Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Membaca Arah Pilihan Politik Pemuda Desa 2024
1 Oktober 2023 12:32 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Rifqi Nuril Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Merefleksi posisi desa dalam bernegara tidak bisa lepas dari apa yang dinamakan dengan jati diri bangsa. Founding Father bangsa Indonesia, Soekarno melihat desa sebagai wajah Indonesia. Dari kacamata desa, Soekarno juga menemukan ideologi perjuangan bangsa Indonesia yaitu Marhaenisme.
ADVERTISEMENT
Marhaenisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh Soekarno, dari pemikiran Marxisme yaitu perjuangan tanpa kelas dan kesetaraan yang diterapkan sesuai dengan karakteristik Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup Massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun (masih) tertindas.
Karena Soekarno melihat desa sebagai pondasi awal dari pembangunan bangsa, sehingga meyakini bahwa pembangunan bangsa harus dimulai dari desa. Desa adalah tempat di mana kebudayaan Indonesia tumbuh, dijaga dan berkembang.
Desa juga merupakan tempat beradanya sumber daya alam dan manusia yang penting bagi pembangunan bangsa, dan desa menurut soekarno sebagai tempat mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan rakyat.
Sehingga ajaran Marhaenisme yang digali oleh Soekarno dan saat ini masih beriringan dengan kehidupan masyarakat terkhusus masyarakat yang tinggal di Desa sangat menekankan pentingnya kemandirian dan kesejahteraan rakyat. Desa merupakan tempat yang ideal untuk mewujudkan hal tersebut.
Sejarah maupun pedoman kehidupan masyarakat desa di bumi Indonesia layaknya sebuah jati diri hingga menggambarkan wajah Indonesia, yang sejak zaman dahulu sebelum kemerdekaan sampai saat ini masih tetap dimaknai sebagai wajah kehidupan masyarakat di tengah arusnya modernisasi.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu setelah disahkannya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa di tanggal 15 September 2014 yang tertuang dalam Lembaran Negara 2014 nomor 7, Optimisme, serta harapan, dan pedoman tata kelola pembangunan desa muncul tertuang dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Sebelumnya dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pada tahapan evaluasi Pembangunan desa masih harus diatur oleh Pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun dengan melihat perkembagannya muncul desakan akan kebutuhan masyarakat perihal pemerataan pembangunan, yang tidak hanya tumpul sampai tingkat pemerintahan daerah tapi harus sampai pada tingkatan terendah yaitu Pemerintah Desa.
Undang-undang Desa hakikatnya adalah upaya bersama untuk mengusahakan desa berjalan secara otonom atau memberikan kewenangan lebih secara mandiri untuk mengatur segala bentuk kebijakannya sesuai dengan keragaman hak maupun asal-usulnya.
ADVERTISEMENT
Dengan harapan desa mampu lebih dapat mengeksplorasi maupun mengeksploitasi segala potensi yang ada di wilayahnya demi tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat desa atau Welfare Village.
Fenomena awal tahun ini tepatnya di Bulan Januari 2023 depan gedung parlemen dihebohkan dengan banyak orang berpakaian coklat dan kuning keki yaitu ribuan kepala desa dari seluruh Indonesia. Pada saat itu media sosial warga Jakarta seperti Instagram, twitter, dan status whatsapp mulai rame informasi foto maupun video bahwasanya di Jalan Gatot Subroto yaitu depan gedung DPR RI dilaksanakan aksi demonstrasi oleh kepala desa dengan tuntutannya yaitu penambahan masa jabatan kepala desa yang awalnya enam tahun menjadi sembilan tahun masa jabatan.
Fenomena pimpinan kepala desa menuntut penambahan masa jabatan tersebut merupakan hal yang baru di Indonesia sejak di tetapkan Undang-Undang Desa.
ADVERTISEMENT
Memang dalam proses pemilihan kepala desa di masing-masing desa tentunya tidak bisa di sama ratakan secara umum, karena setiap desa memiliki tipologi masyarakat yang berbeda-beda sehingga menghasilkan beberapa kepala desa, salah satunya yaitu berbagai macam usia, menurut data di bawah 31 tahun sebesar 1,94 %, usia 41-50 tahun persentasenya mencapai 42,90%,usia 51-60 tahun mencapai 30,51% di Indonesia (Databooks).
Pemilihan Kepala Desa selain dari pada usia juga dinilai oleh beberapa faktor yang ada di masyarakat desa, mulai dari kebiasaan Masyarakat, adat istiadat, mata pencaharian, visi dan misi hingga pada proses penyelesaian konflik politik pada saat sebelum dan sesudah pemilihan kepala desa.
