Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Quarter Life Crisis: Antara Realita atau Kecemasan Sosial?
15 April 2025 12:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rika Aprilia Mauluddina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pantes dong kamu quarter life crisis, udah usia 20 ke atas!
ADVERTISEMENT
Usia rawan-rawan masalah hidup pastinya, siap-siap!
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, istilah ini sering kita dengar yaitu quarter life crisis menjadi topik hangat di kalangan anak muda, terutama mereka yang berusia 20 hingga 30 tahun. Kita sering mendengar orang-orang seusia kita merasa gagal, tersesat, atau tidak punya arah hidup. Media sosial turut memperkuat narasi ini, lengkap dengan kutipan “semangat ya, kita semua sedang tidak baik-baik saja,” yang kerap muncul di beranda.
Namun, apakah benar fenomena quarter life crisis ini?
Fenomena ini adalah krisis nyata yang dialami mayoritas anak muda? Atau justru sekadar kecemasan sosial yang diperbesar oleh ekspektasi dan perbandingan digital yang tidak sehat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu meninjau lebih dalam, tidak hanya dengan perasaan, tetapi juga dengan logika penyelidikan ilmiah yang objektif dan sistematis.
ADVERTISEMENT
Dalam psikologi perkembangan, masa usia 20-an hingga awal 30-an disebut sebagai fase emerging adulthood yaiu fase peralihan antara remaja dan dewasa yang penuh ketidakpastian. Peneliti Jeffrey Arnett (2000) menggambarkannya sebagai masa eksplorasi identitas, pekerjaan, relasi, dan nilai hidup. Jadi, wajar jika banyak dari kita merasa bingung, tidak stabil, atau bahkan tertekan di fase ini. Namun, apakah itu berarti kita sedang mengalami krisis?
Kata “krisis” sendiri menandakan sesuatu yang serius, darurat, dan mengganggu fungsi hidup sehari-hari. Dalam literatur ilmiah, istilah quarter life crisis memang dibahas oleh beberapa peneliti salah satunya oleh Robinson, Wright, dan Smith (2013) yang mendeskripsikan quarter life crisis sebagai periode krisis psikologis yang kompleks, dipicu oleh tekanan terhadap pencapaian hidup. Namun, penting dicatat bahwa hal in bukanlah gangguan kejiwaan resmi dalam sistem klasifikasi psikologis seperti DSM-5. Artinya, ini lebih tepat dipahami sebagai istilah budaya, bukan diagnosis medis.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, fenomena ini tampaknya juga diperkuat oleh lingkungan digital tempat kita hidup. Di media sosial, kita setiap hari disuguhkan pencapaian orang lain entah itu teman sebaya yang sudah punya bisnis, menikah, kuliah di luar negeri, atau membeli rumah di usia muda. Paparan semacam ini memicu kecenderungan membandingkan diri secara tidak sehat. Vogel et al.(2014) menemukan bahwa semakin sering seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial, semakin tinggi kemungkinan ia mengalami penurunan harga diri dan ketidakpuasan terhadap hidupnya sendiri.
Logika penyelidikan ilmiah mengajarkan kita untuk membedakan antara persepsi dan fakta, antara korelasi dan kausalitas. Hanya karena kita merasa gagal saat melihat teman sukses, bukan berarti kita sungguh-sungguh gagal, bisa jadi kita hanya sedang terjebak dalam bias kognitif bernama availability heuristic yaitu kita terlalu sering melihat kesuksesan orang lain yang tampil mencolok, sehingga mengira hidup mereka jauh lebih baik dari kita. Padahal, semua orang berjuang dengan caranya masing-masing hanya saja tidak semua perjuangan itu dipamerkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, survei yang dilakukan oleh LinkedIn (2017) terhadap ribuan responden di usia 25–33 tahun menunjukkan bahwa sekitar 75% dari mereka pernah merasa tertekan dengan arah hidup mereka. Tekanan tersebut umumnya berasal dari tuntutan pekerjaan, hubungan pribadi, serta tekanan ekonomi. Hal Ini memperkuat bahwa meski fenomena ini bukan kondisi medis, pengalaman bingung dan cemas pada masa transisi ini memang nyata dialami banyak orang.
Namun yang perlu disorot adalah cara kita meresponsnya. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita dengan mudah melabeli diri “quarter life crisis” begitu menghadapi kesulitan. Padahal, logika ilmiah mendorong kita untuk tidak buru-buru menyimpulkan sesuatu tanpa verifikasi, kita diajak bertanya “Apakah perasaan ini muncul karena kegagalan objektif atau karena ekspektasi yang tidak realistis?” “Apakah kita betul-betul tidak punya arah, atau hanya butuh waktu dan ruang untuk memaknai hidup?”
ADVERTISEMENT
Melabeli diri bahwa sedang mengalami “krisis” bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi kita validasi emosional bahwa kita tidak sendirian, tapi di sisi lain, bisa menjadi jebakan psikologis yang memperkuat narasi kelemahan. Kita bisa jadi terlalu larut dalam kesedihan, dan lupa bahwa fase “tidak tahu harus ke mana” adalah bagian alami dari proses menjadi dewasa.
Maka penting untuk memiliki pendekatan yang seimbang, menerima bahwa keresahan itu valid, tapi tidak membiarkannya mendefinisikan kita. Kita bisa mulai dengan mengenali sumber tekanan yang kita hadapi apakah berasal dari dalam diri, keluarga, media sosial, atau realitas ekonomi. Dengan kesadaran ini, kita bisa menyusun langkah kecil yang konkret yaitu mencari mentor, membatasi konsumsi media sosial, atau mengevaluasi kembali standar kesuksesan yang kita yakini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, fase 20-an memang penuh ketidakpastian. Tapi seperti kata Arnett (2000) justru di masa ini kita punya ruang untuk bereksperimen dan menemukan jati diri. Kita tidak perlu terburu-buru merasa harus “sukses” di usia muda, yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi seberapa sadar kita dalam menjalani prosesnya.
Quarter life crisis mungkin nyata, tapi bukan akhir segalanya. Justru ini bisa menjadi awal dari kesadaran baru bahwa hidup bukanlah garis lurus, dan tidak semua orang harus mengikuti pola yang sama. Kita berhak menjalani hidup dengan ritme kita sendiri, selama kita mau berpikir jernih dan bertindak logis.