Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Legal Positivism Sebagai Solusi atas Kekosongan Hukum Dalam Praktik Nikah Mut'ah
31 Desember 2024 19:01 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Rifqy Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Hukum perkawinan di Indonesia saat ini dilandaskan terhadap teori filsafat positivisme. Menurut H.LA. Hart menegaskan bahwa suatu hukum itu harus kongkrit maka harus ada pihak yang menuliskan. Pengertian dari kata “yang menuliskan” merujuk terhadap suatu subjek yang memiliki otoritas untuk mengeluarkannya, otoritas tersebut adalah negara. Hukum perkawinan di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dikeluarkan oleh negara. (Ahmad Akbar K 2022).
ADVERTISEMENT
Hukum perkawinan di Indonesia dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa asas perkawinan di Indonesia menganut asas Monogami, kecuali dalam kondisi tertentu memperbolehkan poligami akan tetapi dengan syarat yang ketat. Namun, aturan ini tidak mengatur secara eksplisit tentang praktik nikah mut’ah, pernikahan dengan batasan waktu tertentu yang dianut oleh golongan syi’ah. (Rais 2014) Dalam teori hukum positif, aturan yang valid adalah aturan yang dituangkan dalam bentuk tertulis oleh otoritas negara yang berwenang, karena tidak ada peraturan yang tertulis secara eksplisit mengatur tentang larangan praktik nikah mut’ah, maka praktik ini berada dalam kekosongan hukum yang menyebabkan ambiguitas dalam penerapan hukum di masyarakat (Ahmad Akbar K 2022).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan landasan filosofis tersebut, pembangunan hukum perkawinan di Indonesia harus berdasarkan hukum tertulis, agar dapat melahirkan suatu kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan pandangan H.L.A. Hart pentingnya hukum tertulis sebagai norma hukum positif. Menurut Hart hukum harus tertulis dan diumumkan kepada masyarakat, sehingga setiap individu mengetahui perkara yang harus mereka lakukan atau hindari, sehingga hukum dapat menciptakan keteraturan dan kepastian dalam kehidupan masyarakat (Arsy, Widhiyanti, and Ruslijanto 2021).
Pembahasan
Fenomena praktik nikah mut’ah di daerah puncak bogor diawali oleh orang-orang timur tengah yang berdatagan pada tahun 1980-an. Alasan para turis dari timur tengah berdatangan ke daerah Puncak, Bogor karena dipenuhi oleh villa-villa, hotel dan penginapan lainnya untuk wisatawan domestik hingga wisatawan timur tengah. Selain kawasan Puncak, Bogor juga dipenuhi berbagai restaurant khas timur tengah dan berbagai pelayanan jasa yang tersedia lainnya. Seiring dengan terus bertambahnya wisatawan timur tengah pada tahun 1987 mulai terdengar istilah nikah mut’ah, berawal dari oknum wisatawan timur tengah dengan wanita lokal. Kini nikah mut’ah sudah berjalan lebih dari 28 tahun dan sudah terkenal hingga timur tengah. Pada awalnya praktik nikah mut’ah dilakukan oleh gadis-gadis setempat yang dipaksa oleh orangtuanya untuk menikahi orang timur tengah. Mirisnya sekarang ini bukan hanya gadis-gadis setempat tapi juga didominasi oleh perempuan-perempuan tuna susila dari berbagai tempat yang menganggap nikah mut’ah sebagai sebuah profesi (Maripah 2016).
ADVERTISEMENT
Nikah mut’ah telah melecehkan harkat dan martabat perempuan, karena dalam praktiknya perkawinan tersebut dilakukan dengan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan demikian menganggap bahwa hukum perkawinan itu tidak sehingga tidak terjadi hubungan hukum antara suami dan istri. Dalam praktiknya perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu tidak ada pembagian tanggung jawab seperti pernikahan pada umumnya. Jika masa kontrak telah habis perempuan ditinggalkan begitu saja tanpa mempedulikan apakah wanita tersebut hamil atau tidak. Seorang peneliti pernah berinteraksi dengan seorang perempuan berumur 20 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Membawa seorang anak berumur 1 tahun yang berciri fisik khas arab. Berdasarkan informasi yang diperoleh anak tersebut adalah buah dari nikah mut’ah, dimana ayahnya tidak diketahui keberadaannya dan mungkin ayahnya tidak menyadari memiliki anak dari hasil perkawinan tersebut (Rais 2014)
ADVERTISEMENT
Fenomena praktik nikah mut’ah tersebut tidak hanya menggambarkan praktik eksploitasi perempuan, tetapi juga menunjukan kedaan ekonomi dapat mendorong keluarga mengambil keputusan yang melanggar norma, moral dan agama. Dalam konteks ini urgensi kepastian hukum sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum terkait fenomena praktik nikah mut’ah. Ketiadaan regulasi yang jelas terhadap praktik ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terutama terkait status ikatan perkawinan dan anak-anak yang lahir melalui praktik nikah mut’ah ini. (Aufaridzi 2013)
Pada dasarnya, problematika praktik nikah mut’ah tidak hanya secara sosiologisnya tetapi juga secara yuridisnya. Dimana ketika kita melihat Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan konsep perkawinan yang dijelaskan pada pasal tersebut, bentuk atau model perkawinan yang bisa dilaksanakan oleh orang Islam adalah perkawinan yang ada unsur akadnya dan nikah daim. Atas dasar itu kawin kontrak tidak dikenal atau bahkan tidak ada dalam hukum perkawinan nasional Indonesia. Terlebih jika nikah mut’ah dikonsepkan dengan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan jangka waktu tertentu, maka jelas bertentangan dengan konsep perkawinan yang termuat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Jika berbicara tentang sah atau tidaknya nikah mut’ah melalui perspektif hukum nasional tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UUP “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sedangkan Pasal 4 KHI berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.”