Inilah yang menjadi salah satu tuntutan utama para Kepala Desa saat itu, yaitu proses penguraian masalah politik dan sentimen politik antar warga desa tidak dapat diselesaikan secara penuh dalam jangka waktu enam tahun dan berdampak terhadap kualitas Pembangunan di desa.
ADVERTISEMENT
Tentu cerita tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa didasari oleh sikap yang dirasakan secara empiris atas proses Pembangunan di desa. Tapi juga perlu kita ketahui bersama sejak adanya Undang-undang desa yang hadir di tahun 2014, masyarakat desa lewat Pemerintah Desa di sajikan beberapa gula manis.
Sajian tersebut yaitu dana desa senilai satu miliar rupiah per tahun yang di sesuaikan dengan desa masing-masing dan terus meningkat di tiap tahunnya. Artinya di balik sulitnya pembangunan di desa dan penyelesaian pasca pemilihan kepala desa ada ketidakharmonisan antara implementasi Kepala Desa dan sentimen masyarakat desa.
Ada tanggung jawab bagaimana mengelola dana desa yang di berikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah desa sebagai modal pembangunan desa.
ADVERTISEMENT
Tentu dalam konteks pemilihan kepala desa, ini merupakan hal yang biasa dalam proses politik yang wajar dimanapun berada, baik di tingkatan terendah hingga pada tingkatan pemerintah pusat. Pasti ada situasi di mana rekonsiliasi antara yang menang dan yang kalah.
Apakah bentuknya di ajak masuk dalam rezim pemerintahan pemenang atau di posisi oposisi. Kalaupun Kepala Desa mampu menghadirkan pembangunan yang dapat memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat desa tentu tidak masalah dan secara rasional akan di pilih kembali.
Implementasi dan perkembangan adanya Undang-undang Desa sampai saat ini masih terdapat kekurangan dan kelebihan. Di ketahui Undang-undang Desa lahir memberikan harapan bagi masyarakat desa terkhususnya supaya ada kewenangan secara otonomi kepada desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat di wilayahnya, dan pembangunan desa.
ADVERTISEMENT
Desa juga memiliki hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbukti dari data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mencatat peningkatan jumlah desa maju yaitu, tahun 2015 di angka 2.231 desa, tahun 2016 di angka 2.679 desa, tahun 2017 di angka 3.159 desa, tahun 2018 di angka 3.702, tahun 2019 di angka 4.294 desa, tahun 2020 di angka 4.608 desa, tahun 2021 di angka 4.749 desa dan di tahun 2022 di angka 4.831 desa.
Selanjutnya dalam data Kemendes PDTT kategori desa maju adalah desa yang telah memenuhi kriteria tertentu, di antaranya memiliki indeks desa membangun (IDM) minimal 70, memiliki tingkat partisipasi masyarakat minimal 70%, memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat minimal 70%, dan memiliki tingkat ketahanan masyarakat minimal 70%.
ADVERTISEMENT
Kriteria tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2019 tentang Indeks Desa Membangun.
Melihat data dari Kemendes PDTT, peningkatan jumlah desa maju dan kriteria desa maju merupakan fakta yang sangat menggembirakan bahwa sejak adanya Undang-undang Desa, desa mampu survive yang awalnya desa biasa dengan kategori standar dapat mengubah kondisi desanya menjadi desa maju.
Apalagi di dukung oleh kebijakan pemerintahan Jokowi yang terus meningkatkan jumlah dana desa setiap tahun demi untuk pembangunan desa. Tapi dengan di naikkan jumlah dana desa setiap tahun yang di alokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan di berikan langsung kepada Pemerintah Desa menyisakan satu pekerjaan rumah besar.
ADVERTISEMENT
Melihat juga data dari penegak hukum negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Desa yang menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi dana desa sejak Tahun 2015 sampai Tahun 2023 adalah sebanyak 686 orang. Uraian jumlah yang terdiri dari 538 Kepala Desa, 143 orang Perangkat Desa, dan 15 orang swasta.
Dari jumlah tersebut, 526 orang Kepala Desa telah diputus bersalah dan inkracht atau berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan. Vonis yang dijatuhkan beragam, mulai dari hukuman penjara hingga denda. Kerugian negara yang diakibatkan dari kasus pidana dana desa ini mencapai Rp 1,3 Triliun.
Modus operandi yang paling umum dalam kasus pidana dana desa adalah penggelapan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang. Modus penggelapan dilakukan dengan cara menyelewengkan dana desa untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
ADVERTISEMENT
Modus korupsi dilakukan dengan cara memanipulasi anggaran dana desa untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Modus penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan cara menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok.
