Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kedudukan dan Wewenang Kepala Otorita IKN: Keistimewaan atau Penyimpangan?
7 November 2023 9:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rifki Putra Pasya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selasa, 3 Oktober 2023, DPR bersama pemerintah sepakat untuk mengesahkan Revisi UU IKN. Salah satu poin dalam Revisi UU IKN yang sempat menarik perhatian publik adalah investor dapat 'menguasai' lahan IKN maksimal selama 190 tahun.
ADVERTISEMENT
Poin tersebut merupakan satu dari sekian kontroversi yang berkaitan dengan IKN. Namun, sebelum kontroversi tersebut mencuat, terdapat beberapa kontroversi lain yang lebih dahulu muncul berkaitan dengan IKN.
Seperti yang diketahui, Ibu Kota Indonesia akan dipindahkan dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Bahkan, Presiden Jokowi menargetkan IKN dapat digunakan untuk upacara kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2024. Guna mendukung proses pemindahan dan pemerintahan di IKN, pemerintah dan DPR membentuk UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang disahkan pada tanggal 18 Januari 2022.
Setahun berselang, pemerintah dan DPR melakukan revisi UU IKN pada tanggal 3 Oktober 2023. Dalam proses pengesahan hingga revisi saja, UU IKN sudah menimbulkan kontroversi karena prosesnya dianggap terburu-buru, sehingga tidak melibatkan banyak partisipasi aktor yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Namun, hal lain yang menjadi kontroversi IKN adalah kewenangan Kepala Otorita IKN. Apabila menyelisik UU IKN, terdapat dua pasal yang menimbulkan pertanyaan terhadap kedudukan, wewenang, dan pembatasan masa jabatan Kepala Otorita. kedua pasal yang dimaksud adalah Pasal 5 ayat 4 dan Pasal 10 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2022.
Pasal 5 ayat 4 UU IKN menjelaskan bahwa Kepala Otorita adalah kepala pemerintah daerah IKN yang memiliki kedudukan setingkat menteri dan ditunjuk oleh presiden dengan pertimbangan DPR.
Selanjutnya, Pasal 10 ayat 1 menjelaskan bahwa Kepala Otorita menjabat selama lima tahun dan dapat ditunjuk kembali. Jika melihat penjelasan kedua pasal tersebut, setidaknya terdapat dua polemik yang dapat dianalisis, yaitu ambiguitas kedudukan dan wewenang serta tidak adanya pembatasan masa jabatan Kepala Otorita.
ADVERTISEMENT
Mengacu ke Pasal 5 ayat 4, Kepala Otorita merupakan kepala daerah setingkat provinsi yang bertugas mengurusi pemerintahan daerah khusus IKN. Akan tetapi, kedudukan Kepala Otorita diberikan 'keistimewaan', yaitu setingkat dengan menteri. Hal tersebut pun menimbulkan ambiguitas terhadap kedudukan dan wewenang Kepala Otorita.
Jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, gubernur tidak diberikan kedudukan 'istimewa' layaknya Kepala Otorita IKN. Meskipun sebagai Ibu Kota Negara pada saat tulisan ini dibuat, kedudukan dan wewenang Gubernur DKI Jakarta sama seperti gubernur-gubernur provinsi di Indonesia lainnya, yaitu kepala daerah yang dipilih melalui Pilkada dan bertugas mengurusi pemerintahan provinsi.
Ambiguitas ini juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang Kepala Otorita, di mana terdapat wewenang yang seharusnya dilakukan oleh pusat dapat dilakukan oleh Kepala Otorita karena kedudukannya yang sejajar dengan menteri.
ADVERTISEMENT
Masih berkaitan dengan kedudukan Kepala Otorita IKN, posisinya sebagai kepala pemerintah daerah memerlukan mitra kerja dari lembaga legislatif. Idealnya, Kepala daerah memiliki DPRD provinsi atau kabupaten/kota sebagai mitra kerja dan lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan daerah.
Hal tersebut sejalan dengan fungsi check and balance antar lembaga. Oleh karena itu, sebagai daerah yang dikategorisasikan sebagai provinsi, IKN idealnya memiliki DPRD Provinsi.
Namun, Pasal 42 ayat 7 UU No. 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas UU No. 3 Tahun 2022 IKN menyatakan bahwa DPR akan menjadi lembaga legislatif yang mengawasi pemerintahan di IKN, termasuk pengawasan terhadap Kepala Otorita. Hal tersebut pun menimbulkan pertanyaan terhadap potensi penyimpangan DPR karena intervensi terhadap urusan daerah yang sejatinya dilaksanakan oleh DPRD Provinsi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tidak adanya perwakilan dari dapil khusus IKN di DPR menambah kerancuan terhadap fungsi pengawasan DPR terhadap IKN. Ketiadaan DPRD Provinsi dan perwakilan dapil khusus IKN di DPR akan membuat aspirasi masyarakat IKN, khususnya masyarakat lokal atau adat, menjadi sulit untuk diserap.
Selain kedudukan dan wewenang, tidak adanya pembatasan masa jabatan Kepala Otorita IKN juga menjadi salah satu polemik yang perlu diperhatikan. Dalam negara demokrasi, pembatasan kekuasaan merupakan suatu keniscayaan karena sejalan dengan pernyataan Lord Acton, yaitu power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Tidak adanya pembatasan masa jabatan Kepala Otorita yang tertera dalam Pasal 10 ayat 1 UU IKN menimbulkan pertanyaan terhadap regenerasi kekuasaan di IKN. Jika dibandingkan dengan kepala daerah lainnya, terdapat pembatasan masa jabatan selama dua periode yang diatur dalam Pasal 60 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa kepala daerah menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali maksimal selama satu kali masa jabatan atau maksimal dapat menjabat selama dua periode.
ADVERTISEMENT
Penunjukan langsung oleh presiden dan tidak adanya pembatasan masa jabatan merupakan 'keistimewaan' Kepala Otorita yang dapat berpotensi merusak tatanan demokrasi karena publik tidak berpartisipasi secara langsung dalam pengangkatan Kepala Otorita dan hadirnya potensi penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari ketiadaan pembatasan masa jabatan.
Pembangunan IKN yang digadang-gadang sebagai bentuk menuju Indonesia Emas 2045 nampaknya masih menyisakan berbagai permasalahan yang perlu dibenahi, khususnya kedudukan dan wewenang Kepala Otorita IKN yang akan menjadi pemimpin di IKN kelak.
Pemberian keistimewaan Kepala Otorita, seperti kedudukan setara dengan menteri, penunjukan langsung oleh presiden, pengawasan yang dilakukan oleh DPR, hingga tidak adanya pembatasan masa jabatan, nampaknya perlu menjadi perhatian dan evaluasi kembali bagi pemerintah agar pemerintahan IKN ke depan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan tidak memunculkan pemerintahan daerah yang otoriter.
ADVERTISEMENT