Konten dari Pengguna

Internet dan Masa Depan Multikulturalisme

Rika Kartika
Dosen Universitas Mohammad Husni Thamrin/Mahasiswi S3 PKn Universitas Pendidikan Indonesia/Founder Taman Baca Malala
11 Februari 2023 9:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi internet. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi internet. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Multikulturalisme menurut Pnina Werbner selalu berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana menghadapi heterogenitas. Sikap multikulturalisme, toleran dan menghargai budaya lain merupakan keterampilan yang dibutuhkan setiap individu dan seluruh komponen masyarakat dalam membina kesepakatan hidup bersama.
ADVERTISEMENT
Selain itu, multikulturalisme adalah komponen penting untuk kelanggengan dan kesinambungan proses demokratisasi bagi sebuah bangsa yang plural baik beragam dari sisi bahasa daerah, etnisitas maupun budaya. Sebuah masyarakat yang plural namun tidak mampu mengelola dan meminimalisasi paham etnosentris tentu akan berdampak pada proses kelangsungan bangsa dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Etnosentrisme mengacu pada proses prasangka dan stereotip (stereotyping) yang berlangsung di antara maupun di dalam individu. Proses tersebut dapat menyebabkan perilaku negatif karena terdapat kecenderungan bahwa prasangka merupakan sikap dan tindakan menilai seseorang atau sekelompok orang dengan data yang minim.
Seseorang dengan prasangka dapat menjustifikasi dan memberikan labelling dan streotyping terhadap orang maupun kelompok lain karena tidak berasal dari kelompok yang sama dengan dirinya. Bila hal tersebut tidak diatasi maka akan menyebabkan perilaku diskriminatif bahkan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Tantangan kini bahkan menjadi lebih dinamis karena dunia kini telah berada pada zaman di mana teknologi memainkan peranan penting. Teknologi merupakan hal yang hampir selalu menjadi ciri modernitas. Seorang individu seakan belum disebut modern ketika dia tidak akrab menggunakan teknologi dalam hidupnya.
Informasi dengan bantuan teknologi dari segala penjuru dunia dapat disebarluaskan dengan waktu yang sangat singkat karena dunia seolah-olah “menyempit”. Keterhubungan dan saling ketergantungan antar negara, antar masyarakat terjadi. Interaksi orang berbeda benua tidak menemukan kendala berarti untuk dapat dilakukan. Hal ini merupakan keniscayaan akibat perkembangan teknologi khususnya perkembangan internet. Internet disebut Sztompka mengubah dunia menjadi “global village”.
Lalu apakah internet sebagai ruang publik dapat berkontribusi pada diskusi multikulturalisme? Apakah teknologi menjadi tempat yang memberikan ruang bagi keterlibatan semua kelompok dan apakah lingkungan online memberikan dampak perkembangan wacana multikulturalisme?
ADVERTISEMENT
Ini menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan. Internet sebagai tools merupakan hal value free (bebas nilai). Ia disebut-sebut seperti pisau bermata dua karena ditentukan oleh perilaku manusia sebagai subjek yang menggunakan alat tersebut.
Internet membuka peluang hadirnya ruang interaksi yang bebas untuk dapat dimanfaatkan bagi interaksi antar kultur. Pemahaman dan saling pengertian antar budaya merupakan dampak yang diharapkan. Berbagai kebudayaan, sistem nilai, budaya dll dapat berbagi ruang interaksi yang dinamis dan sehat.
Namun di lain pihak, internet juga menghadirkan potensi problem. Hal tersebut dikarenakan mekanisme mesin pencari di internet atau lebih sering disebut dengan istilah algoritma. Dengan mekanisme algoritma yang sistemik dan otomatis, rekomendasi disuguhkan pada para pengguna internet sesuai dengan perilakunya.
ADVERTISEMENT
Meski kelihatan memudahkan, namun faktanya algoritma ini juga bisa menjadi ancaman bagi pengguna dan masyarakat. Algoritma akan menentukan saran konten, video atau jenis isu/tema apa yang selanjutnya bisa disimak di sosial media kepada pengguna.
Algoritma menganalisis, mengklasifikasi, mengklasifikasi pengguna berdasarkan konten yang diakses dan isu/tema yang memperoleh perhatiannya. Eli Pariser dalam tulisannya, The Filter Bubble: What The Internet Is Hiding From You, menyebutnya dengan istilah filter bubble.
