Moderasi Beragama: Kunci Menuju Indonesia Emas 2045

Rif'an Ali Hafidz
Mahasiswa Manajemen Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta
Konten dari Pengguna
21 Mei 2024 15:47 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rif'an Ali Hafidz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: https://unsplash.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: https://unsplash.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Langkah Indonesia dalam meningkatkan level internasional status sebagai sebuah negara maju dari negara berkembang tampak akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Indonesia. Dalam agenda peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 pemerintah hendak membawa Indonesia menjadi negara maju, sejahtera, dan berkeadilan sosial bagi masyarakat. Peluncuran RPJPN ini juga merupakan manifestasi perayaan 100 tahun kemerdekaan sebagai upaya mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 dengan visi ‘Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan’. Berkaitan dengan itu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan setidaknya ada tiga hal pokok yang akan menjadi acuan untuk menggapai visi Indonesia Emas 2045. Pertama adalah stabilitas bangsa dan negara. Kedua, keberlanjutan dan kesinambungan dalam memimpin. Ketiga adalah sumber daya manusia (SDM), yang menjadi kekuatan besar bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rancangan Indonesia Emas 2045 ini berbarengan pula dengan peningkatan usia produktif sehingga memunculkan bonus demografi. Bonus demografi adalah fenomena terjadinya pertumbuhan populasi yang didominasi oleh usia produktif. Sesuai namanya, kondisi ini adalah bonus yang memberikan dampak positif bagi suatu bangsa (NISP 2022). Berkaca pada momentum penting bonus demografi untuk meningkatkan kemajuan sebuah bangsa pemerintah dituntut untuk bersikap inovatif dan solutif melalui sejumlah program, terutama untuk menyiapkan sumber daya manusia berkualitas. Terlebih jika kita melihat tepat pada tahun 2045 kelak maka rata-rata usia penduduk pada saat itu adalah mereka para generasi Z dan para generasi milenial yang di mana memasuki era usia produktif.
Namun, pekerjaan pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan Indonesia emas 2045 tampaknya akan menjadi sedikit lebih berat mengingat banyaknya permasalahan yang perlu sedini mungkin dicarikan solusi untuk kemudian diselesaikan.
Sumber Foto: https://pixabay.com/
Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi adalah rumah besar bagi pemeluk agama-agama. Tercatat terdapat 6 agama terakui di Indonesia yang tentunya pada masing-masing agama memiliki nilai kepercayaan dan cara peribadatan yang berbeda. Perbedaan ideologis dan kultur agama sering kali menjadi pemicu terjadinya konflik di tengah masyarakat yang heterogen. Temuan Umum Pada tahun 2022, SETARA Institute mencatat 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Angka ini berbeda tipis dengan temuan peristiwa pada tahun 2021, yaitu 171 peristiwa dengan 318 tindakan. Hal ini yang kemudian memunculkan narasi moderasi beragama oleh pemerintah untuk menjadi salah satu poin penting guna menyongsong Indonesia emas 2024.
Sumber Foto: https://www.wapresri.go.id/
Mengutip pernyataan Wakil Presiden Indonesia KH. Ma’ruf Amin di laman kemenpanrb, disampaikan bahwa moderasi beragama adalah salah satu kunci sukses Indonesia guna meraih masa keemasan pada tahun 2045. Lebih lanjut menurut Wapres, moderasi beragama adalah perisai untuk menolak pendekatan sekuler yang memisahkan agama dari urusan negara, serta konsep negara yang diatur oleh satu agama tertentu.
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama dan Indonesia Emas 2045 adalah dua hal yang tentunya saling berkaitan, karena kerukunan dan kedamaian negara adalah unsur terpenting untuk meningkatnya potensi ekonomi, pendidikan, sosial dan lain sebagainya. Karena, jika masyarakat Indonesia hidup dengan rukun dan damai, maka niscaya jalan menuju Indonesia emas 2045 akan semakin mudah untuk digapai.
Namun, narasi moderasi beragama yang mulai secara masif diperkenalkan ini tampaknya agak sedikit terlambat untuk disampaikan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan generasi yang akan berada pada puncak produktivitas pada tahun 2045 adalah mereka yang kini menyandang sebagai generasi z dan generasi milenial. Di mana menurut data terbaru pada tahun 2020 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama dengan Indonesia Survey Center memproyeksikan angka statistik bahwa penduduk Indonesia pada usia antara 14-35 tahun mencapai 62,4 persen. Artinya ada potensi SDM yang cukup besar untuk menyongsong Indonesia baru di masa depan, di mana sebagian besar dari penduduk Indonesia berada pada usia yang cukup produktif dan dekat dengan internet.
