Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Shoushika Mondai Sebagai Pemicu Punahnya Populasi di Jepang
10 April 2023 14:09 WIB
Tulisan dari Rifdah Fadhillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada era modern ini muncul sebuah fenomena perkembangan dan perubahan dalam suatu negara. Namun, fenomena ini tidak selalu bersifat kemajuan, melainkan juga dapat bersifat kemunduran. Peristiwa kemunduran di suatu negara dapat berdampak pada segala bidang. Tidak terkecuali negara maju yang satu ini, yaitu Jepang. Sebagai seorang manusia dalam menjalani kehidupan memiliki 2 kodrat, yaitu menikah dan meninggal dunia. Akan tetapi, tidak semua orang dapat menjalani kodrat menikah dengan seseorang. Dari hal ini, menjadi tantangan yang berpengaruh terhadap kondisi demografi kependudukan Jepang. Hal tersebut dikarenakan terus terjadi penurunan jumlah kelahiran anak dan meningkatnya pertumbuhan penduduk lanjut usia. Akibatnya, struktur demografi Jepang mengalami perubahan.
ADVERTISEMENT
Rendahnya jumlah angka kelahiran di Jepang menjadi sorotan bagi beberapa pengamat demografi, termasuk media massa baik yang berada di Jepang maupun yang berada di luar Jepang. Fenomena menurunnya angka kelahiran di Jepang ini disebut dengan istilah Shoushika Mondai (少子化問題). Shoushika berasal dari huruf kanji 少 (shou) = sedikit, 子 (shi) = anak, dan 化 (ka) = perubahan, sedangkan Mondai berasal dari huruf kanji 問 (mon) = permasalahan dan 題 (dai) = topik. Jadi, Shoushika Mondai dapat diartikan sebagai suatu permasalahan yang mengakibatkan perubahan pada jumlah angka kelahiran anak yang mengalami penurunan.
Menurut Mashiro Yamada (2007:3), mengatakan bahwa Shoushika merupakan keadaan di mana menurunnya jumlah anak yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan populasi penduduk alami hanya akan terjadi jika tingkat kelahiran lebih besar dibandingkan dengan tingkat kematian. Namun, selama di suatu negara masih terdapat pernikahan, angka kelahiran akan terus meningkat dan berkembang. Walaupun sebagai negara maju, Jepang ternyata berhadapan dengan masalah kependudukan yang sangat parah. Pada tahun 2020 tingkat fertility di Jepang mengalami perubahan signifikan daripada tahun 2019 mencapai sebesar 1,34 anak yang dilahirkan setiap perempuan (O’Neill, 2023). Didukung juga pada tahun 2021, hanya terjadi 831.000 kelahiran di mana mengalami penurunan sebesar 0,7 persen dari lima tahun terakhir (Agustin, 2022).
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang kelahiran, Jepang terkenal dengan angka harapan hidup yang cenderung tinggi, tetapi terdapat permasalahan terkait angka kelahiran yang rendah. Oleh karena itu, tingkat populasi penduduk Jepang menurun drastis dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat pasca Perang Dunia II sejak tahun 1975, jumlah kelahiran di Jepang mengalami pasang surut hingga saat ini terus mengalami penurunan dan diperkirakan jumlahnya akan terus menurun. Melihat dari penurunan jumlah kelahiran anak sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi karena Jepang akan mengalami krisis Sumber Daya manusia (SDM).
Seperti yang kita ketahui bahwa adanya jumlah kelahiran dapat menentukan jumlah usia produktif yang berfungsi sebagai pengganti generasi sebelumnya. Namun, jika jumlah kelahiran di Jepang menurun maka akan berkurang tenaga kerja. Peran sumber daya manusia dalam pembangunan dan perekonomian negara sangatlah penting. Untuk menangani masalah kekurangan tenaga kerja akibat menurunnya usia produktif dan munculnya fenomena Shoushika, Jepang sudah menerapkan Technical Intern Training Programme (TITP) bertujuan untuk mengisi lowongan dengan mempekerjakan tenaga kerja asing melalui pelatihan magang teknis (Fauzan dan Satwika, 2022). Oleh karena itu, fenomena Shoushika ini dapat mengubah hampir seluruh bidang dalam kehidupan di Jepang. Dengan demikian, adanya perubahan kependudukan dalam suatu negara tentunya akan memberikan dampak serius yang harus dihadapi oleh pemerintah Jepang.
ADVERTISEMENT
Makna Pernikahan dan Seorang Anak Bagi Masyarakat Jepang
Pada awalnya pernikahan adalah hal yang sakral dan penting bagi setiap orang karena tujuan dari menikah untuk mempunyai keturunan. Menurut Surbakti (2008) menjelaskan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu, secara normal setiap pasangan pasti menginginkan keturunan sebagai buah dari pernikahannya. Namun, di Jepang memiliki perspektif sendiri tentang pernikahan. Menurut masyarakat tradisional Jepang dan masyarakat modern memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah pernikahan.
Pada masyarakat tradisional, makna pernikahan adalah ikatan perjanjian yang kuat untuk hidup bersama demi melanjutkan keturunan, sedangkan pada masyarakat modern memaknai pernikahan sebagai suatu yang tidak harus disegerakan karena dapat menjadi penghambat dalam melakukan berbagai hal. Dalam sistem kekeluargaan masyarakat Jepang tradisional, melanjutkan keturunan adalah suatu hal yang wajib dalam sebuah keluarga sehingga pernikahan menjalin hubungan antara dua insan yang memiliki konsekuensi dalam melanjutkan hidup berumah tangga.
ADVERTISEMENT
Ketidaksediaan wanita Jepang mempunyai anak karena adanya perubahan konsep anak. Perubahan konsep anak ini sering dikaitkan dengan perubahan keluarga dari tradisional ke keluarga modern. Masyarakat Jepang menganggap bahwa dengan adanya anak setelah menikah dapat menambah beban dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri Elsy (2011), perempuan Jepang mengatakan bahwa mengasuh atau membesarkan anak memerlukan banyak biaya yang sangat mahal, ditambah besarnya biaya pengeluaran dalam rumah tangga. Selain itu, adanya seorang anak dapat menghambat karir mereka karena harus fokus ke anak saja dan tidak bisa memasuki dunia kerja.
Faktor Penyebab Turunnya Pernikahan Berdampak pada Shoushika Mondai
Salah satu faktor menurunnya jumlah kelahiran anak di Jepang adalah banyaknya masyarakat yang belum menikah. Pada negara Jepang terdapat beberapa fenomena yang berkaitan dengan menurunnya jumlah pernikahan, seperti: parasite single, hikonka (非婚化), bankonka (晩婚化), dan mikonka (未婚化). Dari keempat fenomena tersebut yang paling banyak terjadi dan menimbulkan dampak serta kecemasan bagi pemerintah Jepang adalah Bankonka (晩婚化).
ADVERTISEMENT
Bankonka sendiri didefinisikan sebagai suatu budaya atau perubahan di mana seseorang menikah telah melampaui waktu yang tepat untuk menikah sehingga semakin tinggi waktu usia untuk menikah karena mengalami perubahan setiap tahunnya. Pemerintah Jepang telah yang memberi solusi dan penanganan terhadap fenomena bankonka, tetapi pernikahan di Jepang belum bisa diperbaiki karena berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam tatanan masyarakat sosial.
Dampak Positif Adanya Shoushika Mondai
1. Hemat Biaya Hidup dan Gaya Hidup
Seperti yang kita ketahui bahwa Jepang adalah negara dengan biaya hidup yang sangat mahal. Dengan tidak adanya anak dalam sebuah pernikahan dianggap dapat meringankan beban. Namun, jika terdapat anak maka akan banyak lagi biaya yang akan dikeluarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
ADVERTISEMENT
2. Meminimalisir Kapasitas Pengguna
Adanya penurunan jumlah kelahiran ini bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Dengan kata lain, apabila populasi anak bertambah maka terjadi kepadatan penduduk. Misalnya, pemerintah hanya menyediakan sarana dan prasarana sedikit sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, jumlah penduduk yang sedikit dapat mengurangi penggunaan transportasi.
