Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Oppenheimer: Tanggung Jawab Etis Para Ilmuwan dan Politik
25 Agustus 2023 19:18 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rika Febriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik antara tanggung jawab etis ilmuwan dan keterlibatannya dalam politik dapat kita lihat dalam Film Oppenheimer. Film ini mengisahkan tentang seorang ilmuwan fisika J. Robert Oppenheimer yang memimpin proyek bom pertama di dunia yang dikenal dengan Projek Manhattan. Sebagai orang Indonesia, tentu kita bisa merasakan semangat zaman dan menerima efek dari pengeboman Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945 yang menjadikan kita merdeka.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum film Oppenheimer versi terbaru ini beredar, film dokumenter tentang kisah Oppenheimer juga sudah banyak disorot. Salah satunya adalah film The Day After Trinity. Dalam film dokumenter tersebut, dia mengatakan alasannya bergabung dengan politik sayap kiri pada tahun 1930 adalah karena kebangkitan Nazi di Jerman dimana banyak saudaranya yang menderita disebabkan oleh Undang-Undang anti-yahudi dan dampak Great Depression. Pada saat itu Oppenheimer menyadari bahwa peristiwa ekonomi dan politik dapat mempengaruhi kehidupan umat manusia. Oppenheimer memang ilmuwan yang berpengetahuan luas. Dia membaca Das Kapital dalam bahasa Jerman dan terpesona dengan ide-ide sosialis.
Bagaimana melihat konflik kepentingan antara ilmuwan dan keterlibatannya dalam politik? Ilmuwan adalah manusia biasa yang mempunyai ego. Keinginan para ilmuwan untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan terus bermain dengan apa yang menjadi imajinasi mereka bukanlah suatu kesalahan. Sejarah sains memperlihatkan bahwa para ilmuwan besar sering dipengaruhi oleh faktor yang tidak ada hubungannya dengan teori yang mereka kembangkan. Faktor luar tersebut adalah posisi kelompok sosial tempat dimana para ilmuwan ini tinggal.
ADVERTISEMENT
Barnes dan Bloor (1982), dua orang sosiologis berpendapat bahwa lokasi sosial atau kepentingan sosial selalu menjadi bagian penting dalam menentukan penerimaan teori para ilmuwan. Dalam sosiologi pengetahuan, hipotesis ini disebut dengan strong program. Strong program melihat suatu teori tidak tergantung kepada data eksperimen atau observasi yang tersedia atau kekuatan kesimpulan yang diciptakan oleh tersebut, namun lebih ditentukan oleh pengaruh sosial yang tidak ada hubungannya dengan data empiris. Dalam filsafat ilmu pengetahuan strong program merupakan varian dari relativisme.
Konsensus dalam komunitas ilmiah dapat membimbing tindakan para ilmuwan tentang dunia. Namun, antar ilmuwan sendiri tidak memiliki keterampilan atau waktu untuk memeriksa karya ilmuwan lainnya. Ilmuwan di suatu bidang tertentu bergantung pada spesialis di bidang lain untuk mengetahui kalau instrumen mereka berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, faktor sosial eksternal akan selalu berpengaruh terhadap cara bertindak kaum ilmuwan.
ADVERTISEMENT
Diatas semuanya, keingintahuan para ilmuwan akan pengetahuan adalah sikap alami bagi setiap manusia. Keinginan ini didorong untuk memberikan kebaikan bagi umat manusia dibandingkan keinginan untuk memusnahkan. Sementara itu, konflik pengetahuan dan politik adalah hal yang bertentangan, pengetahuan sebaiknya adalah ada bagi dirinya sendiri dan kemajuan manusia, akan tetapi sayangnya, banyak asumsi-asumsi pengetahuan yang digunakan oleh politik.
Beberapa sahabat Robert memberikan kesaksian mengenai proyek atom yang mereka kerjakan bersama, dalam film dokumenter The Day After Trinity, salah satunya adalah: Robert Wilson. Wilson dan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa mereka merasa dimanipulasi oleh pemerintah Amerika untuk bekerja pada proyek tersebut. Pada saat mereka mengetahui Jerman kalah, harusnya mereka berhenti dan tidak melanjutkan proyek bom atom tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, Wilson merasa bahwa tidak ada pilihan lain. Wilson percaya bahwa hidupnya diarahkan oleh satu hal, dan merasa bahwa dia terprogram untuk melakukan hal tersebut. Akan lebih baik apabila seluruh dunia mengetahui kemungkinan yang akan ditimbulkan oleh bom atom daripada menjadi sebuah rahasia sementara organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai terbentuk. Maka menjadi hal yang logis bagi mereka untuk terus menjalankan proyek ini dan menunjukkan dampak yang besar dari senjata nuklir, dengan tujuan PBB bisa mengantisipasi jika hal mengerikan ini terjadi.
Oppenheimer sebenarnya menyadari efek beruntun dari bom atom yang dia ciptakan, yaitu perlombaan senjata antara Amerika dan Uni Soviet. Setelah bom diluncurkan, dampak sesudahnya konstelasi kekuatan negara di dunia tidak akan lagi sama. Ketika Oppenheimer ditawarkan untuk proyek selanjutnya, yaitu proyek bom hidrogen, dia menolak untuk kembali terlibat. Hal ini kemudian membuatnya disingkirkan. Rasa kemanusiaannyapun pada akhirnya muncul, walaupun untuk itu dia disebut "bermental pengecut" oleh Presiden Roosevelt.
ADVERTISEMENT
Alasan lainnya, yang mungkin dipercaya oleh Oppenheimer untuk membuat bom atom pada satu momen dalam hidupnya adalah kepercayaan bahwa kematian adalah ilusi. Bahwa manusia tidak dilahirkan dan tidak mati. Kata-kata ini adalah argumen keempat dalam Bhagavad Gita, yang banyak disalahartikan oleh orang dan muncul sekilas dalam film Oppenheimer. Kata-kata Krishna yang menjelma menjadi Wishnu pada episode Perang Bharata Yudha ini dibaca saat Oppenheimer bercinta dengan kekasih gelapnya, Jean Tatlock: “Now I am become Death, the destroyer of worlds.”
Kita bisa saja berspekulasi bahwa Oppenheimer, mungkin percaya bahwa orang yang terbunuh di Hiroshima dan Nagasaki tidak akan menderita. Sementara dia sendiri melakukan pekerjaannya dengan patuh sebagai seorang ilmuwan. Oppenheimer tidak pernah dapat menerima bahwa tindakannya ini dapat membebaskannya dari siklus hidup dan mati.
ADVERTISEMENT