Menilik Sejong Kota Otonom Pemerintahan Korea Selatan: Quo Vadis Perpindahan Ibu Kota?

Rifana Indira
ASN yang sedang bersekolah dan sebagai bagian Sesdilu 60
Konten dari Pengguna
31 Maret 2018 9:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifana Indira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana mengenai perpindahan ibukota Indonesia memang bukanlah hal baru. Pemerintah secara internal telah memulai pembahasan ini sejak lama, dan beberapa kota yang menjadi opsi rekomendasi pun sempat ter-ekspos di berbagai media. Semarang, Karawang, dan yang terakhir sering disebut-sebut adalah Palangkaraya.
ADVERTISEMENT
Wacana perpindahan ini semakin santer merespons situasi ibukota Jakarta yang terkena banjir berturut-turut dan kondisi yang makin terbatas untuk pengembangan kota. Selain itu, perpindahan ibukota bertujuan untuk mendorong pemerataan pembangunan nasional.
Negara-negara lain bahkan telah melakukan pemindahan ibukotanya, yaitu Jerman, Amerika Serikat, Brazil, dan Malaysia. Namun tak semua negara yang sempat mewacanakan pemindahan ibukota merealisasikan rencananya. Sebut saja Korea Selatan. Sebagai negara dengan masalah ibu kota yang sangat padat dan ingin memeratakan pembangunannya di wilayah lain, Korea Selatan-pun sempat mempertimbangkan untuk memindahkan ibukotanya.
Kebijakan pemindahan ibukota Korea Selatan dari Seoul ke lokasi lain telah dikampanyekan sejak sebelum masa kepresidenan Roh Moo-Hyun tahun 2002. Presiden Roh pun ketika menjabat sebagai Presiden mengeluarkan Undang-Undang Khusus Pemerataan Pembangunan Nasional, yang isinya antara lain adalah mendorong implementasi pemindahan Ibukota. Namun, rencana ini ditentang oleh oposisi dan parlemen, karena memakan biaya yang sangat besar dan kekuatiran akan terganggunya perekonomian yang banyak terpusat di Seoul. Pada akhirnya ibukota disepakati tetap berada di Seoul. Sedangkan kandidat ibukota baru, yaitu kota Sejong, akhirnya diberi status Kota Otonom Pemerintahan dan ditetapkan menjadi rumah baru bagi sejumlah kantor pemerintahan pusat. Sedangkan Istana Presiden, kantor parlemen, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri tetap berada di Seoul.
Pemandangan malam kota Sejong yang gemerlap. Foto: sejong.go.kr
ADVERTISEMENT
Terus terang proses ini menggelitik rasa ingin tahu saya. Tanpa diduga, saya akhirnya mendapatkan kesempatan ini ketika universitas tempat saya bersekolah di Seoul mengacarakan kunjungan studi ke kota ini pada tahun 2017 lalu. Nama kota Sejong berasal dari Raja Sejong yang berjasa menciptakan huruf Hangeul. Kota ini terkesan sangat tertata rapi dan bersih, namun karena saya datang dari kota Seoul yang sangat padat, kota ini masih terasa sangat sepi. Mungkin juga karena saat itu jam kerja, sehingga kesibukan lebih terkonsentrasi di dalam gedung-gedung, dan tidak di jalan rayanya. Di beberapa bagian kota masih banyak terlihat titik-titik pembangunan.
Kota Sejong terletak hanya 120 km dari kota Seoul, setara 1,5 jam perjalanan dengan kereta cepat Korea Train eXpress (KTX) atau sekitar 2 jam dengan kendaraan roda empat. Sejong dibangun sejak tahun 2007 dan setelah diresmikan pada tahun 2012, kantor-kantor pemerintahan mulai dipindahkan dari Seoul. Hingga saat ini sebanyak 17 kantor pemerintah pusat dan 18 lembaga lainnya telah bertempat di kota Sejong yang memiliki luas 465 km persegi.
