Kemenag,UKT dan Jeritan Mahasiswa PTKIN

Rika Salsabilla Raya
Pernah bekerja di Komnas Anak dan Ngertihukum.id
Konten dari Pengguna
14 Mei 2020 7:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Salsabilla Raya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemenag,UKT dan Jeritan Mahasiswa PTKIN
zoom-in-whitePerbesar
Bukan tanpa alasan akhir-akhir ini, teman-teman sekampus saya aktif berpendapat terkait PHP-nya Kemenag terhadap uang kuliah. Tak sedikit yang berpendapat negatif, dan beberapa elemen mahasiswa mulai menanggapi hal ini dengan serius, karena berpengaruh ke seluruh PTKIN di negeri ini. Ngomong-ngomong soal UKT, dibuat berdasarkan surat edaran dari Dikti yang menjadi landasan pemberlakuan UKT, yaitu Surat Edaran No.97/E/KU/2013 tentang Uang Kuliah Tunggal yang berisi Permintaan Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014. Singkatnya, UKT (Uang Kuliah Tunggal) adalah sebuah sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi dibagi rata per semester (jadi tidak ada lagi uang pangkal) serta tidak ada biaya tambahan lain-lain lagi seperi Praktikum,KKN dan Wisuda. Namun, kendala UKT bagi setiap mahasiswa tergantung dari kampus masing-masing. Ingat juga kasus orangtua calon mahasiswa PTKIN di salah satu pulau yang harus pulang karena tidak bisa bayar UKT di awal pendaftaran. Mahasiswa yang di PTKIN berjiwa kritis dan bertauhid sosial pun segera mempertanyakan hal demikian ke kampus terkait. Nyatanya, klarifikasi tersebut bersifat kurang famous dibanding hangatnya gosip pelakor di kalangan mahasiswi. Sebetulnya, kita harus melihat tujuan dibentuknya UKT tersebut. Untuk mencapai mutu pendidikan yang baik maka, pemerintah dengan segudang harapan menerapkan reformasi dibidang pendidikan. Dimana bidang pendidikan merupakan bagian dari reformasi pemerintahan. Tujuan dengan adanya reformasi dibidang pendidikan untuk mencapai pemerintahan yang baik dan bersih (Clean and good governance).
ADVERTISEMENT
Permasalahan jauh lebih kompleks, ketika pandemi Covid-19 bertambah. Pernyataan Pers Presiden Jokowi dalam langkah perlindungan sosial dan ekonomi pada tanggal 31 Maret 2020, memuat beberapa poin yaitu: mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau PERPPU, kebijakan dan langkah-extraordinary dalam menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN 2020 serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan. Penambahan biaya APBN 2020 menjadi 405,1 T dengan rinci 75 T (Kesehatan) sebagai prioritas utama, 110 T (Social Safety), 70,1 T (Pajak), 150 T (Pemulihan Ekonomi), dalam poin pemulihan ekonomi terdapat jatah untuk sektor penjaminan UMKM dan rekstukturisasi kredit. Berarti kesehatan dalam hal ini menjadi utama. Nah, bagaimana dengan sektor pendidikan? jawabanya adalah, terpotong!
ADVERTISEMENT
Bapak Menag Fachrul Razi menjelaskan, pembatalan tersebut disebabkan anggaran yang dipersiapkan untuk mensubsidi para mahasiswa, akan digunakan untuk penanganan COVID-19. Jadi terima saja, karena memang jauh lebih mendasar alasan mengapa diskon 10% tersebut digagalkan. Sebenarnya, saya pun sebagai mahasiswa memiliki sedikit persetujuan dengan apa yang dilakukan pemerintah terkait Covid-19 dan pengaruhnya. Namun, bukan berati mahasiswa dalam hal ini tidak diperhatikan.
