Konten dari Pengguna

Prancis Tidak Melulu Romantis

Rifky Akbar
Diplomat Indonesia. Anggota tetap Sesdilu ke-79 Kemlu RI. Kadang duduk di depan komputer. Kadang lari di lapangan. Kadang jungkir balik di atas matras.
5 November 2025 8:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Prancis Tidak Melulu Romantis
Prancis: kadang manis, kadang menyebalkan, tapi selalu membuatmu terpesona dengan cara yang tak terduga.
Rifky Akbar
Tulisan dari Rifky Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata orang, Prancis adalah negara cinta, penuh romantika.
Tapi, begitu kamu menginjakkan kaki di sana, panah asmara Cupid sering kali meleset: entah tersangkut di antrean panjang menara Eiffel, terpental oleh tatapan sinis pelayan kafe, atau hilang begitu saja di dalam keramaian metro.
ADVERTISEMENT
Semua yang tampak romantis di imajinasi kita ternyata punya versi realitasnya yang berbeda. Justru di situlah pesonanya. Prancis mampu membuatmu jatuh cinta dan jengkel dalam napas yang sama.
Menara Eiffel dari Place du Trocadéro (Dok. Koleksi pribadi)

Layar Kaca vs Realitas

Di layar kaca, Prancis tampak seperti macarons – manis, memesona, dan nyaris tanpa cela. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada juga retakan halus dan sisi yang tidak seindah tampilannya. Prancis bukan sekadar estetika, tapi juga ritme hidup yang kadang berantakan, seperti sisa adonan kue di meja dapur.
Lihat saja serial Emily in Paris yang ditayangkan di Netflix. Ibu kota Prancis digambarkan begitu sempurna: bangunan bersejarah yang megah, jalanan berbatu yang elegan, restoran dan kafe cantik di setiap sudut kota, dan butik-butik ternama yang seolah tak pernah sepi pengunjung. Di dunia Emily, segala urusan tampaknya bisa diselesaikan dengan segera, cukup dengan senyum menawan kepada tetangga atau segelas anggur di hari kerja.
ADVERTISEMENT
Apartemen Emily di serial Emily in Paris (Dok. Koleksi pribadi)
Tentu, gambaran ini tidak sepenuhnya keliru. Prancis, khususnya Paris memang punya pesonanya sendiri. Keindahan arsitektur Haussmann di pusat kota dan aroma croissant hangat setiap pagi bisa membuat siapa pun ingin angkat koper dan menetap di sana. Namun, bagi mereka yang tinggal atau pernah berkunjung cukup lama tahu, kehidupan di balik layar itu jauh lebih kompleks. Ada hari-hari ketika layanan publik tidak tanggap, ketika tamu tidak selalu diperlakukan seperti raja, atau bahkan ketika jalanan tersendat oleh truk sampah yang lewat di jam sibuk.

Budaya Protes

Bagi banyak orang, Prancis identik dengan mode, kuliner, dan gaya hidup santai. Tapi, ada satu hal lain yang sama kuatnya dengan aroma parfum Prancis: budaya protes. Dari reformasi pensiun hingga harga bahan bakar, hampir setiap kebijakan baru bisa memicu demonstrasi nasional.
ADVERTISEMENT
Patung Marianne, simbol Republik Prancis, dipakaikan rompi kuning bertuliskan Macron démission (seruan agar Presiden Macron mengundurkan diri) sebagai bentuk protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah saat itu (Dok. Koleksi pribadi)
Sebagian menyebutnya bukan sekadar tanda ketidakpuasan terhadap pemerintah, melainkan bentuk dari partisipasi aktif warga negara. Ada pula yang berpendapat bahwa orang Prancis memang lahir untuk memberontak, sebuah warisan sejarah yang panjang. Semangat itu sudah tertanam sejak abad ke-18, ketika Revolusi Prancis menggulingkan monarki dan menegakkan gagasan liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Protes hari ini, dalam banyak hal, adalah gema dari semangat tersebut.
Tentu saja, tidak semua protes berlangsung mulus. Siapa yang bisa lupa gelombang Gilets Jaunes (Rompi Kuning) yang pecah pada akhir 2018. Bermula dari protes pajak bahan bakar, lalu meluas menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Kemudian pada 2023, demonstrasi kembali mengguncang ketika pemerintah mengusulkan kenaikan usia pensiun. Tidak hanya di Paris, massa bergerak dari kota-kota besar hingga ke sudut terkecil negara, seolah sedang menghadiri festival kebebasan.
ADVERTISEMENT
Unjuk rasa pro-Palestina di Paris (Dok. Koleksi pribadi)

Mencuri Hati dengan Bahasa

Salah satu kejutan yang bisa kamu temui di Prancis terkadang bukan hanya soal harga, tapi bahasa. Orang Prancis bisa menjadi jauh lebih responsif ketika kita mencoba berbicara dalam bahasa mereka, meski hanya sebatas bonjour (halo), merci (terima kasih), atau pardon (maaf).
Bagi sebagian orang, ini terasa seperti keangkuhan linguistik. Tapi bagi orang Prancis, bahasa adalah identitas nasional yang sudah dijaga selama berabad-abad, khususnya sejak berdirinya Académie Française pada abad ke-17 yang memiliki misi untuk melindungi bahasa Prancis dari “ancaman luar”. Bukan hanya mempromosikan bahasanya di luar negeri melalui institusi seperti Institut Français atau Alliance Française, kantor-kantor wali kota di Prancis juga membuka kelas bahasa bagi para pendatang.
Le BHV Marais, salah satu pusat perbelanjaan di Paris yang pernah memamerkan produk-produk industri kreatif Indonesia (Dok. Koleksi pribadi)
Cobalah sedikit berbicara dalam bahasa Prancis betapa pun berlepotannya. Sikap mereka bisa berubah total, dan tatapan yang tadinya dingin bisa mendadak lunak. Namun, belakangan ini semakin banyak generasi muda yang lebih terbuka dan akan merespons dalam bahasa Inggris kepada para pendatang.
ADVERTISEMENT

Prancis, Tergantung Cara Kita Memandangnya

Le Mur des Je t’aime (Tembok Cinta) di Paris yang memuat ekspresi “Aku cinta padamu” dalam lebih dari 250 bahasa (Dok. Koleksi pribadi)
Prancis memang tidak melulu romantis. Tapi mungkin di situlah letak pesonanya. Negeri ini bisa membuatmu kagum pada pagi hari, kesal di siang hari, dan jatuh cinta lagi saat malam tiba. Bukan cinta manis seperti di film-film, melainkan cinta yang bikin naik-turun emosi: kontradiktif, penuh perdebatan, dan mempertahankan jati diri.
Bagaimana kita memandangnya, akhirnya adalah pilihan kita sendiri. Datang hanya dengan ekspektasi dari layar kaca? Mungkin kecewa. Namun, jika kita membuka diri untuk merasakan setiap aroma, nada, dan rasa kehidupan sehari-hari, memperhatikan bagaimana orang berinteraksi, kita akan menemukan Prancis yang manusiawi: sebuah negeri yang tidak sempurna, tapi tidak mudah dilupakan.