ADVERTISEMENT
Jika menurut hukum positif sah atau tidaknya suatu perkawinan dapat diukur menurut ketentuan aturan hukum Islam bagi pemeluk agama Islam maka dapat dikatakan sah menurut hukum(Aufaridzi 2013). Apabila meninjau pendapat golongan syiah imamiyah yang menafsirkan Q.S. An-Nisa : 24, mereka menjelaskan bahwa mengambil mereka dengan harta kamu pengertiannya mencakup mengambil perempuan-perempuan secara kawin mut’ah. Kemudian “dihalalkan bagimu selain demikian” menurut mereka potongan ayat tersebut menjelaskan halalnya nikah mut’ah. Adapun hadist yang menunjukan halalnya nikah mut’ah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Mas’ud yang menurut mereka menunjukan halalnya nikah mut’ah. (Rais 2014)
Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang adanya nikah mut’ah, karena dinilai menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat umum. Fatwa MUI tersebut dikeluarkan pada tanggal 25 Oktober 1997 Nomor : 35/IM/X/1997. Akan tetapi perlu diingat berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2014 bahwa MUI hanya sebagai wadah musyawarah ulama dan cendikiawan muslim. Ainun Najib (seorang tokoh intelektual muslim) menegaskan bahwa fatwa MUI bukan hukum negara yang memiliki kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat. (Asiva Noor Rachmayani 2015)
ADVERTISEMENT
Melalui konsep perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini perundang-undangangan nasional membuka ruang yang lebar bagi pengakuan keabsahan nikah mut’ah. Sehingga penafsiran hukum ini dapat dilakukan dengan berbagai teori dan pendekatan. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ambiguitas dalam penerapan hukum di masyarakat. (Aufaridzi 2013)
Penutup
Praktik nikah mut’ah di Indonesia mencerminkan adanya kekosongan hukum yang segera diatasi oleh pemerintah. Fenomena ini tidak hanya merendahkan hak dan martebat perempuan tetapi juga menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status perkawinan dan status anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai keabsahan nikah mut’ah tersebut, hukum perkawinan nasional yang didasarkan pada asas monogami dan konsep perkawinan yang kekal, jelas tidak mengakui adanya praktik tersebut. Oleh karena itu, harus ada regulasi yang tegas dari otoritas yang berwenang untuk mengatur praktik ini, serta memberikan kepastian hukum kepada orang yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Ahmad Akbar K, Dwi Gema S. 2022. “Analisis Manajemen Resiko PT. Bank Central Asia.” Jurnal Dunia Bisnis 2 (3): 4. http://journal.univpancasila.ac.id/index.php/selisik/article/view/650.
Arsy, Eudea Adeli, Hanif Nur Widhiyanti, and Patricia Audrey Ruslijanto. 2021. “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Cacat Hukum Dan Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Pembuatan Akta Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.” Jurnal Bina Mulia Hukum 6 (1): 130–40. https://doi.org/10.23920/jbmh.v6i1.324.
Asiva Noor Rachmayani. 2015. “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析Title,” 6.
Aufaridzi, Hilmi Riezaq. 2013. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perkawinan Kontrak Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/Puu-Vii/2010.” NBER Working Papers 3 (2): 89. http://www.nber.org/papers/w16019.
Maripah, Siti Sarah. 2016. “Fenomena Kawin Kontrak Di Kawasan Puncak Bogor.” Sosietas 6 (2). https://doi.org/10.17509/sosietas.v6i2.4239.
Rais, Isnawati. 2014. “Praktek Kawin Mut’Ah Di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan.” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 17 (1): 97–104. https://doi.org/10.15408/ajis.v17i1.1246.
ADVERTISEMENT