ADVERTISEMENT
Generasi Z dan generasi milenial ini juga erat kaitannya dengan generasi yang melek digital, sebagaimana yang tercatat pada APJII bahwa penetrasi pengguna internet tahun 2019-2020 adalah 196.71 juta jiwa dari 266.91 juta jiwa penduduk Indonesia atau dengan kata lain 73,7% penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Keterhubungan melalui desktop (9.5%) Laptop (19.7%) Gadget (95.4 %) dengan penggunaan 8 jam ke atas mencapai 19,5 persen. Alasan utama penggunaan internet adalah sosial media dan komunikasi. Sedangkan alasan lainnya yaitu untuk mengakses layanan publik, belanja online, games dan hiburan.
Kedekatan milenial dengan internet dan sosial media menjadikan arus informasi yang berjalan sangat cepat dan tanpa penyaringan adalah sebagai salah satu faktor terbesar pembentuk pola pikir dan sudut pandang masyarakat terutama kalangan milenial. Di mana tentunya informasi tentang agama tak luput dari hal yang ikut dikonsumsi pula.
ADVERTISEMENT
Akibat tidak adanya filterisasi dari arus informasi ini sehingga banyak informasi yang ditelan mentah-mentah yang tidak bisa dibendung. Kemudian menjadi pemicu kegaduhan dan perselisihan di antara masyarakat. Pemahaman yang salah dalam beragama adalah salah satu pemicu terbesarnya. Di mana akar radikalisme-ekstremisme dan liberalisme-sekularisme dalam beragama bak percik api yang kapan saja bisa membakar.
Tentunya pemerintah melalui narasi moderasi beragama berupaya untuk meredam pemikiran menyeleweng ini dalam rangka untuk menciptakan lingkungan yang tenang dan cinta damai sehingga nantinya berimbas kepada kemudahan jalan Indonesia menjemput Indonesia emas 2045.
Moderasi beragama sering kali disalah artikan sebagai upaya untuk meleburkan agama yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya sekat atau batasan-batasan di dalamnya. Sehingga memunculkan persepsi bahwa narasi moderasi beragama adalah narasi terselubung untuk memasukkan pemahaman liberal, sekuler dan plural di dalam tubuh batang agama.
ADVERTISEMENT
Namun nyatanya, moderasi beragama berdasarkan Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 897 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Rumah Moderasi Beragama didefinisikan sebagai ‘cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa’.
Prof. Quraisy Syihab juga menyampaikan bahwa moderasi beragama bukanlah posisi stagnan tetapi merupakan karakter dinamis yang aktif. Seorang moderat dalam keagamaannya berusaha merangkul kedua sisi dan tidak melepaskannya begitu saja. Moderasi juga merupakan sintesis dari dua premis yang saling berlawanan. Beragama secara moderat adalah model keberagamaan yang sesuai dengan spirit, ajaran dan nilai Islam.
Pemaknaan moderasi beragama yang diupayakan oleh pemerintah adalah usaha untuk menjadikan para pemeluk-pemeluk agama agar mampu bersikap moderat, yakni berpegang teguh pada keyakinan dan prinsip agama yang dia yakini serta menghormati dan berlaku toleran kepada agama ataupun keyakinan yang berlainnya dengannya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dengan upayanya berusaha memperkuat kalangan milenial akan pentingnya esensi moderasi beragama sebagai basis pilar menuju Indonesia emas 2045. Setidaknya terdapat 4 indikator atau tolak ukur ambang batas minimal seseorang dikatakan moderat, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap tradisi.
Komitmen Kebangsaan
Salah satu indikator dalam rangka untuk menguatkan moderasi beragama di Indonesia adalah komitmen kebangsaan. Hal ini bertujuan untuk mencapai stabilitas kebangsaan yang tentunya sesuai dengan semangat untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Peran milenial terhadap semangat moderasi beragama melalui peran komitmen kebangsaan dapat menjadi pelopor keutuhan NKRI dari incaran politik dan ideologi dalam dan luar negeri.
