Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penghasilan Tak Tentu sang Pemecah Batu
29 September 2023 14:21 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rifki Al Wafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awan masih melayang rapi di atas langit Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon . Namun, riuh kendaraan yang lalu lalang sudah mulai ramai melewati jalan alternatif yang menghubungkan Kuningan dan Cirebon ini.
ADVERTISEMENT
Jalan tersebut yakni, lajur yang berada di Cirebon Girang—Sumber atau Cirebon Girang—Kota Cirebon. Perjalanan melewati jalan ini, jika tengok kanan atau kiri, akan ditemui beberapa pemecah batu yang juga sudah rapi dengan perkakasnya.
Maksudi dan Getik, adalah dua di antara para pemecah batu tepi jalan yang ada di Kecamatan Talun. Keduanya sudah bersiap sejak pagi, setelah beres mengurus peliharaan ayamnya.
Lokasi bekerja Maksudi dan Getik, berada di tepi jalan, dan dekat dengan salah satu SD Negeri yang ada di Cirebon Girang. Serta dekat dengan lapangan yang ada di sebelahnya.
Di bawah rimbun pohon, dan sejuknya udara pagi yang menyapa, keduanya sudah mengambil posisi untuk melakukan rutinitas yang biasa mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Karung, ember, palu bogem, penahan batu—yang biasanya terbuat seadanya dari sandal yang dilubangi—dan juga sebotol besar air minum sebagai antisipasi pelepas dahaga kala haus menerpa mereka.
Maksudi dan Getik berbagi tugas, yang tanpa aba-aba pun, keduanya langsung ambil posisi masing-masing. Maksudi, mengambil peran sebagai pemecah batu yang besar dan dipalu menjadi ukuran yang setengah atau seperempat dari ukuran aslinya.
Setelah terpecah, batu dioper ke sebelahnya, ke Getik, yang kebagian peran sebagai pemecah batu yang lebih kecil. Ada dua hasil yang bisa diperoleh, yakni batu kecil untuk pondasi, dan batu agak kecil untuk bahan coran.
Dengan alat seadanya, bukan tak mungkin bahaya bisa saja mengancam. Yang paling sering terjadi, ialah pecahan batu yang terlempar ke mana saja tanpa bisa dikendalikan. Kadang, bisa saja ke wajah atau si pemecah batu itu sendiri.
Sedikit berbahaya, tapi itu bukan alasan bagi Maksudi dan Getik patah arang. Justru, itu adalah bagian daripada pekerjaan yang sudah ia geluti ini selama 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Waktu yang tak sebentar untuk menjadi seorang pemecah batu di salah satu wilayah di Cirebon. Beragam rasa juga keduanya pernah alami, khususnya dalam harga jual.
Karena menjadi pemecah batu yang tak terafiliasi dengan pihak manapun, tentu penghasilan dari penjualan tak bisa ditentukan spesifik per bulan atau per minggunya.
Di awal memulai, keduanya mengaku harga jual pada saat itu, untuk ukuran satu pengki (sebuah serok berukuran 30 x 5 sentimeter) di banderol harga Rp 50.
Baru, setelah beranjak 10 hingga 15 tahun kemudian, tepatnya di tahun ini, harga jual dari satu pengki mengalami kenaikan yakni sebesar Rp 5.000.
Kenaikan yang signifikan, tapi masih jauh dibandingkan penghasilan usaha lain yang bisa menjual barang lebih dari harga tersebut. Apalagi, penjualan tak pernah tentu kapan dan berapa keuntungannya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, keduanya tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Bagi mereka, ada pembeli ya harus disyukuri, tak ada pun harus disyukuri. Sebab hal tersebut memang tak bisa mereka prediksi kapan pembeli akan datang ke mereka.
Matahari mulai tergelincir, kini, kisaran di pukul 10 pagi, dan batu yang terkumpul hampir mencapai dua pengki. Batu-batu kecil masih berada di atas karung yang terhampar, belum dimasukkan wadah.
Stok batu besar masih tersedia banyak, hampir ada sekitar puluhan yang bertumpuk. Jika diukur, tumpukan batu besar yang Maksudi dapatkan secara cuma-cuma dari alam itu, sekitar 1 meter x setengah meter adanya.
Tentunya, batu-batu yang banyak tersebut, tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan sehari rampung. Keduanya bergantian istirahat dan menengguk beberapa liter air minum yang mereka bawa.
ADVERTISEMENT
Udara sejuk pagi kian terkikis dan terganti panas yang cukup memeluk panas ke tubuh. Lalu lalang kendaraan pun kian padat, kerap kali debu pun menghampiri mereka kala kendaraan melewati tempat keduanya bekerja.
Sesekali, mereka berhenti sejenak untuk melemaskan otot tangan yang cukup intens diayun untuk memecahkan batu. Jika dihitung, bisa jadi ada sekitar puluhan kali Maksudi dan Getik mengayunkan palunya.
Palu diayun, batu terpecah, dan nasib pekerjaan yang sekarang mereka geluti, tak ada yang melanjutkan. Anak-anak mereka, sudah punya pekerjaan tersendiri, dan bagi Maksudi serta Getik, melakukan pekerjaan pemecah batu, adalah satu-satunya yang mereka bisa kerjakan, dan sambil menanti usia senja keduanya.
Romantisme yang tak nampak, namun keduanya selalu kompak dalam bekerja. Ketika satu lelah, satunya terus memecah batu. Begitu terus, hingga tak terasa, waktu cepat bergulir.
ADVERTISEMENT
Panas kian menyengat, udara segar makin tipis dan kini lebih terasa sesak dan berdebu. Maksudi juga hendak beranjak, teringat akan peliharaan ayamnya yang belum diberi makan siang.
Getik masih fokus memecah batu, sedangkan Maksudi kini bersiap menyeberang menuju rumahnya terlebih dahulu. Ada misi yang harus dituntaskan, lantas setelah selesai baru kembali ke pekerjaan utama.
Biasanya, jam kerja keduanya berakhir kala tengah hari tiba, atau sekitar pukul 12 siang, keduanya sudah bersiap untuk pulang. Selain karena lelah, juga memang sudah saatnya beralih ke kegiatan mereka selanjutnya.
Karung dirapikan, batu dikemas, dan perkakas sudah rapi terbungkus. Setelah semua tak ada yang tertinggal, keduanya berdiri, tak lupa mengibaskan pakaian yang mereka kenakan, sebab debu yang menempel dari pecahan batu dan laju kendaraan.
ADVERTISEMENT
Di sisi jalan, keduanya menengok kanan-kiri, lantas menyeberang kala kendaraan lengang. Hari ini keduanya istirahat. Lalu esok, jika tak ada halangan, kembali mengulangi rutinitas pekerjaan: memecahkan batu.