Konten dari Pengguna

Siapkah UMKM Indonesia?

29 Oktober 2017 19:41 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riendo Wifarsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Esai ini dibuat untuk mengikuti Indonesia Challenge on Economic Ideas sebagai rangkaian dari Forum Studi dan Diskusi Ekonomi yang diselenggarakan oleh HIMIESPA FEB UGM.
ADVERTISEMENT
Oleh: Rindo Wifarsyah dan Annisa Dewi Syafrina (Sparkle_Universitas Andalas)
Seiring berkembangnya perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (free trade) dikawasan Asia Timur sejak tahun 2000, dunia bisnis dan perdagangan juga ikut berkembang. Tren perdagangan produk final (final goods) saat ini semakin berkurang dan sebaliknya tren perdagangan barang-barang intermediate justru berkembang. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya pola jaringan rantai produksi yang dilakukan secara terpisah dibeberapa negara secara regional bahkan global (GVC). Literatur menyebutkan bahwa GVC dapat menguntungkan pihak yang terlibat didalamnya, terutama produsen-produsen dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Tergabungnya Indonesia dalam Free Trade Area ini secara tidak langsung akan mengekspos usaha atau bisnis di dalamnya terhadap perdagangan Internasional.
Di Indonesia, sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan perekonomian. UMKM sudah terbukti menjadi sektor yang tangguh serta mampu bertahan dari krisis ekonomi 1998. Tak ayal, oleh karena perannya yang strategis sebagai pilar perekonomian yang tangguh, saat ini UMKM telah menjadi pusat perhatian dari pemerintah dengan menjadikannya sebagai agenda utama pembangunan ekonomi Indonesia. Menurut data dari KUKM dan BI, Pertumbuhan UMKM di Indonesia dalam periode 2011-2015 adalah 2,4%. Pada tahun 2015, jumlah UKM di Indonesia diperkirakan 60,7 juta unit usaha, dengan pertumbuhan terbesar terdapat pada usaha menengah yaitu sebesar 8,7%. Jika kita melihat kontribusi UMKM terhadap pembentukan Product Domestic Bruto (PDB) terjadi tren kenaikan. Pada periode 2009-2013, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 57,6%, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,7%. Sebagian besar PDB UMKM disumbangkan oleh usaha mikro (49,6%), dengan sektor perdagangan, pertanian, dan industri pengolahan mendominasi kontribusi terhadap PDB tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitannya dengan Global Value Chain (GVC), banyak pihak yang mengatakan bahwa UMKM penting untuk dilibatkan dalam jaringan pasok global ini karna akan memberikan keuntungan bagi UMKM. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan nasib UMKM di Indonesia ?
Selama ini, yang banyak terlibat dalam GVC adalah perusahaan-perusahaan besar. Padahal sektor usaha kecil menengah (UMKM) adalah kekuatan penggerak utama (major driving forces) perekonomian di Asia Pasifik. Menurut David S Hong, president of Taiwan Institute of Economic Research, mengatakan bahwa peran serta UMKM dalam GVC sangat penting dilakukan karna selain akan menggerakkan perekonomian juga akan berpengaruh positif terhadap perkembangan UMKM itu sendiri. Menurut dia, setidaknya ada dua keuntungan bila UMKM didorong untuk berpatisipasi dalam GVC. Pertama, akan meningkatkan kapabilitas UMKM karna dengan berpatisipasi dalam GVC, UMKM mau tak mau harus memenuhi persyaratan serta standar internasional. Kedua, akan mendorong UMKM untuk meng-upgrade produksinya sebab terasosiasi dengan perusahaan global.
ADVERTISEMENT
Memasuki pasar global tentu tak semudah dan semurah ketika memasuki pasar domestik. Kesiapan internal UMKM dan iklim usaha sangat menentukan keberhasilan UMKM untuk terlibat dalam pasar global. Berdasarkan analisis literatur dan data sekunder dapat disimpulkan beberapa kendala yang dihadapi oleh UMKM saat ini untuk menjadi bagian dari GVC.
