Sejarah Islam dan Tragedi HAM

Rika Salsabilla Raya
Pernah bekerja di Komnas Anak dan Ngertihukum.id
Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 11:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Salsabilla Raya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengenang Tragedi HAM pada tanggal 12&13 Mei 1998
zoom-in-whitePerbesar
Mengenang Tragedi HAM pada tanggal 12&13 Mei 1998
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pagi ini, 12 Mei 2020, saya dan rekan menghaturkan doa kepada para syuhada reformasi. Tahun 1998 memang menjadi tahun terpenting bagi bangsa ini, sebuah perubahan atas dasar tuntutan logis pemuda-pemudi. Karakter kritis dan nasionalis para pejuang reformasi menjadi bukti bahwa, tindakan yang dilakukan karena tergerak oleh hati nurani. Eksistensi pergerakan massa tentu menjadi poin utama, secara konsisten berupaya membebaskan hak-hak yang dimiliki oleh rakyat sepenuhnya. Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II memang sangat memilukan, dan penuh arti dibuatnya. Tragedi tersebut menjadi potret nyata pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) di negeri ini. Ketika tragedi tersebut telah menelan nyawa, seketika jeritan tuntutan terdengar keras. Jeritan tersebut bukan hanya karena kehilangan, tetapi penyelesaian kasus yang tidak jelas sampai saat ini. Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum merupakan hak-hak dasar yang melekat sejak manusia itu lahir. Hak-hak tersebut dimiliki seseorang karena ia manusia. Hak-hak tersebut berlaku bagi semua, tidak ada batas meliputi ras,agama,warna kulit bahkan kebangsaan seseorang. Arti HAM dalam bahasa Arab merupakan asal kata dari lafal حق dan أساس . Sedangkan asas berarti dasar atau pondasi. Rhoda E, Horward memberikan pengertian bahwa hak asasi manusia sebagai alat egilater untuk memberikan keanggotaan kepada semua pribadi dalam suatu kesatuan kolektif. Menurutnya semua orang memiliki, termasuk orang gila. Dalam kaidah Fiqih Islam pun, HAM berarti sesuatu kekhususan yang ditetapkan oleh syara’ dalam bentuk kekuasaan. Definisi ini menyimpulkan, kata hak tidak hanya bermakna sesuatu yang dapat diambil, melainkan sesuatu yang harus diberikan. Maka, secara eksplisit saja sudah memberikan pengertian bahwa hak asasi pasti didapatkan semua orang, dan sebuah keharusan untuk memberikan hak-haknya kepada diri seseorang. Lantas, sorotan terhadap HAM terkait tragedi 1998 dan Semanggi I-II diberatkan terhadap upaya penyelesaian kasus, sesuai dengan pengertian di atas. Semua agama menganggap pelanggaran HAM merupakan dosa besar, dan tidak dapat ditoleransi. Terkait hal tersebut, di Islam pun memiliki bab khusus tentang pelanggaran HAM apalagi sampai menghilangkan nyawa sang korban. Segi historis Islam pernah mencatat dua kisah sahabat Rasulullah SAW yang terkenal akibat menjadi korban maupun pelaku pelanggaran HAM. Mereka adalah Khalifah Usman bin Affan dan Khalid ibn Walid, kedua kisah mereka dijadikan sebagai acuan tata-hukum terkait hak asasi manusia di masa Rasulullah dan setelahnya. Kisah pertama diawali oleh Khalifah Usman bin Affan R.A, akibat pemberontakan yang menyebabkan chaos, sang khalifah yang begitu pemurah telah berpulang kepada Allah dalam keadaan yang menyakitkan. Mengapa termasuk ke dalam pelanggaran HAM? Karena khalifah Usman kehilangan haknya untuk hidup yang termasuk ranah asasi. Khalifah Usman pada masa kekuasaan dikenal sebagai pemimpin yang melakukan nepotisme. Harun Nasution menuliskan bahwa Pada kondisi yang demikian dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini tidak dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk memaafkan orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan. Sikap lemah-lembut ini mendorong pihak yang bermaksud jahat melancarkan maksudnya. