Konten dari Pengguna

Simbolisme dan Eksistensi Gotong Toapekong di Tangerang: Analisis Semiotika

Rifki Yoga Novansyah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31 Desember 2024 20:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifki Yoga Novansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Potret Pribadi
ADVERTISEMENT
Eksistensi sebuah budaya tercermin dari tradisi yang muncul di masyarakat, tradisi ini menjadi simbol perkembangan manusia yang beragam. Manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada di sekitarnya. Karena itu, manusia dapat disebut sebagai homo signans. Dalam hal ini manusia dipandang memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai gejala sosial budaya dan gejala alamiah. Seperti halnya pada anak kecil yang baru terlahir, memiliki pengetahuan akan orang tua sehingga membuatnya menangis, mencari sebuah makna akan kehadiran kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Kegiatan ini merupakan hasil riset lapangan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah filologi serta dijadikan bahan analisis untuk tugas ujian akhir semester mata kuliah semiotika. Hasil riset lapangan di lakukan pada hari Jumat (6/12/24) di Museum Benteng Heritage.
Riset lapangan ini dipandu oleh pihak museum Benteng, ia mengatakan bahwa tidak diperbolehkan mengambil dokumentasi yang ada di dalam Musem Benteng, dikarenakan pernah mengalami kerugian besar atas hasil foto/video dari para pengunjung wisatawan yang hadir ke Museum Benteng Heritage. Maka dari itu, pengambilan dokumentasi riset lapangan ini hanya dapat mengambil foto di depan pintu masuk Museum Benteng Heritage.
Selama proses melihat Museum Benteng Heritage, kami penasaran akan satu hal. Bagaimana budaya yang terakulturasi, baik karena aspek sosial pun budaya?
ADVERTISEMENT
Hal yang serupa juga terjadi pada kehidupan sosial manusia, interaksi sosial yang terjadi akan menghasilkan sebuah kebudayaan yang akan diwariskan antar tiap generasi menghasilkan sebuah tradisi. Tradisi sangat memicu rasa keingintahuan yang tinggi karena dapat menyelami tiap-tiap misteri dalam diri manusia. Endraswara (2009) menyebutkan tradisi sama halnya hidup manusia.
Salah satu tradisi unik di Tangerang kota terdapat pada komunitas Tionghoa berupa tradisi gotong Toapekong. Toapekong Cina Benteng sebutannya karena terletak di jantung kota Tangerang merupakan acara yang dilaksanakan setiap 12 tahun sekali, tradisi ini menjadi simbol penghormatan kepada leluhur dan rasa syukur, sekaligus wujud pelestarian budaya lokal yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa.
Toapekong berasal dari istilah dalam bahasa Hokkian, yang secara harfiah berarti "altar untuk menghormati dewa atau leluhur". Tradisi ini hanya dilakukan pada saat tahun naga, tahun ini dipilih sebagai momen pelaksanaan karena naga dalam budaya Tionghoa melambangkan keberuntungan, kekuatan, dan kemakmuran.
ADVERTISEMENT
Tradisi gotong Toapekong berawal dari renovasi besar pada Kelenteng Boen Tek Bio, salah satu kelenteng tertua di Kota Tangerang. Renovasi ini membutuhkan waktu bertahun-tahun dan melibatkan seluruh komunitas Tionghoa setempat. Partisipasi masyarakat terlihat dari keterlibatan semua kalangan. Renovasi ini membuat beberapa patung dewa-dewi harus dipindahkan, seperti halnya patung dewi yang melambangkan welas asih yaitu Dewi Kwan Im Hud Couw.
Setelah renovasi selesai, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan proyek besar ini dan untuk memohon berkah bagi masyarakat, diadakan upacara besar. Acara tersebut mencapai puncaknya dengan arak-arakan patung dewa-dewi yang dihormati dengan mengembalikan patung dewa-dewi tersebut ke asalnya, yaitu Kelenteng Boen Tek Bio.
Dalam praktiknya, tradisi gotong Toapekong mencakup serangkaian proses yang melibatkan masyarakat secara luas. Ritual dimulai dengan persiapan patung dewa-dewi serta leluhur di kelenteng, kemudian diarak keliling kawasan sebagai bentuk penghormatan serta rasa syukur. Prosesi ini sering kali diiringi dengan atraksi budaya seperti barongsai, tari-tarian, dan pertunjukan wayang potehi. Seluruh rangkaian acara menjadi manifestasi simbolik manusia.
ADVERTISEMENT
Simbol-simbol dalam tradisi ini menurut Benny Hoed dipandang sebagai sistem tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memberikan makna terhadap pengalaman hidupnya. Prosesi gotong Toapekong tersusun dalam satu rangkaian acara yang cukup panjang. Seperti Pa Pwee Kimsin, Thiam Kuda Kongco, ritual Kimsin, sembahyang Samkay, pembacaan Sutra keng, pembacaan Paritta Manggala, Pradiksina altar, sembahyang malam Cap Go, gotong Toapekong, dan sembahyang Onde.
Perayaan 12 tahunan Gotong Toapekong melibatkan berbagai prosesi yang penuh makna. setiap prosesi rangkaian acara memiliki makna yang dapat dijelaskan melalui teori Roland Barthes (denotasi, konotasi, mitos) serta pengaplikasian konsep budaya dari Benny Hoed.
