Konten dari Pengguna

Rasio Stabilitas Utang Pemerintah untuk Negara di Masa Depan

Rifka Salma
Mahasiswa Hukum Tata Negara Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
1 Juni 2022 11:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifka Salma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Uang Lebaran Rupiah Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Uang Lebaran Rupiah Indonesia
ADVERTISEMENT
Proses pembangunan berkelanjutan terus dilakukan oleh Pemerintah. Pemerintah mengambil sumber dana melalui pendapatan negara, seperti pajak yang diambil dari pembayaran masyarakat. Dari hal tersebut masyarakat memiliki stigma negatif terhadap proporsi capaian hutang yang dimiliki Indonesia.
ADVERTISEMENT
Utang yang dilakukan negara merupakan sebuah pilihan kebijakan. Namun, jika pendapatan Indonesia lebih rendah daripada belanja yang dibutuhkan, tidak berhutang sama saja dengan menunda kebutuhan kesehatan, infrastruktur, pendidikan dan pembangunan produktif lainya.
Beberapa negara yang berhutang seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Tunisia, Maroko, Pakistan, Afganistan, dan Kazakhstan. Ada juga negara Islam terutama di Afrika yang mayoritas penduduknya memiliki tingkat ekonomi rendah hingga diberikan hibah oleh berbagai negara, termasuk Bank Dunia.
Dari hal tersebut diharapkan masyarakat tidak hanya memiliki stigma yang negatif terhadap utang. Karena dalam kebijakannya Menteri Keuangan juga melakukan sebuah pengelolaan perusahaan, aset, ekuitas, dan utang untuk dapat dikelola secara seimbang agar suatu negara tetap bisa berdiri dengan kestabilan ekonomi yang matang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, hingga akhir Februari 2022 posisi utang pemerintah berada di angka Rp7.014,58 triliun atau 40,17 persen dari Produk Domestik Bruto(PDB). Angka tersebut mengalami peningkatan, jika dibandingkan dengan utang pemerintah per Januari 2022 yang berada di angka Rp6.919,15 triliun atau 39,63 persen dari PDB.
Total nominal utang pemerintah pusat dari tahun ke tahun memang cenderung meningkat. Namun, pengelolaan utang juga terus diperbaiki dari waktu ke waktu. Proporsi utang yang ditarik oleh Pemerintah dari 2015 hingga 2019 menunjukkan tren menurun dan meningkat drastis terutama pada 2020 akibat dari pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga menggaku akan terus berusaha mengelola utang secara prudent. Dia akan terus melakukan penghitungan atau mengalkulasi jumlah, tenor, dan komposisi mata uang dari penarikan utang lewat penerbitan obligasi pemerintah. Langkah demi langkah terus dilakukan agar dapat mencapai target konsolidasi fiskal yang dapat menekan defisit di bawah 3 persen pada tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Di tahun sebelumnya tepatnya pada 2022 langkah demi langkah dilakukan seperti pengoptimalan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dari sisa pembiayaan (SiLPA). Pemanfaatan skema kerja sama (burden sharing) bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI), Skema tanggung renteng tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III yang bisa berlanjut hingga tahun 2022.
Lalu bagaimana Pengelolaan Utang Negara untuk Tahun Depan?
Ketidakpastian global dari sisi kenaikan inflasi yang ada pada negara maju berdampak dalam laju keketatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat. Terutama dalam kenaikan inflasi dan pengetatan moneter. Dari sisi utang yang akan dikelola pasti juga akan mengalami tekanan dari sisi jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayarkan. Itu merupakan sebuah pertimbangan tersendiri. Oleh karena itu, kebijakan fiskal 2023 terus akan dilakukan dan berfokus pada pemulihan ekonomi terutama program-program prioritas yang telah ditetapkan presiden. Yakni membangun kualitas SDM, membangun infrastruktur, mereformasi birokrasi, merevitalisasi industri, dan mendukung pertumbuhan ekonomi hijau. Di sisi lain, APBN akan melakukan reformasi di bidang pendapatan negara, dan belanja negara dalam pembangunan yang makin inovatif.
ADVERTISEMENT