news-card-video
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Desensitisasi: Ketika Pejabat Bebal di Media Sosial

Rifqi Syahlendra
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
27 Februari 2025 13:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifqi Syahlendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Desensitisasi. (Sumber: Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Desensitisasi. (Sumber: Freepik.com)
ADVERTISEMENT
Sewajarnya, tulisan terkait desensitisasi pejabat di media sosial tidak haruslah ada. Namun pada kenyataannya, keadaan desensitisasi sudah bukan lagi menjadi pembahasan sederhana, melainkan menjadi sebuah bahan evaluasi bersama ketika pejabat bebal di media sosial, bebal terhadap kritik, bebal terhadap saran dan masukan. Sehingga apa yang diputuskan untuk kemaslahatan bersama, berubah menjadi kesewenang-wenangan dalam rangka menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan kroni.
ADVERTISEMENT
Kita perlu mengatahui bersama bahwa pejabat pada dasarnya adalah seseorang yang dipilih rakyat, demi kepentingan bersama. Mereka adalah orang-orang terpilih untuk menyelesaikan urusan khalayak ramai, dalam lingkup negara. Khalayak ramai ini bukanlah segelintir orang, bukanlah segelintir oligarki, ataupun segelintir orang-orang terpilih lainnya, akan tetapi seluruh masyarakat, yang diakui oleh negara ini.
Maka dari itu, untuk menyukseskan kepentingan bersama dalam bernegara, perlu jajak pendapat dari berbagai elemen masyarakat. Benar, literally seluruh elemen masyarakat. Memang terkesan berat, namun sebanding dengan pemasukan bukan?
Ketika sebuah kebijakan salah arah, dinilai kurang tepat, atau bahkan merugikan banya pihak, sangat normal apabila pejabat-pejabat ini dikritik oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Di era digital, masukan, kritik, pesan dan saran dapat dilakukan oleh masyarakat langsung kepada pejabat-pejabatnya. Ini tidak perlu dilihat sebagai upaya kudeta, namun sebagai cara masyarakat turut serta dalam menjalani bahtera negara ini. Bahkan tidak jarang, pejabat menjadi sasaran hinaan, ujaran kebencian, dan kritik tajam di media sosial.
ADVERTISEMENT
Senormalnya, para pejabat harus paham bahwa kebebasan berpendapat terjadi di media sosial, yang mengarah kepada mereka yang dikenal secara publik. Maka hal itu seharusnya dapat dijadikan sebuah kesempatan, untuk mempermudah para pejabat melihat dinamika masyarakat di media sosial, seperti apa keinginan dan harapan masyarakat yang dipimpinnya.
Bukan kebalikannya, malah menolak, membalas, dan tidak mengindahkan apa yang terjadi. Seakan-akan semua aman, damai, dan sentosa.
Fenomena penolakan dan ketidakpedulian ini secara psikologis disebut sebagai desensitisasi, yang merupakan kondisi seseorang menjadi semakin kebal terhadap serangan verbal karena terbiasa menghadapinya. Namun, apakah desensitisasi ini merupakan bentuk ketahanan mental yang sehat, atau justru tanda ketidakpedulian terhadap kritik yang seharusnya menjadi bahan evaluasi?
ADVERTISEMENT
Dalam komunikasi digital, desensitisasi terjadi ketika seseorang terus-menerus terpapar konten negatif, membuat mereka secara emosional mati rasa terhadap hinaan atau kritik. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bentuk ketahanan psikologis dalam komunikasi digital, di mana individu tetap fokus pada tugasnya tanpa terpengaruh oleh tekanan sosial media. Namun, ada juga risiko bahwa desensitisasi semacam ini dapat berujung pada sikap defensif atau bahkan mengabaikan kritik yang valid.
Seorang pejabat yang mengalami desensitisasi mungkin akan menganggap semua kritik sebagai serangan yang tidak perlu ditanggapi, padahal dalam beberapa kasus, kritik tersebut justru bisa menjadi masukan berharga.
Jika seseorang terlalu bebal terhadap kritik, mereka bisa kehilangan empati terhadap suara masyarakat. Seorang pejabat seharusnya menunjukkan keseimbangan antara ketahanan terhadap serangan digital dan keterbukaan terhadap masukan publik.
ADVERTISEMENT
Padahal, media sosial seharusnya menjadi sarana komunikasi dua arah yang memungkinkan pejabat untuk memahami aspirasi masyarakat secara langsung. Ketika desensitisasi berubah menjadi ketidakpedulian, komunikasi antara pemerintah dan rakyat bisa menjadi semakin terputus.
Dalam konteks politik dan pemerintahan, desensitisasi pejabat terhadap kritik seharusnya tidak menghilangkan keterbukaan terhadap dialog. Para pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang tahan banting terhadap hinaan, tetapi juga yang mampu memilah kritik yang membangun dari sekadar serangan emosional.
Jika pejabat yang sering dihina tetap bersikap seolah tidak terpengaruh, publik bisa menganggap bahwa ujaran kebencian adalah sesuatu yang biasa dan dapat diterima. Ini dapat memperburuk budaya komunikasi di media sosial, di mana kritik yang konstruktif semakin sulit dibedakan dari ujaran kebencian.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, dinamika opini di media sosial oleh masyarakat pasti disebabkan oleh sesuatu hal yang mempengaruhi mereka. Sebesar apalah kepentingan masyarakat selain untuk kebaikan mereka sendiri hidup di negara ini.
Mengapa ada #kaburajadulu dan #shellajadulu di media sosial? Kalau bukan ada sesuatu hal yang mengusik masyarakat.
Pejabat, yang memiliki kewenangan, seharusnya evaluasi diri, meneliti lebih lanjut, dan turun langsung ke masyarakat. Bukan diam saja, dengan senyum sumringah, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Atau bahkan, menutup kolom komentar media sosial-nya. Seakan-akan bebal terhadap masyarakatnya sendiri.