Namun, doktrin radikal bahwa Islam dan negara Indonesia adalah dua entitas berbeda dan terpisah yang difahami kalangan milenial telan memunculkan faham bahwa model negara Indonesia bukan merupakan model bernegara secara islami. Terlebih, tuntutan komitmen kebangsaan tidak sejalan dengan perilaku yang dipertontonkan elit politik yang korup dan hedonis, sehingga milenial banyak disuguhkan fakta pada informasi ketimpangan dan ketidakadilan pada apa yang seharusnya tidak terjadi sehingga memunculkan alternatif model lain, diantaranya khilafah sebagai bentuk pilihan terakhir dari ketidakberesan negara di dalam menjaga komitmen kebangsaan. Walaupun alternatif tersebut masih bersifat mengambang bukan rasional dan faktual, terlebih belum pernah diuji dalam model demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas pada fakta di lapangan memunculkan pesimistis di kalangan milenial terhadap narasi komitmen kebangsaan, alih-alih mengapresiasi, justru menganggap upaya pemerintah tersebut dipandang sebagai alat untuk melegalkan dan melenggangkan kekuasaan yang anti kritik.
Toleransi
Demi tercapainya generasi Indonesia emas 2045 pemerintah harus lebih fokus kepada generasi milenial saat ini. Kalangan milenial memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelopor di dalam berbagai hal dan konteks, terkhusus dalam menyampaikan pendapat, mengawal kebebasan berkeyakinan dan menjalakannya. Generasi milenial adalah generasi yang hidup di era globalisasi di mana baik secara langsung maupun tidak langsung berkontak dengan orang-orang yang beragam.
Secara kultur dan keyakinan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Generasi milenial saat ini memiliki peluang untuk berkolaborasi, bersaing dan menciptakan kemajuan bersama orang-orang dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dengan 87 persennya memiliki keterkaitan yang kuat terhadap kepribadian toleran. Hal itu tercatat jelas di dalam Al Quran surat Al Kafirun ayat 6, “lakum diinikum waliadiin”, bagimu agamamu dan bagiku agamaku, yang memuat tentang bagaimana sejatinya seorang muslim ketika bertemu dengan perbedaan dalam keyakinan.
Namun, kuatnya arus informasi radikalisme dari media massa menjadikan generasi milenial menggandrungi dakwah yang berisikan hasutan dan kebencian terhadap perbedaan. Terlebih, kalangan milenial adalah kalangan yang hanya mengakses informasi tidak lebih dari 300 kata atau tidak lebih dari 1 menit. Hal ini mengakibatkan informasi yang didapatkan tidak menyeluruh dan berbentuk olahan yang dipersingkat.
Sehingga menyebabkan diskursus teologi perihal agama yang benar tidak dipahami secara matang dan tuntas oleh generasi milenial. Sebagian milenial meyakini bahwa penguatan simbol-simbol keagamaan, intoleransi dan ekspresi kebencian terhadap suatu golongan adalah bagian dari ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Terlebih dakwah radikal yang menyasar generasi milenial ini lebih dikemas dengan model yang menarik dan memukau ketimbang dakwah toleransi yang digaungkan oleh arus utama Islam di Indonesia. tampaknya ada kecenderungan sikap pasif dari arus utama sehingga abai dalam melihat potensi bahaya radikalisme di kalangan milenial.
Anti Kekerasan
Milenial yang digadang-gadang sebagai penggerak kapal besar Indonesia pada tahun 2045 memiliki peluang untuk menjadi pelopor dalam menolak segala bentuk kekerasan baik kognitif, emosional maupun fisik. Persentuhan lintas etnik dan agama dapat menggerakkan paradigma humanisme dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Asa tumpuan milenial sebagai penjaga segala bentuk kekerasan di Indonesia tampaknya perlu usaha ektra, hal ini dikarenakan munculnya pemahaman konsep beragama yang keliru di kalangan milenial. Misalnya pemaknaan jihad dalam pengaktualisasian ajaran identik dengan kekerasan berlandaskan nahi munkar di mana seakan-akan agama mau tidak mau harus ditegakkan dengan pedang (kekerasan). Padahal sejatinya, agama lahir untuk membawa pesan kedamaian serta mengedepankan rahmat bagi alam semesta.
ADVERTISEMENT
Pemahaman dan sikap yang demikian tidak lepas dari fenomena ketidakadilan sosial, penyelewengan jabatan dan ketimpangan ekonomi sehingga memunculkan kekecewaan yang mendalam bagi kalangan milenial sehingga angin segar pemahaman radikalisme yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesejahteraan dengan perlawanan menggunakan kekerasan dan ketegasan tampak sebagai solusi terakhir kompleksitas yang terjadi.
Kita dapat melihat dengan jelas bahwa kekerasan yang dipelopori oleh ormas-ormas radikal kepada orang-orang yang memiliki sinyal penyelewengan terhadap syariat digerakkan oleh kalangan milenial. Mereka adalah orang-orang yang sedang dalam pencarian jati diri serta mencoba bereksistensi dan meraih kebermaknaan hidup tapi dilakukan dengan cara yang salah, yakni jalan kekerasan. Padahal kekerasan adalah hal yang paling jauh dari semangat beragama yang rahmatan lil alamin, karena agama sejatinya adalah agama yang penuh kasih dan cinta damai.
ADVERTISEMENT
Yusuf Al-Qardhawi memaparkan ciri-ciri kelompok radikal yaitu pertama, mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan pandangan yang berbeda. Kedua, keras dalam ibadah ketika yang sunah dianggap wajib dan makruh dianggap haram. Ketiga, kebanyakan mereka mengalami overdosis dalam beragama sehingga dalam berdakwah tidak mengenal graduasi dan proses (efek dari sikap ini adalah munculnya terorisme dan bunuh diri atas nama agama). Keempat, kasar dalam berinteraksi dan emosional dalam berdakwah. Kelima mudah berburuk sangka dan hanya melihat sisi negatif dari kelompok yang dianggap lawan. Keenam, mudah mengkafirkan orang yang berbeda pendapat.
Menurut Franz Magnis Suseno, human dignity atau martabat manusia itu ada karena pemberian tuhan. Dalam Pancasila, sila pertama ketuhanan yang masa esa erat kaitannya dengan sila setelahnya, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak mungkin seseorang yang mengaku bertuhan tapi mengindahkan aspek kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab. Begitu pula sebaliknya, bukti kongkret pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab perlu dibuktikan dengan penghambaan dan keyakinan sejati akan eksistensi tuhan sebagai Sang Pemberi. Nilai rahmatan lil alamin adalah konsensus bagi segenap agama, karena agama itu harus dirasakan sebagai rahmat oleh semua yang bersentuhan dengannya.
ADVERTISEMENT
Dengan penguatan pemahaman akan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, kekerasan dalam beragama dapat dihindari. Walaupun memang kekerasan juga terdapat di dalam nomenklatur agama, namun hal tersebut tidak menjadi penggerak utama agama. Dalam hal ini aspek kognitif atau pemahaman yang tepat dan benar tentang keagamaan menjadi penting sehingga meminimalisir intoleran dan gerakan radikal atas nama agama.
Penerimaan Terhadap Tradisi
Potensi pemuda dalam keikutsertaannya pada pengembangan tradisi yang telah ada dapat berdampak pada pelestarian nilai-nilai kearifan sebagai khazanah bangsa. Penerimaan terhadap tradisi bukan berarti menolak kebaruan, namun semangat “mempertahankan khazanah masa lalu yang baik dan mengambil khazanah masa kini yang lebih baik” adalah sikap dan pandangan yang harus tertanam pada setiap pemuda. Karena tradisi dan budaya adalah identitas kebangsaan yang harus dilestarikan meskipun jaman menuntut kebaruan.
ADVERTISEMENT
Adanya perang pemikiran yang secara masif digencarkan menekan kepada perilaku salaf as shalih serta penolakannya atas tradisi yang tidak sesuai dengan agama menjadi ancaman dan tantangan tersendiri. Terlebih, mayoritas kelompok yang menolak secara tegas tradisi dan budaya Indonesia nyatanya adalah mereka yang samar membedakan antara agama dan budaya arab. Terjadi pencampur-adukan budaya dan tradisi arab terhadap pemaknaan dan pemahaman seseorang dalam beragama. Faktanya, Islam adalah entitas yang tidak terikat dengan budaya ataupun tradisi arab, berlaku pula sebaliknya, tradisi dan budaya arab tidaklah merepresentasikan Islam sebagai sebuah aturan dan keharusan dalam beragama.
