Konten dari Pengguna

Hantu Kenaikan BBM Jelang Pemilu 2024

Rifqi Nuril Huda
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) , Wakil Bendahara Umum DPP GMNI, Ketua Umum Akar Desa Indonesia
26 September 2023 17:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifqi Nuril Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi daftar calon tetap anggota DPR RI pemilu tahun 2019. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi daftar calon tetap anggota DPR RI pemilu tahun 2019. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk pikuk ramai di berbagai sudut masyarakat Indonesia membincangkan pemilihan presiden di tahun depan, tepatnya tanggal 14 februari 2024. Ada susupan perbincangan harga minyak dunia tinggi, yaitu 93-94 dolar AS yang merupakan harga minyak tertinggi sejak tahun 2022. Tentu ini bukanlah kondisi yang membuat masyarakat Indonesia nyaman di tengah-tengah harapan banyak masyarakat Indonesia menanti gagasan hingga tawaran calon Presiden dan Wakil Presiden yang dapat di hitung hari sekitar 140 an hari lagi.
ADVERTISEMENT
Kenyataan Indonesia dikategorikan sebagai negara Nett Importir minyak dan gas bumi di tambah dengan kondisi jarak yang jauh antara angka hasil produksi minyak mentah dengan angka kebutuhan nasional kita produksi 590,41 MBOPD dan kebutuhan sekitar 1,5 Juta MBOPD (KESDM). Ini bukanlah sebuah hal yang wajar untuk masyarakat saat ini.
Tahun lalu tepatnya di bulan september 2022 pemerintah mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan nasional terkhusus minyak dan gas bumi untuk BBM bagi masyarakat. Kondisi tahun kemarin juga memaksa pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dan non subsidi hingga mengubah penggunaan dan menambah nilai di APBN awalnya Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502 triliun untuk alokasi energi. Yang pada saat itu harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan di angka 90 an dolar AS.
ADVERTISEMENT
Efek dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tahun lalu banyak menuai kritik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan naiknya harga BBM bersubsidi Pertalite yang tadinya hanya Rp 7.650 per liter naik menjadi Rp 10.000 per liter tentunya mempengaruhi segala lini kebutuhan pokok di masyarakat. Kondisi pada saat ini juga memicu bergeraknya elemen masyarakat hingga aksi demonstrasi mulai dari mahasiswa, buruh dan koalisi masyarakat sipil lainnya di hampir seluruh daerah di Indonesia.
Kemudian muncul pertanyaan: apakah harga BBM akan naik lagi? Melihat faktor utama naiknya harga BBM tahun 2022 adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Lantas sebagai negara Nett Importir minyak yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan nasional, pemerintah harus menyiapkan Planning Action atau rencana aksi yang tepat. Tentu tahun ini dan tahun kemarin dalam menghadapi tantangan kenaikan harga minyak mentah tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran tunggangan-tunggangan kepentingan untuk memecah belah bangsa menjadi momentum yang sangat empuk sekali. Tentu ini bukanlah sebatas layaknya hantu yang bergentayangan seperti dalam cerita dan diskusi masyarakat tapi tidak hanya beberapa yang pernah melihat dan beberapa yang tidak pernah melihat sosok hantu tersebut. Uniknya hantu ini terus menerus diceritakan dan didiskusikan oleh masyarakat dan terkadang menjadi momok ketakutan tersendiri di dalam masyarakat.
Dalam konteks mengantisipasi hantu kenaikan harga BBM menjelang pemilu 2024 haruslah dilakukan kerja gotong royong dari berbagai elemen masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan energi di Indonesia. Minimal mengurangi angka ketergantungan impor terhadap minyak. Diketahui bersama dahulu di tahun 1962 Indonesia pernah menjadi bagian penting dalam tata kelola bisnis minyak dan gas bumi di kancah global, ini ditandai dengan tergabungnya Indonesia dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).
ADVERTISEMENT
Salah satu kategori negara dapat di terima menjadi anggota OPEC ialah, negara tersebut surplus akan minyak dan gas bumi di dalam negeri. Tapi seiring perkembangan waktu hasil produksi dalam negeri menurun dan dibersamai dengan naiknya kebutuhan nasional, hingga keluarnya Indonesia dari OPEC pada tahun 2008 karena menjadi negara pengimpor minyak, bukan pengekspor minyak.
Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina Jalan Riau, Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/62023). Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Kondisi di mana Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri dan di mengharuskan impor, adalah fakta yang terjadi sehingga menjadi banyak perhatian dan pertanyaan bagaimana tata kelola minyak dan gas bumi di Indonesia saat ini. Mulai dari Hulu (Upstream) dan Hilir (Downstream). Di sektor hulu upaya peningkatan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia di ketahui sulit mencapai angka satu juta barel per hari sesuai mimpi Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau biasa di sebut SKK Migas.
ADVERTISEMENT
Faktor paling menonjol menjadi penghalang ialah rendahnya angka investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi wilayah kerja baru, dan itu pun juga masih ada permasalahan turunannya. Seperti Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tak kunjung ada kepastian, dan aturan yang kabur mengenai pengaturan kontrak Production Sharing Contract (PSC) bagi kontraktor hulu migas boleh menggunakan Gross Split atau Cost Recovery yang menurut hemat penulis mengancam terhadap kepastian hukum bagi negara sebagai pemegang penuh kuasa pertambangan minyak dan gas bumi dengan kontraktor. Yang akan berakibat terhadap mekanisme bagi hasil yang di dapat dari pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia
Tantangan maupun kesulitan di sektor hilir minyak dan gas di Indonesia juga tidak luput menjadi perhatian. Mulai dari kapasitas pengolahan kilang untuk minyak mentah menjadi minyak jadi yang dapat digunakan oleh masyarakat juga belum dapat mencapai kapasitas maksimalnya, ditambah dengan usia tua kilang di Indonesia. Selain daripada itu dalam sektor distribusi langsung kepada masyarakat juga terjadi banyak kasus BBM yang ditimbun oleh oknum pengusaha maupun pejabat keamanan yang berpengaruh terhadap penyaluran BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran kepada masyarakat penerima subsidi.
ADVERTISEMENT
Maka untuk menghadapi hantu kenaikan BBM di momentum Pemilu 2024, penulis melihat ada dua solusi jangka panjang dan jangka pendek yang harus menjadi komitmen bersama baik pemerintah dan masyarakat. Pertama, evaluasi bauran energi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) harus segera di jadikan patokan sebagai upaya diversifikasi energi. Sehingga masyarakat tidak hanya tergantung dengan bahan bakar minyak dan gas bumi saja.
Tetapi dan tentu upaya ini juga harus didukung dengan upaya percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan Revisi Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) yang usia sudah terlalu tua dari putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013. Kedua, Urgensi revisi Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
ADVERTISEMENT
Karena dengan adanya revisi peraturan presiden tersebut menjadi tegas posisi pengguna pertalite sebagai jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) untuk masyarakat yang mana, sehingga penjualan pertalite dapat di terima oleh masyarakat penerima hak subsidi. Karena sejatinya filosofi dari subsidi adalah tepat sasaran.