Konten dari Pengguna

Parpol: Guardian of The Region di Pilkada 2024

Rifka Nafichah
Mahasiswa S-1 Administrasi Publik Universitas Diponegoro. Peneliti Junior di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK). Duta Pelajar NU Kabupaten Jepara 2023-2025.
8 Agustus 2024 6:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifka Nafichah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Partai Politik. Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Politik. Sumber: Freepik

Memenangkan Pilkada 2024

ADVERTISEMENT
Menuju Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang, giat partai politik (parpol) saat ini semakin terasa. Mulai dari dialog internal parpol yang banyak tercium di media hingga baliho yang bertengger di sepanjang jalan. Setiap parpol mulai mempertimbangkan veteran-veterannya yang layak diajukan di Pilkada dan beberapa sudah cek ombak untuk melihat respon suara rakyat. Tentunya, parpol ingin mengajukan calon terbaiknya untuk menjadi pemenang.
ADVERTISEMENT
Memenangkan kontestasi politik dalam Pilkada 2024 ini tidak terbatas pada memenangkan posisi parpol dalam struktur kekuasaan di daerah, namun juga memenangkan pembangunan daerah hingga 2029. Jangan sampai Pilkada 2024 membuat suatu daerah (baik provinsi, kabupaten atau kota) menjadi tersandung karena memilih pemimpin yang tidak kompeten. 75 persen nasib daerah ditentukan oleh Partai Politik, karena parpol menjadi entitas paling berkuasa dalam memberikan tiket kepada calon kepala daerah yang bertanding. Adapun 25 persen sisanya, rakyat hanya bisa memilih calon yang sudah ditetapkan. Ibarat makan siang, rakyat hanya bisa memilih makanan yang sudah tersedia tanpa bisa menentukan jenis makanan apa yang seharusnya tersedia di atas meja. Kalau saja, parpol bocor dalam memberikan tiket kepada orang yang salah maka rakyat tidak memiliki pilihan lain selain makan makanan beracun atau kelaparan karena tidak makan.
ADVERTISEMENT

Napak Tilas Hasil Pilkada Kemarin

Tidak perlu jauh menarik ke belakang, Laporan Tahunan KPK menyampaikan dari 8 Kegiatan Tangkap Tangan selama tahun 2023, 4 dari kegiatan tersebut adalah menangkap Kepala Daerah yang terjerat kasus hukum. Mereka adalah Bupati Meranti Muhammad Adil, Walikota Bandung Yana Mulyana, Bupati Sorong Yan Piet Mosso, dan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba. Keempat Kepala Daerah tersebut tersandung karena kasus korupsi berupa suap, gratifikasi dan hadiah atau janji proyek.
Terpilihnya Kepala Daerah yang tidak kompeten dan tidak bermoral seharusnya menjadi catatan bagi parpol agar semakin cermat dalam meloloskan nama-nama Calon Kepala Daerah di Pilkada 2024. Terlebih Pilkada 2024 memiliki timeline yang cukup mepet dari Pemilu 2024 di awal tahun kemarin, hal ini berpotensi membuat Parpol menjadi pragmatis karena persiapan yang terbatas. Parpol menjadi oportunis dengan memilih calon berdasarkan popolaritas bukan kapasitas. Kondisi ini menjadi celah bagi lahirnya pemimpin-pemimpin tidak bermoral yang membawa nasib buruk bagi daerah.
ADVERTISEMENT

Parpol sebagai Guardian of The Region

Terdapat dua cara yang dilakukan oleh parpol untuk mengorbitkan calon kepala daerah, yaitu dengan mengajukan kader partainya atau memberikan dukungan politik kepada figur di luar partainya. Pilihan untuk mengajukan kader partainya adalah pilihan prioritas karena menjaminkan loyalitas kepada parpol ketika calon kepala daerah terpilih. Penunjukan kader parpol ini ditempuh dengan dua tipe cara di Indonesia, yaitu dengan penunjukan langsung seperti yang dilakukan oleh Nasdem, Gerindra, dan Hanura atau melalui proses demokrasi internal parpol seperti yang dilakukan oleh PDIP, PPP, PKS, Golkar, Demokrat, PKB dan PAN. Kualitas sumber kader sangat berpengaruh pada kualitas calon kepala daerah yang ditunjuk untuk berlaga di Pilkada 2024. Sehingga kualitas kaderisasi yang dimiliki oleh parpol-parpol di Indonesia saat ini menjadi pertanyaan, apakah sudah baik atau belum.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, Indonesia saat ini belum cukup familiar dengan kaderisasi parpol yang sehat. Pemerintah memiliki peran yang kurang luas dalam memastikan kaderisasi parpol di Indonesia. Hal ini menjadikan parpol memiliki kebebasan tanpa batas dalam menjalankan kaderisasi parpolnya dan mempermainkan Pilkada menggunakan calon-calon yang tidak layak. Pengukuran kaderisasi parpol sehat menjadi kabur karena tidak adanya indikator kaderisasi parpol yang legal dan teruji. Setiap parpol mendeklarasikan dirinya memiliki kaderisasi yang baik, namun klaim “baik” itu menjadi berbeda ketika dimaknai sebagai pendukung kepentingan internal parpol itu sendiri.
Indonesia sebetulnya sudah memiliki panduan kaderisasi parpol yang dirilis oleh Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kerjasama P2Politik LIPI. Hanya saja kurikulum kaderisasi parpol tersebut belum dibumikan kepada parpol-parpol di Indonesia dan belum didukung dengan monev (monotoring dan evaluasi) yang terukur. Indonesia juga belum memiliki lembaga pengawas atau lembaga pengendali kualitas kaderisasi parpol. Adapun lembaga eksternal pemerintah pun tidak banyak yang menyoroti kualitas kaderisasi parpol, mereka lebih banyak melihat kekuatan elektabilitas parpol dalam Pilkada.
ADVERTISEMENT
Selama ini, parpol memiliki independensi dan kebebasan dalam menyusun, mengatur dan menilai kaderisasinya sendiri. Kondisi ini cukup riskan karena kualitas kaderisasi dan kader pemimpin menjadi tidak terukur secara obyektif. Pemerintah semestinya dapat menyikapi dengan tangkas, karena kualitas kaderisasi parpol adalah prioritas untuk calon pemimpin-pemimpin negara yang kompeten dan bermoral.
Penulis: Rifka Nafilatun Nafichah