Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Warisan Max Havelaar dan Ketimpangan Hari Ini
13 April 2025 14:23 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rifandy Ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika Eduard Douwes Dekker menerbitkan Max Havelaar pada tahun 1860 dengan nama pena Multatuli (yang berarti “aku telah banyak menderita”), ia tidak hanya menulis novel. Ia sedang membongkar wajah kelam kolonialisme Belanda di Hindia, menggambarkan kekuasaan yang dipenuhi kemunafikan moral, penindasan struktural, dan birokrasi yang korup.
ADVERTISEMENT
Lebih dari satu abad kemudian, Max Havelaar tetap relevan. Bukan sekadar karena nilainya sebagai karya sastra, tetapi karena pesan moral dan sosialnya masih terasa hingga kini. Di Indonesia hari ini, luka-luka kolonial yang dikritik Multatuli belum sepenuhnya sembuh, bahkan mungkin menjelma dalam bentuk baru—ketimpangan ekonomi, eksploitasi sumber daya alam, dan kekuasaan yang jauh dari nurani.
Kisah Lama, Luka yang Masih Terasa
Tokoh utama dalam buku ini, Max Havelaar, adalah pejabat Belanda yang dipindah ke Lebak, Banten. Ia melihat bagaimana rakyat diperas, hak-haknya dirampas, dan para pejabat hidup dalam kenyamanan atas derita petani. Havelaar mencoba melawan, namun justru dikucilkan. Ia kalah oleh sistem.
Hari ini, Indonesia tidak lagi dijajah secara politik. Namun, apakah kita benar-benar merdeka secara sosial dan ekonomi?
ADVERTISEMENT
Data dari Oxfam dan lembaga-lembaga riset sosial menyatakan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional. Sementara sebagian besar rakyat masih hidup dalam ketidakpastian. Petani tergusur, buruh dibayar murah, dan banyak masyarakat adat kehilangan tanahnya karena proyek pembangunan.
Kondisi ini merefleksikan “penjajahan dalam negeri” oleh elite yang mengulang pola kolonial: menguasai kekayaan atas nama kemajuan, tetapi lupa pada keadilan.
Keadilan Hukum yang Berat Sebelah
Multatuli menggambarkan bagaimana hukum di masa kolonial tidak berpihak pada rakyat. Sayangnya, praktik seperti ini masih terasa hari ini. Ketika pejabat tinggi tersangkut korupsi bisa lolos atau mendapat hukuman ringan, tetapi rakyat kecil yang mencuri karena lapar malah dihukum berat, maka kita patut bertanya: hukum berpihak pada siapa?
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus tambang ilegal yang menghancurkan lingkungan, perampasan tanah petani oleh korporasi, atau pelanggaran HAM yang tidak kunjung tuntas adalah contoh bahwa sistem hukum kita belum merdeka dari ketimpangan kuasa.
Multatuli dalam novelnya menyuarakan pentingnya keadilan yang bukan hanya legal, tetapi juga moral. Hukum bukan sekadar aturan, tapi harus menjadi alat melindungi yang lemah, bukan melanggengkan kekuasaan.
Simbolisme yang Belum Bermakna
Beberapa tahun lalu, pemerintah membangun patung Multatuli di Rangkasbitung. Sebuah bentuk penghormatan terhadap warisan intelektual yang berpihak pada rakyat. Namun penghormatan sejati bukan pada simbol, melainkan pada keberanian meneladani semangatnya.
Apa artinya patung Multatuli, jika rakyat masih ditekan? Jika suara petani atau masyarakat adat tidak didengar? Jika pejabat tetap mencari keuntungan dari kebijakan yang merugikan rakyat?
ADVERTISEMENT
Membaca Ulang, Bergerak Ulang
Max Havelaar bukan hanya kisah perjuangan satu orang, tapi juga cermin bagi bangsa ini. Apakah kita sudah cukup berani melawan sistem yang tidak adil? Apakah kita cukup jujur untuk mengakui bahwa penjajahan itu bisa lahir kembali dari tangan kita sendiri?
Sebagai akademisi, saya percaya buku ini harus terus dibaca ulang, bukan hanya di kelas sastra, tetapi juga dalam ruang kebijakan, ruang hukum, dan ruang publik. Kita butuh lebih banyak “Max Havelaar” masa kini: orang-orang dalam sistem yang berani bersuara untuk keadilan, bukan sekadar mengikuti arus.
Keadilan tidak akan datang dari langit. Ia harus diperjuangkan, meski kadang menyakitkan. Dan Max Havelaar sudah mengajarkan itu lebih dari 160 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT