Konten dari Pengguna

Resource Dependence Theory dalam Dinamika Politik Pemilu 2024

Rifqi Syahlendra
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
12 Mei 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifqi Syahlendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dinamika politik pemilu. (Sumber: Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dinamika politik pemilu. (Sumber: Freepik.com)
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 bukan hanya ajang pertarungan elektoral, tetapi juga panggung besar bagi berbagai aktor politik untuk menunjukkan bagaimana mereka mengelola ketergantungan terhadap sumber daya, baik yang bersifat material maupun simbolik. Dalam konteks inilah, Resource Dependence Theory atau Teori Ketergantungan Sumber Daya menjadi lensa yang menarik untuk membaca dinamika politik pasca-pemilu. Dalam teori ini, organisasi (atau dalam hal ini, partai politik dan elite) tidak pernah benar-benar otonom; mereka selalu terikat oleh kebutuhan akan sumber daya yang dimiliki pihak lain.
ADVERTISEMENT
Pasca-pemilu, manuver politik mulai terasa lebih seperti negosiasi dagang ketimbang proses konsolidasi demokrasi. Partai-partai yang sebelumnya saling berseberangan kini mulai menunjukkan sinyal untuk bergabung ke dalam barisan kekuasaan.
Kita tidak sedang menyaksikan rekonsiliasi ideologis, melainkan strategi adaptasi atas realitas: siapa yang bisa memastikan akses ke sumber daya politik, ekonomi, dan sosial, dialah yang akan bertahan. Ketergantungan pada kekuasaan sebagai sumber daya utama menjadikan peta koalisi sangat cair dan pragmatis.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika idealisme politik kerap menjadi korban pertama. Aliansi yang terbentuk bukan lagi tentang kesamaan visi kebangsaan, tetapi soal siapa punya apa dan siapa butuh siapa.
Seperti yang dijelaskan oleh Pfeffer dan Salancik, dua pemikir utama teori ini, organisasi akan selalu berusaha mengurangi ketergantungannya, atau sebaliknya, meningkatkan kontrol atas sumber daya eksternal.
ADVERTISEMENT
Maka tak heran, elite partai ramai-ramai mendekat ke lingkaran kekuasaan, bukan semata demi kebijakan, tapi demi kelangsungan eksistensi politik mereka.
Jika kita tarik dari pasca-pemilu 2024 sebagai arena “homo homini lupus”, maka kita bisa melihat bahwa kompetisi tidak berhenti di kotak suara. Justru di sanalah babak baru dimulai, di mana tiap aktor politik mengaktifkan strategi bertahan dan terkadang, memangsa.
Ketika kekuasaan menjadi pusat distribusi sumber daya, maka semua aktor akan berusaha mengakses atau bahkan mengendalikan pusat itu. Bukan karena mereka jahat, tetapi karena sistem mendorong mereka untuk bersikap demikian.
Sayangnya, dalam lingkungan politik yang sangat bergantung pada sumber daya eksternal seperti dukungan finansial atau restu kekuasaan, independensi politik menjadi ilusi.
ADVERTISEMENT
Partai kecil yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya negara hampir pasti akan mengalah, bukan karena tidak punya gagasan, tapi karena tidak punya alat untuk bertahan.
Sistem ini bukan hanya menciptakan kesenjangan kekuasaan, tapi juga mempersempit ruang oposisi yang kritis.
Fenomena ini juga menjelaskan mengapa isu-isu substantif nyaris tak terdengar setelah pemilu. Perdebatan tentang visi pembangunan, tata kelola pemerintahan, dan kesejahteraan masyarakat digantikan oleh wacana siapa dapat kursi apa.
Ketika logika sumber daya lebih dominan dari logika kepentingan publik, maka agenda rakyat akan selalu berada di urutan kesekian. Inilah salah satu risiko utama dari ketergantungan politik terhadap distribusi sumber daya yang tidak merata.
Namun, penting juga untuk melihat bahwa teori ini tidak mengutuk semua bentuk ketergantungan sebagai hal negatif.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, ketergantungan bisa dikelola secara sehat jika ada sistem checks and balances yang kuat. Tapi dalam politik Indonesia, ketidakseimbangan kekuasaan membuat manuver-manipulatif lebih mengemuka ketimbang negosiasi yang sehat. Ketergantungan tidak hanya dikelola, tapi dijadikan alat kontrol.
Dalam jangka panjang, pola seperti ini berpotensi menghambat penguatan demokrasi. Ketika keputusan politik hanya didasarkan pada akses terhadap sumber daya dan bukan kualitas gagasan, maka regenerasi kepemimpinan pun menjadi stagnan.
Partai menjadi tempat transaksi, bukan wadah artikulasi ide dan kepentingan publik. Publik pun menjadi penonton dari drama yang mereka danai, tetapi tak bisa kendalikan.
Sudut pandang kritis terhadap pasca-pemilu seperti ini tentu bukan untuk menebar pesimisme. Sebaliknya, dengan memahami kerangka kerja politik sebagai medan perebutan sumber daya, kita bisa mulai menuntut pembenahan pada titik yang tepat.
ADVERTISEMENT
Transparansi distribusi kekuasaan, akuntabilitas partai politik, dan pembatasan dominasi sumber daya oleh segelintir elite bisa menjadi langkah awal.
Akhirnya, Resource Dependence Theory membantu kita melihat bahwa dinamika politik Indonesia bukan sekadar tentang siapa menang dan siapa kalah.
Tapi lebih jauh, ini tentang bagaimana ketergantungan terhadap kekuasaan memengaruhi arah dan kualitas demokrasi. Dan untuk itu, publik tidak bisa hanya menonton, kita harus masuk dalam arena wacana dan turut mengarahkan perubahan.
Pertanyaan-nya, bersediakah kita?