Akibatnya, khazanah, budaya, tradisi dan identitas lokal yang memiliki nilai tinggi terancam eksistensinya. Milenial yang tidak memahami dengan baik perbedaan antara substansi agama dan produk budaya serta pemahaman akan pentingnya sosial dan ketahanan bangsa akan dengan mudah terjerat dalam radikalisme dan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Kurangnya minat dan dukungan kalangan milenial terhadap tradisi kebangsaan telah menjadi sedemikian masif. Sosial media menjadi ujung tombak penanaman pengaruh bagi kalangan milenial dengan cara sistematis, kreatif dan modern. Ada keterlambatan antisipasi yang signifikan pada hari ini di mana milenial sudah sangat rentan terhadap faham-faham radikalisme penolakan tradisi.
Islam tidak tepat jika dikonfrontasi dengan ajaran agama terdahulu karena kehadiran Islam adalah mengakomodir dan menghimpun nilai-nilai kebaikan dari generasi sebelumnya. Islam juga tidak dapat dipertentangkan dengan universal human right atau hak asasi manusia universal karena kebebasan dan hak asasi manusia adalah bagian dari Islam. Islam juga tidak dapat dibenturkan dengan khazanah dan nilai-nilai lokal karena konsep universalitas Islam dapat dibangun dan ditegakkan dari tradisi dan keunikan lokal.
ADVERTISEMENT
Universalitas dalam ajaran Islam sebenarnya memberi ruang kepada nilai-nilai lokal dan tradisi untuk terus bertahan dan berkembang. Nusantara adalah contoh yang paling unik di mana Islam menjadi mayoritas sekaligus hadir dalam nuansa yang kaya, sekaya kearifan lokal yang terdapat di dalamnya. Disatu sisi, meskipun mereka jauh dari tempat kelahiran Islam tapi kehidupan mereka tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam sembari tetap menjaga tradisi dan budaya.
Nasruddin Umar menjelaskan lebih jauh akan penetapan asas-asas moderasi termuat dalam beberapa unsur-unsur seperti, Pertama al-ikha’ yaitu menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan kemanusiaan. Kedua al-musawwa di mana Islam lebih mengedepankan pada prinsip persamaan dari perbedaan. Ketiga, tasammuh yaitu toleran terhadap yang berbeda. Keempat, musyawarah yaitu memberi kesempatan secara terbuka kepada semua pihak untuk menyampaikan pendapat secara merdeka. Kelima, al-Mu’awanah yaitu bekerja sama dan saling menolong.
ADVERTISEMENT
Jalan panjang bangsa menuju masa depan Indonesia emas 2045 tampaknya akan menemui banyak kerikil dan batu tajam. Generasi milenial yang digadang-gadang akan menjadi penggerak kestabilan bangsa dan negara pada tahun 2045 tampaknya sedang dihadapkan pada kenyataan yang mengancam pada mimpi besar bangsa ini. Konfrontasi pada ranah toleransi yang mulai dihalau dengan narasi moderasi beragama tampaknya masih belum cukup mampu dan kuat menampung derasnya isu radikalisme dan gerakan ekstrem pemeluk agama yang sudah terkontaminasi baik secara langsung maupun melalui digital.
Masifnya gerakan radikal dan ekstrem dalam beragama di kalangan milenial ini tidak terlepas dari berbagai faktor. Walaupun era digitalisasi pada saat ini ditengarai menjadi faktor penyebab menjamurnya faham radikalisme namun juga tidak menutup kemungkinan terdapat faktor-faktor lain yang menjadi akar permasalahan seperti; potensi bibit radikalisme yang memungkinkan untuk ada pada setiap agama; pemahaman radikal dan ekstrem tentang fondasi berbangsa dan bernegara; adanya keterlambatan menanggulangi berbagai kasus radikalisme yang menjangkiti serta ketidakkonsistenan perangkat negara dalam menjalankan amanat konstitusi sehingga memupuk kekecewaan dan keputusasaan terhadap dinamisasi bernegara menjadi beberapa faktor yang menyebabkan larisnya sikap dan pemahaman radikalisme di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, diharapkan pada segenap elemen masyarakat terutama kepada pemerintah, para tokoh agama, intelektual dan akademisi untuk dapat saling bahu membahu kembali mengevaluasi dan memonitor usaha dalam meredam faham radikalisme melalui narasi moderasi beragama sembari mengupayakan rekomendasi-rekomendasi langkah strategis dalam rangka mewujudkan Indonesia emas 2045.
Wallahu alam