Kendala
: Rendahnya kualitas SDM Indonesia
Sulitnya akses permodalan
Prosedur yang rumit dan biaya yang tinggi
Keterbatasan ketersediaan infrastruktur dan mahalnya layanan logistik
Jangkuan pasar yang sempit
Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat krusial. Memiliki SDM yang berkualitas akan memberikan dampak yang positif terhadap produktivitas perusahaan. Namun sayangnya, kualitas sumber daya manusia (SDM) UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM masih rendah (Azkiyyatus Syariifah, 2015, h.11). Hal ini disebabkan oleh budaya dan struktur kerja informal serta rencana karier yang tidak jelas, sehingga UMKM sulit menarik SDM yang profesional (Yuhua dan Bayhaqi, 2013). Lemahnya SDM pada sektor UMKM dapat terlihat dari penguasaan teknologi yang rendah, terutama untuk usaha mikro dan kecil, kesadaran (Awareness) untuk memperluas jangkauan pemasaran melalui e-commerce dan rendahnya kepemilikan sertifikasi internasional atau nasional (SNI) (WP BI N0.9, 2015).
ADVERTISEMENT
Faktor yang kedua yang menjadi penghambat UMKM untuk melakukan ekspansi adalah keterbatasan akses permodalan. Pada umumnya UMKM mengandalkan modal pribadi. Menurut hasil survei yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengembangan UMKM dan Koperasi pada tahun 2016 terhadap 30 UMKM, 85% dari UMKM menggunakan modal pribadi, 9% dari pinjaman bank, 3% dari modal ventura, dan 3% pinjaman dari teman. Perbankan merupakan sumber permodalan yang paling besar. John Danilovich, Sekretaris Jenderal International Chamber of Commerce, dalam acara WTO Public Forum 2016 menyebutkan akses terhadap pendanaan memang masih menjadi momok bagi UMKM di beberapa negara. Hampir dua-pertiga dari permohonan kredit oleh UMKM ditolak oleh bank ( WTO Trade Report, 2016). Bunga kredit bank dinilai masih sangat tinggi (WP BI No.9, 2015). Selain itu, banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi menjadi kendala utama yang dihadapi oleh UMKM untuk mendapatkan akses pendanaan dari perbankan.
ADVERTISEMENT
Kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) merupakan faktor ketiga yang menjadi kendala bagi UMKM. Dalam berusaha, UMKM dapat memilih bentuk badan usaha. Nyatanya, UMKM lebih memilih untuk berusaha dalam bentuk informal atau tidak melakukan formalisasi/ legalisasi usahanya. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya prosedur dan waktu yang harus dilewati, tingginya biaya yang harus dikeluarkan, terbatasnya modal untuk membentuk badan usaha formal dan adanya kekhawatiran terhadap pelaporan dan pembayaran pajak (WP BI No.9, 2015).
Tak peduli se-efisien apapun, perusahaan tidak akan kompetitif jika tidak didukung dengan infrastruktur yang efisien (ADB, 2014). Keterbatasan ketersediaan infrastruktur (hard and soft infrastructure) dan kualitas serta mahalnya layanan logistik menjadi kendala pertumbuhan bisnis secara keseluruhan di Indonesia (WP BI No.9, 2015).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengembangan UMKM dan Koperasi pada tahun 2016 terhadap 30 UMKM, 20% UMKM menggunakan media internet dalam memasarkan produknya. Dapat disimpulkan bahwa UMKM masih lemah dalam pemanfaatan teknologi dan inovasi, sehingga pemasaran produk UMKM hanya sebatas wilayah tertentu saja dan cenderung di lokasi keberadaan UMKM tersebut.
Tak bisa dipungkiri, hampir semua kendala-kendala diatas membuat rendah daya saing dan kinerja UMKM Indonesia . Menurut kami, hal ini wajar saja mengingat Indonesia dalam hal kebijakan pengembangan daya saing UMKM saja termasuk negara yang tidak punya Master Plan berbeda dengan Malaysia, Thailand dan Philipina. Studi lain juga menyebutkan bahwa selama ini pendekatan pemerintah kepada UMKM masih soal kesejahteraan sosial belum menyasar terhadap peningkatan daya saing. Selain itu, aspek-aspek utama seperti; teknologi komunikasi, logistik, dan keterbukaan ekonomi (aturan perdagangan dan investasi) - yang mempengaruhi tingkat partisipasi UMKM Indonesia dalam GVC masih jauh tertinggal dari negara- negara asean seperti hal Malaysia dan Thailand. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan perbaikan besar-besaran dalam meningkatkan daya saing UMKM dan partisipasi UMKM dalam GVC.
