Konten dari Pengguna

Politik Gimik, Emang Boleh?

Rika Kartika
Dosen Universitas Mohammad Husni Thamrin/Mahasiswi S3 PKn Universitas Pendidikan Indonesia/Founder Taman Baca Malala
8 Januari 2024 16:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Indonesia dalam waktu kurang dari 36 hari ke depan akan segera melangsungkan pesta demokrasi berupa Pilpres dan Pileg 2024. Sepanjang jalan baik di kota maupun desa hampir tidak ada tembok dan pohon yang luput dari tempelan spanduk, stiker, banner dan baliho para calon.
ADVERTISEMENT
Tim Kampanye Calon Legislatif maupun Calon Presiden dan Wakil Presiden sibuk turun ke kantung suara dapil masing-masing. Semua beradu warna, jargon, teknik marketing dalam “memasarkan wajah” agar dikenal masyarakat. Teknik kemasan atau tampilan kreatif untuk menarik perhatian itu kini kerap dikenal dengan istilah “gimmick”.
Semuanya mencari ceruk kekhasan profil masing-masing dengan harapan si pemilik suara tertarik, jatuh hati dan pada akhirnya mencoblos nama mereka di tanggal 14 Februari nanti. Hal tersebut dilakukan karena keinginan mendongkrak elektabilitas calon. Jargon-jargon unik seperti: “Mamah Muda”, “Papah Muda”, Jilbab Pink” berjejalan di mata kita.
Kutipan pantun atau lirik lagu viral yang mungkin tidak memiliki konteks politik juga kebagian tempat seperti: “Cikini Ke Gondangdia Aku Begini Gara-Gara Dia”, “Selain Cari Suara Juga Cari Istri” dll. Calon Presiden yang berjumlah 3 Pasangan Calon (Paslon) juga tak luput dalam perlombaan memompa elektabilitas.
ADVERTISEMENT
Anies-Muhaimin misalnya belakangan mulai mencoba fitur “live”di media social tiktok. Langkah itu segera “diikuti”oleh Paslon lain seperti Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tiktok tentu dianggap salah satu platform media yang menjanjikan untuk menjaring perhatian pemilih.
Berdasarkan data We are Social dan Hootsuite, pada tahun 2023 pengguna Tiktok di Indonesia berjumlah 106,52 juta. Sebelumnya Pasangan Calon No 2 yaitu Prabowo-Gibran menghadirkan kampanye dengan menggunakan Artificial Intelegence (AI). Foto, baliho, spanduk mereka muncul dengan gambar kartun AI yang unik. Bahkan relawan Prabowo-Gibran Digital Team (PRIDE) tercatat memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Tim Relawan Pertama yang menggunakan Kecerdasan Buatan/Artificial Intelligence (AI). Pasangan ini juga viral dengan “Joget Gemoy”.
Cara ini dianggap jitu untuk mengubah image yang selama ini melekat pada sosok Prabowo yang dianggap keras, kaku menjadi sosok yang terbuka, santai. Langkah menggunakan tarian/joget disebut-sebut hasil copy paste pola kampanye Bong-Bong di Filipina.
ADVERTISEMENT
Berbagai platform tersebut kita sebut sebagai kampanye. Kampanye dirumuskan oleh Rogers dan Storey (1987) sebagai sebuah proses komunikasi yang berlangsung secara terlembaga dan memiliki keinginan atau tujuan menghadirkan suatu dampak tertentu dan dilangsungkan dalam kurun waktu tertentu.
Dari berbagai hiruk pikuk jenis kampanye yang digunakan para calon presiden dan wakil presiden serta para calon legislatif, pertanyaan yang muncul dan tak kalah penting adalah, seberapa jauh para pemilih memahami seluk beluk pemikiran, gagasan, visi-misi dan cita-cita dari para calon?
Kita mungkin bisa menjawab dengan sederhana dan singkat: visi-misi, gagasan, cita-cita para paslon bisa dipaparkan, dieksplore melalui Debat Capres-Cawapres yang digelar Komisi Pemilihan Umum. Debat Capres dijadwalkan sebanyak 3 kali, sedangkan Debat Cawapres 2 kali.