Kondisi ini diciptakan oleh algoritma yang mampu untuk melacak segala aktivitas individu di internet, termasuk informasi atau tautan yang diakses. Orang yang kerap menyimak berita tentang olahraga, maka akan direkomendasikan untuk menyimak atau mengklik berita-berita yang terkait dengan olahraga.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan pengguna yang banyak mengakses berita politik maka algoritma internet akan mengarahkan ada berita-berita atau konten-konten sejenis. Ini akan menempatkan manusia berada pada ruang echo chamber (ruang gema). Jika multikulturalisme seperti yang diungkapkan Molan merupakan sebuah sikap yang dibangun sebagai respons terhadap pluralitas, tentu kondisi echo chamber ini berpotensi meniadakan ruang keragaman.
Menurut Chris Gilliard, dari Harvard Kennedy School, algoritma bahkan bisa “mengatur” di hampir seluruh aspek kehidupan kita. Ditambah dengan dukungan Artificial Intelligence (AI) di belakang algoritma, menjadikan algoritma di internet semakin dominan sekaligus kompleks.
Ini terlihat dari kasus Meta (sebelumnya dikenal dengan perusahaan Facebook), di mana algoritma dan AI juga memuluskan beredarnya konten negatif dalam raksasa jejaring sosial tersebut. Hal ini terjadi karena ketika AI beroperasi, para perancangnya tidak selalu tahu alasan sistem itu terjadi. Keadaan tersebut oleh CNBC dalam sebuah artikelnya dengan istilah black boxes atau kotak hitam.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, tantangan menjadikan internet sebagai pendorong dunia yang beradab semakin tidak mudah dengan kondisi “kesenjangan digital” (digital divide). The National Telecommunication and Information Administration (NTIA) di Amerika Serikat (AS) yang memantau perkembangan bidang telekomunikasi dan informasi menyusun laporan di mana istilah kesenjangan digital pertama kali dikemukakan.
Warga negara terbagi ke dalam dua kelompok yaitu mereka “yang memiliki” dan “tak memiliki” akses pada teknologi informasi dan komunikasi. Steyn & Johanson mengungkapkan kesenjangan digital tidak hanya berhubungan dengan atribut atau alat-alat fisik seperti infrastruktur atau alat tetapi juga berhubungan dengan kesenjangan pada ruang ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas dll.
Momok kesenjangan ini mau tidak mau harus diakui menghantui perkembangan teknologi informasi terlebih di dunia ketiga. Di negara maju sekalipun yang memiliki kecenderungan masyarakatnya telah terliterasi teknologi digital, hambatan dalam akses teknologi komunikasi-informasi masih terjadi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya solusi kesenjangan digital tidak hanya cukup dengan mengandalkan kebijakan dan program literasi bagi kelompok yang dianggap belum melek teknologi informasi. Karena ternyata fakta bahwa persoalan kesenjangan digital tersebut bisa saja terjadi di kalangan masyarakat yang dinilai “paham/melek teknologi informasi” sekalipun.
Masyarakat kelas menengah perkotaan pun kerap terperangkap dalam situasi euforia bahkan histeria massa ketika menggunakan sosial media. Masyarakat dapat larut dalam perilaku kolektif massa (trap from collective behavior) terjebak dalam rantai hoaks, berita bohong karena rendahnya literasi.
Fenomena kasus masyarakat terjerat Pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik menunjukkan problem yang lumayan rumit dalam tata kelola teknologi informasi dan komunikasi ini. Rendahnya literasi adalah fakta yang tidak bisa dibantah dari persoalan kesenjangan digital.
ADVERTISEMENT
Filosofi dasar multikulturalisme yang berupaya bahwa semua lapisan masyarakat memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk dapat mengakses teknologi dan memanfaatkannya. Informasi yang dominan terkonsentrasi arusnya di wilayah tertentu menciptakan ketidakmerataan dan kesenjangan dalam memperoleh juga membagikan informasi serta pengetahuan.
Tiap individu maupun kelompok budaya, etnis yang beragam seharusnya dijamin hak dan potensinya untuk mengakses, mengetahui berbagai macam hal melalui internet dan membagikan informasi dengan catatan asas-asas verifikasi tetap diindahkan. Internet harus dapat dimanfaatkan lebih banyak bagi masyarakat tanpa meninggalkan siapa pun di belakang untuk menjamin proses terbentuknya masyarakat multikultur yang harmonis, beradab, toleran.