Dampak Negatif Adanya Shoushika Mondai
1. Perubahan Demografi (kependudukan) Jepang
Demografi yang termasuk dalam ilmu geografi ini sangat penting kaitannya dengan dinamika penduduk seluruh negara di dunia. Peran demografi berfungsi untuk menjadi pertimbangan, seperti struktur usia, jumlah penduduk yang berubah setiap waktunya (kelahiran, kematian, dan migrasi), angkatan kerja, dan angka harapan hidup. Oleh karena itu, munculnya fenomena Shoushika ini menjadi permasalahan terbesar yang akan dialami Jepang setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
2. Berkurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) pada Dunia Kerja
Menurunnya jumlah kelahiran sama halnya dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja. Di samping itu, banyaknya populasi penduduk lansia daripada generasi muda dan telah melampaui batas angkatan kerja. Perusahaan Jepang dengan produktivitas tinggi, seperti kontruksi pasti lebih membutuhkan tenaga kerja generasi muda. Dengan demikian, tidak semua perusahaan Jepang memberikan peluang kerja kepada penduduk lansia.
3. Meningkatnya Imigran (pekerja asing)
Meningkatnya populasi lansia dan berkurangnya jumlah kelahiran anak di Jepang menyebabkan negara maju ini membutuhkan banyak tenaga kerja dalam mengatasi krisis sumber daya manusia yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan sejumlah pemimpin bisnis Jepang menilai kekurangan tenaga kerja yang dialami Jepang saat ini adalah masalah utama yang akan berdampak pada seluruh perekonomian Jepang. Salah satu caranya adalah dengan memberi peluang masuk bagi imigran dari luar Jepang.
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat yang tinggal di negara maju harus lebih memperhatikan kondisi pertumbuhan penduduk dalam negaranya. Fenomena menurunnya jumlah kelahiran anak (Shoushika Mondai) yang dialami oleh Jepang ini sangat berpengaruh dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, geografi, sosial, dan budaya. Shoushika Mondai ini sangat erat kaitannya dengan masalah kependudukan (demografi) yang ada dalam negara tersebut. Bankonka menjadi faktor munculnya fenomena Shoushika Mondai yang dapat menyebabkan jumlah angka kelahiran menurun karena sebagian perempuan Jepang belum siap menikah sehingga telah melampaui waktu yang tepat untuk menikah. Selain itu, banyak perempuan memilih untuk bekerja daripada menjalin hubungan, dan tingginya biaya hidup sehari-hari. Dengan demikian, tentunya akan menjadi tantangan bagi pemerintah Jepang pada beberapa tahun ke depan dalam menjaga kondisi pertumbuhan populasi natural supaya tidak terjadi kepunahan.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, D. (2022). Populasi Jepang Terus Turun, Angka Kematian Lampaui Kelahiran. https://internasional.republika.co.id/berita/raf698459/populasi-jepang-terus-turun-angka-kematian-lampaui-kelahiran. Diakses 25 Maret 2023 pukul 16.00 WIB.
Elsy, P. (2011). Shoushika Mondai: Dampak Sosial dari Berkurangnya Tingkat Kelahiran Anak di Jepang. Mozaik: Jurnal Ilmu Humaniora, 9(1), 1-91.
Fauzan, M. R, dan Satwika. P. (2022). Upaya Jepang dalam Melindungi Tenaga Kerja Asing Pada Technical Intern Training Program. Journal of International Relations. 8(2). 239-247.
O’Neill, A. (2023). Fertility Rate in Japan. https://www.statista.com/statistics/270088/fertility-rate-in-japan/. Diakses 25 Maret 2023 pukul 12.30 WIB.
Surbakti, E. B. (2008). Sudah Siapkah Menikah. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Yamada, M. (2008). Shoushika Shakai Nihon: Mou Hitotsu no Kakusa no Yukue. Japan: Iwanami Shinsho.
ADVERTISEMENT