Pa Pwee Kimsin merupakan persiapan awal dari rangkaian acara Toapekong sebagai pembuka dengan kimsin (patung dewa) dibersihkan dan disucikan. Proses ini melambangkan penyucian diri dan lingkungan sebelum perayaan dimulai. Prosesi ini mewakili kepercayaan bahwa keberkahan hanya dapat diterima jika tempat ibadah dan simbol-simbol keagamaan dijaga kesuciannya. Pa Pwee Kamsin menjadi sebuah sistem tanda yang menunjukkan penghormatan spiritual, Hoed menjelaskan bahwa manusia menciptakan makna simbolis terhadap kimsin (patung) sebagai perantara spiritual, dengan mensucikannya.
ADVERTISEMENT
Thiam Kuda Kongco merupakan ritual menyalakan dengan mempersiapkan "kuda" simbolis sebagai kendaraan Kongco (dewa) untuk diarak. Prosesi ini melambangkan kehormatan dan penghormatan terhadap Kongco (dewa-dewi) yang diundang untuk memberikan berkah kepada masyarakat. Prosesi ini menguatkan kepercayaan bahwa dewa memiliki kekuatan untuk hadir di tengah manusia melalui kendaraan simbolis. Hoed menjelaskan ritual ini sebagai peran manusia yang memberi makna melalui simbol-simbol keagamaan, seperti halnya kendaraan yang digunakan para dewa-dewi.
Ritual Kimsin dilakukan setelah penyucian, kimsin ditempatkan di altar utama sebagai simbol kehadiran spiritual dewa. Ritual ini biasanya diiringi doa dan persembahan untuk memohon restu, juga dianggap sebagai undangan kehadiran spiritual dewa di tengah perayaan. Selama prosesi tersebut, altar menjadi ruang sakral yang mempertemukan dunia spiritual dan dunia manusia. Praktik ini menunjukkan bagaimana ruang fisik diubah menjadi ruang simbolis melalui ritual.
ADVERTISEMENT
Sembahyang Samkay merupakan ritual persembahan kepada tiga entitas penting: Tuhan Yang Maha Esa, leluhur, dan dewa pelindung. Sembahyang ini menunjukkan rasa syukur dan penghormatan. Menunjukkan keseimbangan antara hubungan spiritual manusia dengan Tuhan, leluhur, dan alam. Prosesi ini menekankan pentingnya harmoni sebagai dasar keberuntungan dan perlindungan. Dalam pandangan Hoed merupakan cerminan pentingnya nilai spiritual dalam menciptakan makna kolektif di masyarakat.
Pembacaan Sutra Keng berisi doa-doa dalam bentuk sutra yang dibacakan untuk memohon kedamaian, keberkahan, dan keharmonisan. Pembacaan sutra ini mencerminkan nilai spiritualitas yang mendalam serta melambangkan permohonan kedamaian dan perlindungan. Sutra dianggap sebagai teks suci dengan kekuatan transformasi spiritual, dengan bentuknya yang halus dan lembut. Prosesi ini menunjukkan penggunaan teks suci menjadi alat simbolik dalam komunikasi spiritual.
ADVERTISEMENT
Pembacaan Paritta Manggala merupakan doa dari tradisi Buddha yang berisi pesan-pesan kebaikan, keberkahan, dan perlindungan untuk komunitas. Ritual ini dilakukan untuk menciptakan energi positif selama perayaan, serta menghubungkan energi spiritual dengan kesejahteraan duniawi. Doa ini mencerminkan bagaimana simbol keagamaan digunakan untuk memperkuat solidaritas komunitas.
Pradiksina Altar merupakan prosesi mengelilingi altar secara ritual searah jarum jam, sebagai simbol penghormatan dan penyucian diri di hadapan para dewa. Tindakan ini melambangkan penghormatan dan penyerahan diri kepada kekuatan ilahi. Ritual ini menunjukkan bagaimana manusia menciptakan makna melalui gerakan simbolik.
Sembahyang Malam Cap-Go merupakan persembahan pada malam ke-15 bulan lunar, menandai puncak perayaan. Sembahyang ini dilakukan dengan doa dan persembahan makanan, sebagai ungkapan rasa syukur. Penanda puncak perayaan dengan ungkapan syukur. Tradisi ini menunjukkan bagaimana waktu digunakan sebagai sistem tanda dalam budaya.
ADVERTISEMENT
Gotong Toapekong merupakan puncak acara, dengan kimsin diarak keliling wilayah sekitar. Prosesi ini melibatkan barongsai, liong, musik tradisional, dan antusiasme masyarakat. Ini adalah simbol kebersamaan dan permohonan berkah bagi semua, dengan keyakinan bahwa kehadiran fisik patung dewa membawa energi positif. Ritual ini menunjukkan integrasi budaya dengan partisipasi kolektif masyarakat.
Sembahyang Onde dijadikan sebagai penutup perayaan, sembahyang ini dilakukan dengan menyajikan onde-onde sebagai simbol keberkahan dan keharmonisan. Ritual ini juga melambangkan rasa manis kehidupan yang diharapkan terus berlanjut. Onde-onde dianggap sebagai representasi keberkahan hidup. Tradisi ini menunjukkan bagaimana makanan lokal diangkat sebagai simbol spiritual.
Perayaan Gotong Toapekong merupakan salah satu tradisi kebudayaan di Indonesia dengan sistem tanda yang kompleks, mengintegrasikan elemen-elemen budaya, spiritualitas, dan sosial dalam satu tradisi. Dengan memanfaatkan teori Barthes dan Hoed, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini adalah wujud dinamis dari bagaimana masyarakat menciptakan, menginterpretasikan, dan mempertahankan makna melalui simbol-simbol budaya. Tradisi ini tidak hanya menghubungkan manusia dengan leluhur dan spiritualitas, tetapi juga mempererat solidaritas dan identitas kolektif di tengah perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Sumber Pustaka:
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Medpress.