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 65 6 M (35 H) Usman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan pemberontak yang berjumlah sekitar 500 masa (di antaranya bernama Hamran bin Sudan Asy-Syaqy) yang tiba-tiba datang mengepung rumah khalifah Usman pada saat beliau sedang membaca al-Qur’an. Kematian Usman dengan cara tersebut menyebabkan huru hara di kalangan kaum muslimin. Dampak yang panjang terhadap sejarah Islam sesudahnya, yaitu tuntutan penyelesaian kasus pembunuhan Usman oleh Aisyah R.A, Zubair dan Thalhah. Gerakan ini terus dilancarkan sampai masa kepemimpinan selanjutnya, yaitu Ali bin Abi Thalib. Berbeda dengan khalifah Usman, justru Khalid ibn Walid merupakan salah satu sahabat yang pernah menjadi pelaku pelanggaran HAM. dalam karya Abd al-Malik Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq Thâhâ ‘Abd al-Raûf Sa’îd, Kasus Khâlid berawal dari kebijakan Nabi SAW. Setelah pembebasan kota maka dikirimlah beberapa detasemen ke berbagai penjuru jazirah Arab untuk misi dakwah, bukan dalam rangka operasi militer. Di antaranya adalah satu detasemen di bawah pimpinan Khâlid ibn Walîd yang dikirim ke wilayah Tihamah bawah, daerah yang dihuni antara lain oleh Bani Jadzîmah. Ketika kabilah Bani Jadzîmah melihat kedatangan detasemen pimpinan Khâlid bin Walîd, mereka langsung bersiaga dan menyiapkan senjata untuk mempertahankan diri. Melihat gelagat demikian, Khâlid berkata: “Letakkan senjata kalian! Orang banyak telah memeluk Islam.” Jahdam, salah seorang Bani Jadzîmah, mengingatkan kaumnya: “Celakalah kalian hai Bani Jadzîmah! Orang ini adalah Khâlid!” Demi Allah,jika kalian meletakkan senjata, pasti dia menawan dan membunuh kalian. Demi Allah, Aku tidak akan pernah meletakkan senjata.” Beberapa orang kabilah Bani Jadzîmah memegangi Jahdam dan melucuti senjatanya sambil berkata: “Hai Jahdam, apakah kamu ingin menumpahkan darah kami? Sungguh orang banyak telah masuk Islam, meletakkan senjata, menghentikan perang, dan hidup aman”. Ketika kabilah Bani Jadzîmah telah meletakkan senjata, atas perintah Khâlid, tangan mereka diikat ke belakang pundak. Khâlid kemudian menghunuskan pedangnya kepada mereka sehingga ada yang terbunuh. Kasus Khalid ibn Walid ini dapat dan tepat disebut sebagai contoh kasus tindak pidana pelanggaran HAM, jika ditinjau dari segi hukum dan UU yang berlaku sekarang sekalipun. Beberapa unsur dan kriteria pelanggaran HAM telah terpenuhi pada kasus ini yaitu: perbuatan pidana yang dilakukan secara sengaja dan melanggar hak asasi yang berkaitan dengan jiwa dan harta. Selanjutnya, perbuatan pidana dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang yang berstatus sebagai aparat negara. Tindak pelanggaran hak asasi dilakukan secara terang-terangan dalam kasus ini yaitu, Khalid dan pasukan bertindak semena-mena dan tak sesuai aturan yang diberikan. Bahkan di awal penyelesaian kasus ini, beberapa kalangan ikut pesimistis akibat Khalid sang panglima yang dikatakan kebal hukum. Kejahatan Khalid yang dapat dikelompokkan sebagai pelanggaran hak asasi yang berat karena menyerang penduduk sipil dan telah memenuhi kriteria bersifat sistematis.
ADVERTISEMENT
Kedua kisah sahabat di atas, baik Khalifah Usman dan Khalid, merupakan sebuah gambaran dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi secara brutal pada tanggal 12-13 Mei 1998 maupun terhadap kasus terkait di Indonesia. Sesuai poin yang dimaksudkan, bahwa penyelesaian kasus menjadi tolak ukur perbedaan. Jelas di kasus Khalid beserta pasukan menjalani hukuman setimpal setelah Rasulullah mendengar kabar tersebut. Sebaliknya, kasus di Indonesia terkait HAM sama seperti kasus Khalifah Usman yang senyap akhirnya menjadi lembaran sejarah saja. Tidak ada kejelasan dan terkesan diabaikan. di Islam sendiri saja, terdapat aturan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sesuai sya'riat dalam bab Jinayah yaitu: melalui pengadilan, Rekonsiliasi (Ishlah) sesuai takaran dampak terhadap korban permintaan keluarga (Cukup berdamai atau disertai kompensasi). Sebagaimana penjelasan di atas, terkait persamaan kasus, memberikan makna bahwa HAM itu bukan sekedar kata yang mudah dilupakan. Apalagi, bukti sejarah dan tata aturan di dalam agama yang membuat kita paham, bahwa setiap perbuatan pasti menemui balasan. Pelanggaran HAM jelas sebuah fakta & kewajiban insaniyah sesuai definisi dari 'hak' dan 'asasi'. Kendati demikian, saya teringat betul pernyataan pak Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di tahun 2016 lalu, bahwa penanganan yudisial beda dengan non yudisial. Kalau yudisial itu win (menang) and lose (kalah) ada yang menang dan kalah di pengadilan. Tapi kalau non yudisial itu win-win (saling menguntungkan) karena diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Sekarang pertanyaan pun muncul, kalau benar dilakukan secara musyawarah sebagai jawaban serius, apakah bisa dijamin tidak ada resistensi pihak lain di dalamnya? Tolong segera dituntaskan, sampai kapan harus kucing-kucingan?
ADVERTISEMENT