Pemuda Desa Mendominasi Populasi
Kondisi desa saat ini dan fakta berbagai data atas kemajuan dan penyelewengan pengunaan dana desa menjadi diskursus masalah yagn harus segera di carikan solusi jalan keluar, termasuk pemilihan pemimpin desa kedepan. Data Badan Pusat Statistik (BPS pada tahun 2020) yaitu generasi milenial di angka 22,87 % dan generasi z di angka 27,94%.
Data populasi masyarakat Indonesia dapat di hitung bersama bahwa dominasi populasi generasi milenial dan generasi z adalah fakta yang ada saat ini, disandingkan dengan data BPS pada tahun 2022 merilis jumlah desa di Indonesia sebesar 83.794 (Desa/Kelurahan). Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air. Dari data di atas fenomena generasi muda baik itu generasi milenial dan generasi z lahir di desa menurut data jumlah wilayah pedesaan, dan melakukan urbanisasi ke kota yang jumlahnya terus menerus mengalami peningkatan.
Pertanyaan berikutnya adalah kenapa masyarakat desa melakukan urbanisasi dari desa ke kota? Apabila masyarakat di desa mayoritas ke kota siapa yang akan tinggal di desa? tentu ini harus menjadi refleksi bersama bagaimana mengatasinya.
Analisa sederhana dalam melihat data di atas tentu banyak, faktor yang mendorong masyarakat dalam hal terkhususnya generasi muda melakukan urbanisasi dari desa ke kota di antaranya, kesempatan kerja yang lebih luas di kota, fasilitas Pendidikan dan Kesehatan yang lebih baik di kota, gaya hidup yang lebih modern di kota.
ADVERTISEMENT
Sedangkan urbanisasi yang terjadi akan sangat signifikan mempengaruhi proses pembangunan dan tercapainya kesejahteraan di desa di antaranya, menurunnya jumlah penduduk generasi muda di desa, menurunnya produktivitas di desa, dan menurunnya kualitas sumber daya manusia di desa.
Pemuda Desa Menentukan Pilihan
Hari ini masyarakat desa dihadapkan dengan proses politik menuju pemilihan umum 2024 yang akan dilaksanakan pada Bulan Februari. Kita ketahui bersama wilayah desa dan masyarakat desa selalu masuk dalam Canvasing atau pemetaan pemenangan politik baik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Legislatif Nasional, provinsi dan kabupaten, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati.
Sehingga tanggung jawab atas perolehan suara dari masyarakat desa harus jelas di berikan dalam bentuk seperti apa. Apakah sebatas tanda kutip praktik money politic atau politik uang yang menjadi fakta budaya kapital, atau pada ranah komitmen semangat pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa.
ADVERTISEMENT
Tentu kita tahu desa tempat di mana sumber kehidupan negara ini berada. Seperti pangan, energi, air, dan barang komoditas lainnya. Tetapi sampai saat ini, jumlah desa yang dapat memberikan lapangan pekerjaan, akses fasilitas Pendidikan, fasilitas Kesehatan dan dilibatkannya partisipasi dalam proses perencanaan pembangunan masih sangat minim dan tidak signifikan. Harapannya dengan adanya Undang-undang desa adalah sebagai jalan menuju desa yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat desa.
Maka pada momentum politik 2024 dengan melihat data jumlah populasi dominan generasi muda dan di sandingkan dengan wilayah adimintrasi pedesaan yang jumlahnya sangat besar sesuai data di atas, tentu ini adalah momentum konsolidasi bagi pemuda desa.
Karena pemuda desa dalam momentum pemilihan umum 2024 sebagai pemilih terbesar nantinya. Pertanyaan yang muncul pasti pemuda desa yang mana? Ya pemuda desa yang dia pernah lahir di desa, tumbuh di desa, dan ingin melihat desa di Indonesia menjadi lebih baik dan Sejahtera.
ADVERTISEMENT
Seharusnya dalam momentum ini pemuda desa mendesak apa komitmen konkrit dari semua calon baik itu eksekutif dan Legislatif. Masyarakat desa sudah memegang jaminan kekuatan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, bahwa masyarakat desa dapat menjalankan otonomi sesuai dengan hak dan apa yang berkembang di masyarakat desa.
Tapi masih belum memegang jaminan siapa yang dapat membuat kebijakan pendukung untuk penguatan atas Undang-undang desa. seyogyanya pemuda desa perlu menggunakan hak pilihnya dengan bijak.
Pemuda desa perlu memilih pemimpin yang memiliki visi dan misi untuk memajukan desa baik pembangunan secara fisik (infrastruktur) maupun non fisik (Pemberdayaan dan Lapangan kerja). Minimal hemat penulis pemuda desa memilih calon yang pernah tinggal di desa, pernah berjuang untuk kebijakan desa dan bisa merasakan bagaimana kondisi sosial masyarakat desa sehingga dapat terwujud welfare village atau desa yang sejahtera.
ADVERTISEMENT