Pemotongan anggaran sebesar 2,6 Triliun untuk kemenag sangat berpengaruh besar, sektor Haji lebih menjadi fokus dalam hal ini. Pak Menag mengaku masih mencari jalan lain terkait rencana pemotongan UKT/SPP. Ia berjanji akan mendiskusikan kembali hal ini bersama dengan Kementerian Keuangan. Sebab menurutnya dalam kondisi pandemik, pembelajaran yang diterima mahasiswa pun menjadi lebih sedikit ketimbang dalam situasi normal. "Sehingga kalau dia mestinya bayarnya sekian lalu hanya menerima sebagian, mestinya tidak sebesar itu bayarannya,". Tentu, perkataan pak Menag bakal dijadikan acuan terkait UKT yang harusnya diberikan keringanan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, bukan berati tuntutan mahasiswa bahkan dari akademisi pun harus dihempaskan begitu saja, setidaknya memberikan klarifikasi/tanggapan yang bernilai demokratis. Bayangkan bila pihak kampus dan elemen mahasiswa bersifat kooperatif, saya yakin tidak ada #KemenagJagoPHP, #KemenagPrank, dan #RektordanKemenagHarusBijak. Mengenai hal ini, saya jadi ingat istilah 'Cat Ringworm' yang dipakai Natsir di masa Orde Baru, apakah mahasiswa dalam hal ini menjadi objek dari istilah tersebut?
Maka, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik kampus maupun mahasiswa, ada baiknya solusi dikemukakan. Maka, masing-masing kampus harus bisa realistis dan menengok background atau latar dari para mahasiswa-nya. Bukan berati membandingkan dan menilai dari covernya saja, tetapi bagaimana kampus sebagai wilayah pendidikan tinggi dapat memberikan analisis kebijakan terbaik bagi generasi penerus bangsa yaitu, mahasiswa dan mahasiswi di dalamnya. Ingatlah Sesuai dengan amanah konstitusi permendikbud no. 55 tahun 2013 yaitu kebijakan UKT diberikan kepada lembaga pendidikan Negeri dengan perhitungan dana sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Nah, kondisi ekonomi dalam hal ini harus menjadi poin paling disorot, karena ekonomi lesuh di tengah pandemi, tentu pendapatan berkurang bukan pengeluaran!, belum lagi bagi mereka yang tersandung masalah dalam banding UKT. Di setiap tahunnya dan setiap angkatan, pasti ada saja yang tersandung masalah tersebut, adanya perubahan kebijakan kampus untuk menyelenggarakan banding menjadi kebiasaan. Terkadang, dapat ditemukan persentase kelompok Uang Kuliah Tunggal tidak disosialisasikan dan tidak transparan dalam proses penyeleksiannya. Sistem Uang Kuliah Tunggal itu seharusnya dilaksanakan, mengenai alokasi dana, tranparansi anggaran, tepat sasaran, hingga sampai masa diberlakukan sistem Uang Kuliah Tunggal, termasuk sosialisasi mengenai Besaran biaya Uang Kuliah Tunggal (unit cost) asalnya dan penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Saya jadi ingat teman se-fakultas saya, terjebak di PSBB Jakarta dan tidak bisa mudik, kalau pulang kampung kan tentu dia tidak kuliah lagi. Sehari-hari numpang wifi kalau kuota habis ke rumah teman. Alhamdulilah, selama PSBB ini, ia dapat bantuan dari solidaritas bersama yang digalang oleh lembaga formal, non-formal elemen mahasiswa. Saya pun sempat senang dengan berita adanya diskon 10% sayangnya, cuman prank. Kirain, prank nya buat tertawa, sayangnya membuat nangis. Semoga, pak Menag Fahrul bisa segera menyelesaikan hal ini, karena mahasiswa PTKIN itu kritisnya jangan dipertanyakan lagi. Apalagi, mahasiswa islam yang dikenal loyal dan rebel kalau urusan terkait ‘kebebasan,kemajuan, perubahan’. Intensi mahasiswa kan dikenal paling tinggi, dan paling konsisten. Jangan sampai, gara-gara UKT orang-orang yang menjabat di lembaga terkait baik di pusat maupun sekelas kampus mendapat desas-desus tidak mujur, respon kampus juga harus cepat, jangan kalah sama mahasiswa yang baru tidur jam 5 pagi!, masa iya kalah cepat? semoga didengar.
ADVERTISEMENT