Bagaimana Perspektif Islam Mengenai Perdagangan Tikus Putih?

Rika Amelia Nasution
Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
5 Juni 2022 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Amelia Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tikus Putih. Foto: Shutterstock.com/Gorodenkoff
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tikus Putih. Foto: Shutterstock.com/Gorodenkoff
ADVERTISEMENT
Tikus putih atau dikenal dengan nama ilmiah Rattus norvegicus merupakan hewan yang berasal dari Cina. Persebaran tikus putih cukup luas hingga ke wilayah Eropa. Tikus ini juga dikembangbiakkan di wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Tikus putih juga tergolong hewan yang mudah dikembangbiakkan karena pertumbuhannya cukup cepat. Selain itu mudah dan cepat, ukuran tikus putih yang kecil menjadikannya dapat dipelihara dalam jumlah banyak. Inilah yang menyebabkan beberapa negara di Asia membuka peternakan untuk meningkatkan populasi tikus putih.
Ada alasan lain mengapa banyak orang memilih untuk ternak tikus putih ini. Salah satunya adalah karena tikus putih kerap dijadikan bahan eksperimen bagi para peneliti dan sebagai bahan edukasi bagi para mahasiswa. Tikus putih memiliki kemampuan siklus reproduksi yang singkat, sehingga memudahkan untuk diternakkan dalam jumlah banyak. Hal tersebut yang menyebabkan beberapa pihak menjual tikus putih.
Awalnya perdagangan tikus putih menjadi perdebatan dikalangan umat sebab tikus merupakan salah satu hewan yang diperintahkan untuk dibunuh dan disebut hewan fasik. Selain itu, tikus juga haram untuk dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Artinya: “Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan bahwa “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”
ADVERTISEMENT

Lalu, bagaimana hukum perdagangan tikus untuk kepentingan penelitian?

Ditinjau dari hukum fikih muamalah dari 4 mazhab, ada beberapa kriteria terhadap sesuatu untuk berjual beli yang berhubungan dengan tikus putih ini, yaitu:
1. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
Barang jual tersebut harus suci dan dapat dimanfaatkan secara syara’. Para ulama Syafi’iyah juga membatasi istilah manfaat pada beberapa jenis kegunaan saja, yaitu seperti makanan, minuman, alat perang atau berburu, kendaraan, penjagaan, dan sebagainya. Meskipun secara jelas belum ditemukan makna dari manfaat ini, namun tetap saja ulama Syafi’iyah mengharamkan dijualnya beberapa hewan dengan alasan hewan tersebut tidak suci dan dianggap hina karena wajib dibunuh serta tidak memiliki manfaat yang dapat dipertimbangkan menurut syara’.
2. Ulama Hanabilah
ADVERTISEMENT
Transaksi perdagangan barang yang dapat dimanfaatkan dengan mubah atau untuk selain keperluan darurat. Beliau menyebut tidak sah menjual sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa perdagangan diizinkan dengan alasan karena bermanfaat untuk memperluas ilmu pengetahuan.
3. Ulama Hanafiyah
Menurut para ulama Hanafiyah tidak ada syarat untuk barang agar suci dalam hal perdagangan. transaksi perdagangan benda najis boleh dilakukan asal benda tersebut memiliki manfaat dan tidak ada nash shahih yang melarang benda tersebut untuk dijual seperti miras dan babi. Kesimpulannya adalah barang yang memiliki manfaat sepele atau tidak sesuai syara’ tetap diizinkan untuk dijual.
Dengan adanya penjelasan atas hukum perdagangan tikus putih, diharapkan dapat mempermudah kita dalam mengetahui hukum menjual tikus putih dalam pandangan 4 mazhab Islam. Penjelasan ini juga dapat menambah wawasan umat muslim dalam menanggapi fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sumber: Aljaziri, Abdurrahman. (1994). Fiqh empat madzhab jilid 5 : Bagian Muamalat 1. Jakarta : Darul Ulum Press.