ADVERTISEMENT
Kota yang dibangun sejak 12 tahun yang lalu ini (2005) telah menjadi rumah hunian bagi sekitar 280 ribu orang dan ditargetkan hingga mencapai 500 ribu pada tahun 2030. Pemerintah terus berupaya untuk menarik jumlah penduduk yang tinggal di kota ini sehingga tujuan untuk pemerataan pembangunan dan mengurangi kepadatan Seoul tercapai. Untuk itu, tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, kota Sejong juga dibangun sebagai wilayah bisnis juga riset dan ilmu pengetahuan. Restoran, pusat perbelanjaan, museum, teater, perpustakaan hingga sekolah dan universitas yang memiliki reputasi baik seperti Korea University, Korea Advanced Institute for Science and Technology (KAIST) dan Hongik University juga terdapat di kota ini.
Kota ini dibangun dengan perencanaan panjang dan matang, memiliki pengawasan yang baik dalam hal keamanan dan transportasinya, memiliki akses transportasi bus yang memadai ataupun sepeda-sepeda yang disewakan untuk memperkenalkan hidup sehat bagi warganya. Kota Sejong memiliki kantor khusus dengan Intelligent Transport System (ITS) yang memonitor kelancaran lalu lintas dan kelancaran arus transportasi umum, serta CCTV dan perlengkapan high tech lainnya untuk menjaga keamanan kota.
Ruang Sistem Monitoring Kota Sejong. Foto: Pribadi
ADVERTISEMENT
Kota Sejong dibangun dengan konsep sustainable city dan environment friendly. Pembangunan danau buatan, area pejalan kaki yang luas dan area hijau di berbagai wilayah pun terlihat sebagai upaya kota ini untuk menambah keasrian dan kenyamanan warga. Wilayah hijau kota bahkan mencapai lebih dari setengah wilayah kota. Taman cantik pun dibangun disepanjang 15 atap gedung pemerintahan yang terkoneksi dengan jembatan. Dengan panjang 3,6 kilometer dan seluas 79.194 meter persegi, menjadikan taman atap ini tercatat di Guinness World Records sebagai taman atap bangunan terluas di dunia. Selain itu, penggunaan energi terbarukan juga diterapkan di kota ini.
Foto sebagian taman atap gedung pemerintahan kota Sejong yang memperoleh rekor dunia. Foto: Korea Bizwire.
Teater mini di tengah danau buatan untuk kenyamanan tinggal penduduk kota Sejong. Foto: Pribadi.
ADVERTISEMENT
Dalam pembangunan gedung pemerintahannya, desain arsitektur yang digunakan adalah menyatu atau terkoneksi dengan jembatan pada lantai bagian atasnya untuk meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga. Pusat informasi kota yang terintegrasi juga telah terbangun di area gedung pemerintahan. Pusat jaringan informasi ini dirancang untuk mengelola kota secara komprehensif di berbagai fungsi secara real time, bersama dengan departemen transportasi, pencegahan bencana dan kejahatan, manajemen fasilitas, monitoring lingkungan maupun manajemen perlengkapan publik.
Pembangunan terus berlangsung hingga tahun 2030, meskipun keputusan pemerintah untuk memindahkan pemerintahan ke kota ini bukanlah tanpa tantangan. Tidak hanya dari kalangan politisi, namun dari sisi masyarakat yang menentang perubahan atau kritik kurang efisiennya perubahan ini juga sempat harus dihadapi oleh pemerintah Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Bappenas pada awal tahun 2018 ini telah menyampaikan kajian awal mengenai pemindahan ibu kota kepada Presiden Joko Widodo, yang mencakup aspek kelebihan dan kekurangannya, ketersediaan lahan yang dimiliki pemerintah, ketersediaan infrastruktur, dan potensi bencana. Jika menilik pada pengalaman beberapa negara lainnya, proses ini memang membutuhkan waktu yang panjang, perencanaan yang sangat matang, pendanaan yang besar dan dukungan dari berbagai pihak, namun bukan berarti mustahil untuk dilaksanakan.