ADVERTISEMENT
Menurut kami, perbaikan ini bukan hanya tugas pemerintah tapi juga tugas bagi UMKM itu sendiri. Pada tahun 2015, OECD sudah memberikan lima poin rekomendasi bagi pemerintah sebagai pembuat keputusan dalam meningkatkan partisipasi dalam GVC. Isinya kurang lebih masih seputar tiga aspek diatas. OECD mengisyaratkan bahwa regulasi yang dibuat harus matang dalam memberi kemudahan usaha bagi UMKM.
langkah awal bagi pemerintah dalam hal ini adalah melakukan pendataan serta pemetaan terhadap seluruh UMKM khususnya yang bisa menjadi pemasok dalam jaringan produksi global. Pendataan serta pemetaan ini akan membantu pemerintah dalam membuat peng-clusteran industri sehingga kebijakan yang diambil lebih efektif terkait permasalahan internal ataupun eksternal UMKM. Selanjutnya pemerintah melakukan sosialisasi serta pembinaan (mentoring) secara intensif kepada UMKM mengenai GVC. Tak lebih pentingnya, pemerintah wajib untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga yang berkaitan dengan UMKM agar tidak bergerak lamban. Untuk UMKM sendiri, perlu untuk proaktif terhadap lingkungan bisnis mereka. Produktifitas dan Inovasi perlu ditingkatkan sembari memperbaiki daya tahan internal (immune system) agar dapat bersaing. Pada akhirnya, upaya melibatkan UMKM dalam GVC tidak akan berhasil bila pemerintah sebagai policymaker tidak memahami GVC dengan baik dan juga tidak bisa membaca peluang untuk dapat menghubungkan GVC itu sendiri dengan ekonomi domestik hingga UMKM dapat terlibat didalamnya (APEC, 2014).
ADVERTISEMENT
Lampiran:
Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian Nasional Tahun 2013 dan 2014
Keterlibatan Usaha Kecil dan Menengah ASEAN pada Jaringan Produksi Global
ADB.(2014). Industrial Policy in Indonesia: A Global Value Chain Perspective. Diakses 8 September, 2017, dari https://www.adb.org/sites/default/files/publication/110982/ewp-411.pdf
APEC.(2014). Integrating SMEs into Global Value Chains: Policy Principles and Best Practices, Policy Support Unit. Diakses 8 September, 2017, dari mddb.apec.org/Documents/2014/SMEWG/WKSP1/14_smewg38_wksp_002.pdf
Syariifah, Azkiyyatus.(2015).Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Diakses 14 September, 2017, dari skpm.ipb.ac.id/karyailmiah/index.php/studipustaka/article/.../1445
Bank Indonesia.(2015). Pemetaan Dan Strategi Peningkatan Daya Saing Umkm Dalam Menghadapi Mea 2015 Dan Pasca Mea 2025. Diakses 8 September, 2017, dari http://www.bi.go.id/id/umkm/penelitian/nasional/kajian/Documents/Pemetaan%20dan%20Strategi%20Peningkatan%20Daya%20Saing%20UMKM%20dalam%20Menghadapi%20Masyarakat%20Ekonomi%20ASEAN%20%282015%29%20dan%20Pasca%20MEA%202025.pdf
Bappenas.(2016). Penguatan UMKM untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas. Diakses 8 September,2017,dari https://www.bappenas.go.id/files/8014/8116/6753/Warta_KUMKM_2016_Vol_5_No_1.pdf
ADVERTISEMENT
DPR RI.(2016). Laporan Delegasi DPR RI ke Sidang WTO Public Forum 2016: Inclusive Trade. Diakses 8 September, 2017, dari http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BKSAP-13-c388400812e1992c141520562f1b5867.pdf
UNCTAD.(2013). Integrating Developing Countries’ SMEs into Global Value Chains. Diakses 8 September, 2017, dari unctad.org/en/Docs/diaeed20095_en.pdf
Read more at https://kumparan.com/topic/news/terkini#66hjG7eyECWkKeeL.99