Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Balada Para Commuters; Jabodetabek diatas Rel dan Kebhinekaan Indonesia
22 Februari 2018 18:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Rifana Indira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suasana di KRL Jabodetabek (Foto Pribadi)
Jabodetabek hampir dipastikan adalah tempat tersesak di Indonesia ini. Kawasan yang dihuni oleh tak kurang dari 20 juta jiwa ini, sekitar 10 juta di antaranya commuter yang melakukan perjalanan pulang pergi khususnya ke Jakarta yang menjadi tempat pencaharian mereka pada pagi hari, dan sebaliknya pada senja hingga malam hari. Siklus itu berulang lagi keesokan harinya, lagi, lagi dan lagi.
ADVERTISEMENT
Pilihan moda transportasi tentu ada, yaitu kendaraan pribadi, bis dan kereta rel listrik (krl), namun krl menjadi pilihan banyak orang untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Mobilitas penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek per hari telah mencapai kurang lebih 1 juta orang pada awal tahun 2018. KRL dapat dikatakan adalah melting pot dalam kebhinnekaan Indonesia. Hampir setiap unsur dari Sabang sampai Merauke, terwakili dalam KRL.
Saya, adalah salah satu di antara berjuta itu. Ketika baru kembali ke Jakarta dari dinas di Hamburg tahun 2004, betapa shocknya saya harus menghadapi kompetisi dalam memasuki gerbong kereta. Kemudian betapa bahagia saya mengetahui ada gerbong wanita sehingga tidak perlu berdesak-desakan dengan lawan jenis. Namun ternyata terkejut lagi ketika gerbong wanita yang saya pikir penuh kehangatan dan kedamaian (versi lain dari bias gender) justru tak luput pula dari percecokan, saling dorong dan sikut, bertukar belalak mata, atau sekedar suara nyaring antar sahabat wanita bercurhat ria. Belum lagi, adanya penumpang yang pingsan. Korban pingsan bukan karena menyaksikan drama KRL yang kadang memang memancing emosi penonton, namun karena kondisi kesehatan yang tidak fit untuk bersesak-sesakan di dalam gerbong. KRL memang sampel unik dari bio hazard. Makanya saya mengenakan masker selama perjalanan.
ADVERTISEMENT
Dengan pengalaman naik commuter line atau metro subway di negara maju, yaitu Jerman (atau biasa disebut dengan U-bahn dan S-bahn) dan Korea Selatan, dapat saya katakan mungkin naik krl bagi para turis dari kedua negara ini mungkin akan jadi pengalaman dramatis yang juga akan membuat terkejut. Dalam masuk ke gerbong, mereka tentunya terbiasa mengantri sehingga yang datang awal tentu lebih berhak masuk terlebih dahulu. Namun di gerbong Indonesia, berlaku hukum survival of the fittest. KRL memang meriupakan laboratorium Darwinisme sosial berjalan, yang melaju dengan kecepatan 90-100 kph, secepat detak jantung para penumpangnya yang mengejar jam kerja masing-masing.
Stasiun U-Bahn di Hamburg (Foto: Wikimedia)
Didalam gerbong, baik Indonesia, Jerman dan Korea Selatan seluruhnya telah menerapkan tempat duduk prioritas. Di Jerman penumpangnya cenderung menaati tempat yang dituju khusus untuk wanita hamil dan lansia, selain itu mereka akan memilih untuk berdiri, meskipun penumpang sangat sedikit. Mereka juga sangat memperhatikan ketenangan, sehingga orang yang bicara atau mengobrol cenderung mengontrol suara agar tidak mengganggu orang lainnya. Sedangkan di Indonesia dan Korea Selatan, penumpangnya cenderung langsung menduduki saja tempat yang kosong, bisa dipahami juga karena jumlah penumpang yang terlalu banyak, asalkan langsung sadar diri ketika ada orang lain yang berhak.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang cenderung ekspresif di kedua negara menyebabkan suasana juga cukup meriah di dalam gerbong. Namun jika penumpang bepergian sendirian, semua akan sibuk dengan gadgetnya masing-masing, hingga bahkan tidak peduli dengan sekitarnya lagi. Di Indonesia orang juga cenderung selalu sibuk dengan handphonenya, di gerbong wanita semakin banyak ABG-ABG dan ibu-ibu yang menonton drama Korea di ponselnya. Menonton drama di dalam “drama”. Ruang pribadi pun semakin sempit. Para penumpang jadi seakan “bebas” melihat apa yang dibuka dan diketik penumpang sebelah atau depannya di layar ponselnya. Menumpang nonton, atau bahkan menumpang haru-biru atas adegan drama di layar ponsel penumpang sebelah, bukan hal yang jarang dijumpai. Saya ingat ketika ada teman yang bahkan melihat sendiri chatting yang sifatnya sangat pribadi dari penumpang lainnya.
ADVERTISEMENT
Suasana gerbong metro subway Seoul (Foto Pribadi)
Menariknya di Indonesia, meskipun mereka berada di atas KRL yang notabene produk industri modern, namun komunitas penggunanya tetap saja guyub. Di Indonesia, sebagian para pengguna tetap KRL ternyata membentuk komunitas dalam media sosial dimana mereka dapat sharing informasi, baik mengenai kondisi gangguan krl, dan aspek kehidupan lainnya. Mereka bahkan juga saling berkompak ria dalam mendorong kawannya untuk masuk dalam gerbong. Solidaritas ala oligarki. Meskipun harus menghadapi cibiran dari para penumpang lain yang sudah merasa terdesak didalamnya. Striving for the train indeed. Tapi disini ada juga aspek lain yang saya hargai. Kebersamaan mereka. Sedangkan, di kedua negara lainnya tidak dijumpai adanya komunitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Kehidupan di krl memang unik dan selalu ada cerita kecuali jika saya tertidur ketika dapat priviledge tempat duduk karena datang sebelum krl tiba. Saya memang masih naik krl meskipun tidak setiap hari karena adanya fasilitas bus kantor dan ini memang keuntungan saya naik di stasiun pertama keberangkatan dari Bogor.
Dengan semakin meningkatnya penumpang yang bergantung pada krl, semoga infrastruktur perkeretaapian semakin meningkat pula, sehingga meminimalisir gangguan dan memberikan kenyamanan penumpang. Demikian pula untuk penumpang, semoga tiap penumpang meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan untuk kenyamanan bersama. Bagaimanapun, KRL adalah potret kecil Indonesia.