas harkat dan martabat masyarakat Papua. PB-PON seharusnya memahami bahwa duta atau ikon itu harus mencerminkan afirmasi, yang berarti Duta Papua untuk Indonesia, bukan Duta Indonesia untuk Papua.
ADVERTISEMENT
Argumen bahwa pemilihan duta/ikon adalah percepatan sosialisasi, sebenarnya bisa diuji relevansinya. Sesungguhnya ada banyak cara atau strategi lain yang bisa dipilih tanpa harus mengesampingkan keterwakilan masyarakat asli Papua pada peran sebagai duta ataupun ikon PON. Selama ini sosialisasi PON melalui media nasional (cetak maupun elektronik) relatif jarang terlihat. Padahal, daya jangkau media-media tersebut tidak bisa dianggap kecil.
Kerja-kerja publikasi dari PB-PON pun dianggap belum maksimal. Penunjukan Nagita bisa disebut sebagai jalan pintas, meski pemberdayaan potensi kelompok pemengaruh (influencer) media sosial asli Papua juga banyak dan belum tampak dilibatkan. Padahal, mereka adalah kelompok anak muda potensial yang bisa diajak untuk mengambil peran publikasi dan sosialisasi PON.
Sebaiknya, program sosialisasi terlebih dulu mengajak kelompok pemengaruh (influencer) dan para pembuat konten (content creator) asal Papua ini sebagai yang utama. Kalaupun mendesak, barulah melibatkan pemengaruh nasional sebagai pelengkap untuk mendongkrak sosialisasi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, PON juga seharusnya mendatangkan manfaat bagi masyarakat Papua. Dana yang digunakan untuk penyelenggaraan PON bisa diatur agar dinikmati oleh masyarakat Papua, melalui pelibatan mereka pada setiap bagian penyelenggaraan PON. Setali tiga uang, PON harus bisa menjadi medium untuk mengimplementasikan nilai-nilai dan semangat Otsus.
Selain itu, adalah tidak tepat jika meminta masyarakat Papua untuk merasa terwakili oleh sosok duta atau ikon yang bukan orang asli Papua. Jati diri dan martabat adalah hal yang esensial dan sensitif bagi suatu masyarakat, termasuk bagi orang asli Papua. Di sisi lain, keberadaan nasionalisme ke-Indonesia-an di Papua juga berbeda dengan daerah lain.
“Nasionalisme ganda” masih hidup pada sebagian orang Papua. Dengan meminta masyarakat Papua menerima dan merasa terwakili atas duta atau ikon yang bukan perempuan asli Papua, tentu akan menambah panjang daftar ketidakadilan yang telah dialami oleh masyarakat asli Papua. Padahal, situasi ini perlu dihindari karena berpotensi menggoyahkan semangat afirmasi yang selama ini telah diupayakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kontroversi ini perlu disudahi. PB-PON dan penyelenggaraan PON harus ikut mewujudkan semangat dan kebijakan afirmasi yang selama ini telah diupayakan pemerintah atas Papua. Ini waktunya harkat dan martabat perempuan/orang asli Papua diangkat dan menjadi kunci dalam cerita sukses penyelenggaraan PON. Karena itu, sebaiknya putusan penunjukan Nagita Slavina segera dicabut. Di sisi lain, atas dasar pemahaman ini, baiknya Nagita juga menarik diri dari pemosisian dirinya sebagai ikon—suatu kekeliruan lainnya, sebab ikon itu umumnya berbentuk simbol benda: sejenis maskot. Cukuplah Nagita menempatkan diri sebagai “sahabat duta PON”—sebagaimana saran komika Arie—atau mengambil peran lain demi menyukseskan PON XX di Papua.