ADVERTISEMENT
Selain itu visi-misi Capres-dan Cawapres dapat diakses secara tertulis dengan masing-masing berjumlah 148 lembar dan berjudul “8 Jalan Perubahan” untuk Paslon 1, Paslon 2 berjumlah 89 halaman berjudul”Asta Cita” serta Paslon 3 berjumlah 62 halaman dengan judul “8 Gerak Cepat Ganjar Pranowo & Mahfud MD”. Paslon 1 bahkan meluncurkan agenda yang dinamai “Desak Anies”. Sebuah platform kampanye baru dengan menghadirkan kampanye dialogis Bersama pemilih muda.
Namun, berapa banyak masyarakat yang mempertimbangkan dan memilih berdasarkan perhitungan logis? Survei Litbang Kompas 2023 merilis angka bahwa terdapat beberapa alasan yang mendorong seseorang memutuskan pilihan suaranya, yaitu memilih karena sosok tokoh berpengaruh di dalam partai meraih persentase tertinggi yaitu 35,9 persen.
Sedangkan alasan memilih karena program kerja partai sebesar 14 persen, karena visi dan misi partai 12,2 persen, karena ideologi partai sebanyak 9,9 persen dst. Tentu yang menjadi harapan ideal adalah bagaimana kultur politik Partisipan menjadi kultur politik yang umum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Almond dan Verba (1990) merumuskan pemahaman mengenai budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem dan aspek politik lainnya, serta sikap pada keterlibatan warga negara yang terdapat dalam system tersebut. Di mana kultur politik Partisipan tidak hanya ditandai dengan pemahaman dan kesadaran yang cukup mengenai politik, memahami hak dan kewajibannya sebagai negara dan bersikap kritis terhadap politik.
Untuk mengembangkan masyarakat demokratis di Indonesia, setiap warga negara perlu berpartisipasi secara aktif, tidak sekadar menerima dan mengikuti tuntutan pihak yang membutuhkan suara pemilih, namun juga berpartisipasi dalam pemerintahan, sehingga demokrasi sistem pemerintahan dapat terwujud dengan baik dan tidak terjebak dalam kubangan politik gimik belaka.
Dengan kata lain, menikmati gimik para calon sah-sah saja, namun jika kita menginginkan hadirnya wakil rakyat atau pemimpin terbaik di Pemilu 2024, maka mencermati rekam jejak dan gagasan mereka menjadi kebutuhan. Tidak bisa ditawar!
ADVERTISEMENT
Tanpa itu, pemilu hanya akan menjadi “pesta” demokrasi saja, tanpa edukasi politik ke publik. Ironisnya, di tengah keinginan kita untuk menaikkan kelas partisipasi warga, terdapat kekhawatiran civil society justru terjebak dalam kolam dukungan antar kubu yang kerap membutakan idealisme.
Misalnya ada timses yang mengatakan bahwa efek debat ke pemilih sangat kecil, dengan begitu mereka akan lebih fokus ke gimmick dan canvassing. Ada pula lembaga survei yang terus memompa framing “satu putaran”, seraya menyimpulkan secara sepihak bahwa pemilih butuh pemimpin yang gimmick-nya diterima masyarakat, dan mengatakan debat kurang berefek.
Mungkin hal tersebut valid dan dikonfirmasi melalui pertanyaan survei, namun sebagai bagian dari masyarakat sipil yang bertanggung jawab mengawal konsolidasi demokrasi kita, perlu “pemihakan” terhadap nilai bersama. Salah satunya berupa pemihakan bahwa demokrasi harus sehat, kuat dan semakin berkualitas.
ADVERTISEMENT
Itu hanya bisa terjadi bila publik terbiasa untuk memilih karena pertimbangan rasional, dan bukan gimmick yang non substansial. Jadi untuk sesuatu yang menjadi “kebutuhan nasional”—menaikkan kualitas demokrasi kita—maka perlu pemihakan dari kita semua yang ingin demokrasi dan pemilu semakin berkualitas.
Jadi, politik gimik emang boleh? Tentu boleh saja. Sah-sah saja. Tapi jangan lupa, penggunaan gimmick harus proporsional dan jangan overdosis, karena masyarakat juga wajib kita jaga dari jebakan politik gimik yang ilusif.***