Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Fuji, Crop Top dan Volatilitas Opini Digital
22 Januari 2025 12:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari rifqi syahlendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu kita mendengar hadirnya seorang selebgram terkenal ke kantor DPR RI di Jakarta. Kehadiran selebgram bernama Fuji ini cukup ramai menjadi perbincangan netizen, lantaran mengenakan “crop top” yang dinilai kurang sopan untuk acara formal. Menariknya pendapat netizen (seperti yang sudah-sudah) saling bertolak belakang, ada yang mengkritik, ada pula yang membela Fuji sebagai bentuk ekspresi diri. Fenomena tersebut dikenal sebagai volatilitas opini digital, sebuah ketidakstabilan opini publik yang dipengaruhi oleh dinamika media sosial.
ADVERTISEMENT
Selebgram Fujianti Utami alias Fuji mengunjungi kantor DPR RI bersama dengan Verrell Bramasta yang merupakan anggota Komisi X DPR RI. Hal ini diketahui setelah kedua-nya mengunggah informasi tersebut ke media sosial. Sontak hal itu cukup menyita publik dan perdebatan di jagat maya tentang pakaian yang dikenakan oleh Fuji.
Pada dasarnya kita seringkali melihat, khususnya di media sosial, bagaimana pendapat netizen ini bertolak belakang satu sama lain. Memang hal tersebut sangat wajar, mengingat media sosial merupakan hamparan maya yang bersifat bebas untuk seluruh masyarakat.
Secara teoritis, menurut Smith dan Mackie (2015), fenomena fluktuasi pandangan individu atau kelompok dalam merespons suatu isu akibat pengaruh emosional, informasi parsial, atau efek viralitas disebut dengan volatilitas opini. Apalagi di era digital, hal ini diperkuat oleh sifat media sosial yang cepat, terbuka, dan terkadang tidak terkontrol.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada kasus Fuji diatas, opini publik terbagi antara kritik terhadap etika berpakaian dan pembelaan terhadap kebebasan berekspresi. Namun siapa yang bisa menerka, bahwa opini-opini ini bisa saja berubah hanya dalam hitungan jam saat isu tersebut baru muncul. Netizen yang mungkin tadinya membela, bisa berubah menjadi mengkritik, begitupun sebaliknya, tergantung dari beragam faktor yang mempengaruhi emosional masing-masing netizen.
Beberapa contoh lain seperti Rachel Vennya yang melanggar aturan saat Covid-19, dimana ia dirujak habis-habisan oleh netizen, namun sesaat setelah permintaan maaf terlontar, netizen ini pun kembali mendukung-nya dengan alasan “yang penting minta maaf”. Kemudian kasus Ferdian Paleka dengan prank waria-nya, Nikita Mirzani dengan huru-hara kontroversialnya, dan masih banyak lagi.
Dinamika opini para netizen ini tidak lepas dari bagaimana kecepatan informasi dan fitur anonim di media sosial, yang sering kali membuat pengguna lebih berani mengekspresikan opini-nya di jagat maya. Meskipun tanpa mempertimbangkan fakta yang lengkap terlebih dahulu, atau bahkan hanya menerima hoaks semata.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Fuji, banyak komentar yang muncul hanya berdasarkan foto atau video pendek, tanpa memahami konteks atau tujuan kehadirannya di kantor DPR. Padahal menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hadrian Irfani, kunjungan Fuji ke DPR bukan agenda resmi Komisi X, melainkan hanya undangan pribadi dari Verrell. Hal seperti inilah yang memperkuat karakter volatilitas opini di ruang digital.
Di sisi lain, volatilitas opini digital juga dipengaruhi oleh efek groupthink, di mana individu cenderung mengikuti opini mayoritas demi merasa diterima dalam kelompok. Ketika kritik terhadap Fuji mulai ramai, sebagian netizen hanya ikut-ikutan tanpa memiliki pandangan kritis. Hal ini membuat opini yang berkembang tidak hanya bersifat tidak stabil tetapi juga dangkal, sering kali hanya didorong oleh emosi sesaat.
ADVERTISEMENT
Penting bagi kita untuk paham bahwa volatilitas opini digital tidak selalu negatif. Dalam beberapa kasus, perubahan opini dapat mendorong diskusi yang lebih luas tentang norma sosial dan kebebasan berekspresi.
Namun, ketika opini berkembang tanpa dasar yang jelas atau bahkan hoaks, hal ini dapat merugikan individu yang menjadi sasaran kritik, contohlah Fuji dalam kasus ini. Reputasi seseorang dapat rusak hanya karena opini publik yang mudah terprovokasi oleh framing media.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk bersikap lebih bijak dalam merespons isu-isu di media sosial. Jangan mudah terpengaruh oleh opini mayoritas tanpa memahami konteks yang sebenarnya.
Minimalisir misinformasi dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti verifikasi informasi, memahami narasi yang beredar, dan menghindari komentar yang bersifat emosional semata. Kasus Fuji dan berbagai isu-isu selebriti yang kita ketahui dapat menjadi pengingat bahwa media sosial bukan hanya ruang diskusi yang dinamis tetapi juga penuh dengan jebakan opini yang tidak stabil, dan fenomena volatilitas opini inilah yang menjadi cerminannya.
ADVERTISEMENT