Konten dari Pengguna

Bunraku, Seni Pertunjukan Boneka Jepang yang Tertelan Arus Modernisasi

Rifdah Rahmah
Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Culture Studies Enthusiast.
20 Oktober 2023 6:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifdah Rahmah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bunraku di Jepang. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bunraku di Jepang. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Jika di Indonesia kita memiliki seni pertunjukan wayang golek, Jepang juga memiliki seni pertunjukan boneka yang disebut dengan ningyo johruri. Kanji ningyo (人形) memiliki makna "pakaian" dan johruri (浄瑠璃 ) memiliki makna "lirik musikalisasi".
ADVERTISEMENT
Pertunjukan ningyo johruri menggunakan boneka sebagai alat menyampaikan cerita yang diiringi nyanyian dan instrumen dramatis. Salah satu jenis pertunjukan ningyo johruri yang terkenal adalah bunraku (文楽) terdiri dari kanji bun (文) berarti "kesenian/litertur" dan kanji raku (楽) artinya "menyenangkan".
Bunraku populer di Osaka sekitar periode Meiji di Jepang pada tahun 1868-1912. Bunraku diperkenalkan oleh seorang seniman boneka dari pulau Awaji bernama Masai Kahei. Ia membuka klub boneka untuk pemula dan lama-kelamaan berkembang menjadi kelompok teater Bunrakken di Osaka. Kesuksesan Bunrakken menjadi cikal bakal penyebutan seni pertunjukkan boneka Jepang atau bunraku.
Pada periode restorasi Meiji, muncul seniman-seniman kebudayaan Jepang. Salah satunya adalah Toyozawa Dampei, pemusik shamisen yang menghidupkan kembali minat bunraku. Dalam mengelola kelompok-kelompok teater boneka yang semakin banyak bermunculan, dibentuklah kelompok Shouchiku yang berfungsi untuk mengelola aset dan seniman bunraku.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1926, terjadi kebakaran yang memusnahkan semua aset teater bunraku. Pada tahun 1929 dibentuk teater baru yang meskipun beberapa pertunjukan berhasil menarik perhatian, popularitas bunraku tidak lagi sepopuler pada awal periode Meiji.
Boneka Bunraku. Foto: SAND555/iStock
Bunraku dimainkan oleh tiga orang dalang yang disebut ningyo tsukai. Dalang utama (omozukai) berfungsi untuk menggerakkan kepala, dalang kedua (hidarizukai) berfungsi untuk menggerakkan tangan kiri, dan dalang ketiga (ashizukai) berfungsi untuk menggerakkan kaki.
Boneka bunraku membutuhkan tiga orang dalang karena ukuran boneka yang sangat besar. Boneka bunraku dapat memiliki panjang sekitar 130 sentimeter hingga 150 sentimeter dan beratnya bisa sampai lebih dari 10 kilogram tergantung properti yang digunakan.
Boneka-boneka itu memiliki banyak variasi ekspresi wajah dan gaya rambut dibuat asli dari tangan. Pada boneka perempuan, biasanya tidak memiliki kaki sehingga dalang perlu pandai mengatur pergerakan kimono agar terkesan natural.
ADVERTISEMENT
Bunraku ditampilkan di panggung yang memiliki dua sisi disebut kamite dan shimote. Pada sisi kanan dan kiri terdapat tirai kecil yang disebut komaku untuk tempat kemunculan boneka dan para dalang. Pada bagian kiri, terdapat satu panggung kecil yang disebut yuka untuk tempat duduk narator dan pemain shamisen. Seorang narator disebut tayu yang menceritakan kisah dengan cara musikalisasi diiringi musik shamisen.
Dalang Bunraku memainkan boneka. Foto: coward_lion/iStock
Seni tradisional sangat penting dalam rangka pelestarian budaya di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Bunraku sesungguhnya dapat menjadi daya tarik wisatawan asing dalam merasakan pengalaman otentik kebudayaan Jepang. Bunraku juga menjadi salah satu bentuk kekayaan budaya terutama di bidang seni teater, film, dan boneka. Terbukti pada tahun 2003, UNICEF menerapkan bunraku sebagai warisan budaya dunia.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, saat ini bunraku mengalami penurunan dibandingkan masa kejayaan di periode Meiji. Bunraku nyaris punah pasca pengeboman Osaka pada 1945 dan mengawali kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Pada tahun 1963, dibentuklah Bunraku Kyoukai yaitu sebuah asosiasi untuk mengumpulkan seniman-seniman bunraku yang terpecah. Pemerintahan Prefektur Osaka juga menyalurkan dana bantuan agar bunraku dapat terjaga kelestariannya.
Naskah yang diciptakan para pendahulu terlalu puitis untuk dipahami generasi lanjutan. Kisah-kisah dalam naskah tersebut juga terlalu dramatis sehingga tidak relevan untuk dinikmati di zaman sekarang. Kiritaki Kanjuro, seorang seniman bunraku mengatakan bahwa untuk menjadi dalang utama bunraku perlu latihan sekitar 10 hingga 15 tahun lamanya. Hal ini tidak sesuai dengan kecenderungan generasi muda yang tidak begitu suka untuk bekerja keras.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi masalah ini, dibentuk sistem baru pada tahun 1972. Pada awalnya bunraku hanya diwariskan pada keturunan namun kemudian dimunculkan model pendidikan dan pelatihan bunraku di teater nasional Tokyo.
Jika seseorang mau mengikuti program latihan selama 2 tahun, maka ia dapat disebut sebagai pemain profesional. Seorang pemain profesional dapat melakukan praktik dengan tampil di pertunjukan-pertunjukan teater didampingi seorang maha guru. Pada tahun 1984, didirikanlah Teater Nasional Bunraku di Osaka untuk terus menjaga kelestarian budaya ini.
Sayangnya, Teater Nasional Bunraku hanya mampu menarik pengunjung sebanyak 100.000 pada tahun 2013. Hal inilah yang menyebabkan Wali Kota Osaka memotong dana Bunraku Kyoukai sekitar 7,3 juta yen. Saat ini asosiasi tersebut sedang mencari penggemar baru melalui inisiatif video pertunjukan, namun hingga saat ini jumlah penonton bunraku hanya sepersepuluh dari penonton Kabuki.
ADVERTISEMENT
Asosiasi bunraku bersama Nippon Foundation sedang berusaha menarik minat penggemar luar Jepang misalnya, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Prancis. Pada tahun 2004, kelompok teater Otome Bunraku mengadakan teater di Japan Foundation Jakarta. Tahun 2023 pada bulan Januari kemarin, Teater Nasional Tokyo kembali mengadakan pertunjukan Bunraku setelah tahun 2019 dan 2020 kemarin.
Bunraku sebagai seni tradisional Jepang bukan hanya warisan kekayaan budaya namun juga memiliki hubungan relevansi dengan era modernisasi saat ini. Meskipun hampir punah karena perkembangan arus modernisasi, justru hal tersebut dapat dijadikan strategi mempromosikan budaya bunraku.
Seni tradisional dapat dikenalkan melalui perkembangan digitalisasi saat ini. Memanfaatkan arus globalisasi saat ini juga menjadi salah satu cara agar bunraku dapat dikenal secara luas. Perlu dikuatkan inovasi kreatif dalam promosi seni tradisional bunraku.
ADVERTISEMENT