Konten dari Pengguna

Ulasan Novel Laut Bercerita

Rifki Al Wafi
Freelance Content Writer and Journalist
17 Oktober 2022 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifki Al Wafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Buku Laut Bercerita/Rifki Al Wafi
zoom-in-whitePerbesar
Potret Buku Laut Bercerita/Rifki Al Wafi
ADVERTISEMENT
Berlatar di tahun 90-an, atau tepatnya dalam rentang waktu 1991-2007, novel ini berkisah tentang peristiwa yang masih menjadi misteri. Ada dua rentang waktu yang diceritakan. Pertama, 1991-1998, di mana sebagaimana yang kita tahu, di tahun-tahun tersebut sedang berkuasa pemerintahan orde baru, yang dipimpin Soeharto. Matilah engkau mati Kau akan lahir berkali-kali... Penggalan puisi yang menjadikan penguat cerita dalam novel Laut Bercerita. Berupaya mengisahkan perjuangan aktivis mahasiswa melawan diktator penguasa pada saat itu, Biru Laut sebagai tokoh utama mulai menceritakan kisah selama perjuangan hidupnya. Dari lautan yang paling dalam, dari dasar laut yang gelap dan terdiam, Laut mencoba menyampaikan apa yang tak pernah bisa tersampaikan kepada semua orang, bahwa ia, berada di dasar laut, bersama pedih dan juga pengalaman yang tak bisa dilupakan. Ada beberapa bab yang diceritakan saling bertautan, ada bab di mana Biru Laut, Sunu Dyantoro, Julius, Daniel Tumbuan, Alex Perazon, Kasih Kinanti, Anjani, Naratama, Bram, Dana, Mas Gala, Gusti, dan aktivis lainnya menceritakan perjuangannya menghapus ketidakadilan rezim saat itu. Seyegan (1991), Ciputat (1991), Blangguan (1993), dan dua bab lainnya menceritakan bagaimana perjuangan Laut dan kawan-kawannya menyuarakan keadilan. Bahkan, dalam pergerakan mereka, organisasi yang mereka ikuti dicap sebagai sesuatu yang terlarang. Apalagi, kawan-kawan Laut, sering berdiskusi mengenai buku-buku yang memang cukup dilarang pada masa itu, sebut saja buku-buku karya Pram. “Di kampus, kita hanya belajar disiplin berpikir, tetapi pengalaman yang memberi daya dalam hidup adalah di lapangan.” (Bram). Begitulah apa yang disampaikan Bram, sebagai salah satu penggerak roda diskusi organisasi mereka. Ada dua organisasi yang berafiliasi dalam kegiatan mereka, Wirasena, dan Winatra. Karena, seringnya kegiatan mereka, akhirnya hal tersebut bocor ke tangan intel negara. Selain dicap terlarang, mereka yang tergabung dalam kegiatan tersebut, menjadi buronan intel. Ada rasa kecurigaan dalam benak Laut, dan kawan lain, sebab tidak mungkin kegiatan diskusi, aktivitas membela rakyat, sampai bocor ke tangan intel, jika bukan karena ada penyusup. Mereka menganggap ada pengkhianat dalam tubuh organisasi mereka. Pengkhianat tersebut ternyata begitu mengejutkan, karena apa yang terpikir selama itu, bukan hal yang benar-benar sebenarnya terjadi. Kisah si pengkhianat ini diketahui setelah hampir semua anggota organisasi diculik, disekap dan disiksa. Laut, menjadi yang pertama mengetahui siapa sosok pengkhianat tersebut. Hidup dalam kejar-kejaran intel, membuat mereka semakin yakin bahwa ada yang salah dengan negeri ini. Sempat ditangkap beberapa kali, tidaklah gentar untuk terus meneruskan aktivitas mereka. Membuat nama samaran, kartu identitas sementara, dan berpindah-pindah menjadi salah satu pilihan untuk mengamankan keadaan mereka. Bukan tanpa alasan, karena jika mereka terus-terusan di satu kota, apalagi dekat dengan keluarga terdekat, bukan tidak mungkin semuanya diciduk dan ditangkap. Akhirnya, apa yang mereka hindari, tetap tak bisa dihindari, semuanya yang terlibat ditangkap, disiksa, disetrum, dan siksaan keji lainnya. Sialnya, mereka juga tidak tahu siapa yang menyiksa, kepala mereka ditutup kain, si penyiksa pun memakai sebo yang membuat wajah mereka tertutup. Gelap, keji, kelam, begitu apa yang pembaca rasakan ketika terus menyusuri kisah dalam novel ini. Marah, sedih, kesal, semua bercampur. Apalagi, ketika masuk pada sudut pandang kedua, dari sudut pandang Asmara Jati, adik Biru Laut. Di bagian ini diceritakan pasca penghilangan paksa kakak dan kawan-kawan kakaknya yang lain. Dari peristiwa penculikan, penghilangan paksa di tahun 98, ada beberapa yang dibebaskan. Tapi, tak mudah untuk membuat mereka yang terbebas menceritakan apa yang dialami. Trauma berat yang dialami, cukup sulit membuka keterangan agar bisa mengusut kehilangan yang dialami. Bukan hanya para korban yang diculik dan disiksa, para keluarga korban pun merasakan trauma yang sama. Kehilangan tanpa tahu kabar di mana keberadaan salah satu anggota keluarganya itu, membuat risau dan kebingungan. Kehilangan akibat ketidakpastian, terkadang jadi racun pembunuh yang lebih mematikan daripada kepergian yang diketahui alasannya. Alex Perazon, Daniel, menjadi salah satu korban yang dibebaskan dalam penculikan di tahun 98. Bersama Asmara Jati, ia terus menelusuri jejak-jejak yang mungkin saja bisa jadi bukti, bahwa masih ada jalan untuk menemukan keberadaan mereka yang hilang. Kemungkinan hidup atau mati, semuanya masih belum pasti. Tindakan represif yang dilakukan aparat, ternyata tidak hanya terjadi pada era 90-an itu. Ketika Asmara, Alex, Daniel, mencari ke setiap sudut kota untuk mencari keterangan, masih saja ada aparat—lebih tepat disebut penjahat—yang mengikuti aktivitas mereka. Meski begitu, Laut, selalu memberi kode-kode yang bisa disampaikan oleh alam. Dalam novel, Asmara selalu saja memiliki keyakinan bahwa, kakaknya itu masih selalu memberinya informasi, meski Asmara sendiri masih tidak tahu keberadaan pasti kakaknya itu. Laut Bercerita, menjadi buku novel historical fiction yang direkomendasikan. Terutama untuk anak muda dan menyukai cerita sejarah. Sebuah sejarah yang dilupakan dalam pelajaran sekolah. Sebuah sejarah yang mengungkap apa yang disembunyikan. Sebuah sejarah yang menjadi bukti, bahwa tak semua sejarah itu bernilai peristiwa yang baik. Meski fiksi, novel yang ditulis Kak Chudori merupakan hasil riset panjang yang ia lakukan. Jadi, selama membaca novel, saya juga seperti dibawa untuk membaca laporan investigasi serius mengenai peristiwa yang terjadi pada masa itu. Sedikit saya temukan perihal kekurangan, sebab tiap aspek di buku ini dikemas begitu baik. Di beberapa dialog, atau pun istilah bahasa lokal, mungkin bisa diberi footnote atau keterangan terjemah, sebab barangkali saja beberapa pembaca kurang memahami hal tersebut.
ADVERTISEMENT