Konten dari Pengguna

Sumpah Pemuda: Antara Api dan Gen-Z

Rika Kartika
Dosen Universitas Mohammad Husni Thamrin/Mahasiswi S3 PKn Universitas Pendidikan Indonesia/Founder Taman Baca Malala
28 Oktober 2024 10:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Source: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Source: Canva
Oleh: Rika Kartika, Mahasiswi Doktoral Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung
ADVERTISEMENT
Peringatan Sumpah Pemuda yang berlangsung 28 Oktober 1928 pada tahun 2024 ini memasuki tahun ke-96. Momen emas pemuda-pemudi itu selalu menyisakan api semangat bagi generasi muda masa kini. Bahwa pemuda dianggap bukan sejarah semata, melainkan masa depan. Pemuda selalu memainkan peran sebagai generator perubahan. Kata yang beken digunakan adalah; agent of change. Pemuda memiliki yang tidak dimiliki oleh usia lain yaitu: energi dan idealisme. Bung Hatta pernah mengungkapkan mengenai energi dan idealisme anak-anak muda tersebut. “Janganlah engkau memberiku seribu orang tua yang tak punya harapan, tapi berilah aku sepuluh pemuda saja yang bersemangat, niscaya aku akan mampu mengubah dunia”. Namun harus kita akui, dua term tersebut—Energi dan Idealisme—tampaknya kian langka di masa kini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, para pemuda hari ini memiliki tanggung jawab yang besar dipundaknya. Sebab sesuai banyak prediksi, pada tahun 2045 Indonesia mengalami Bonus Demografi. Momentum tersebut merupakan kondisi yang dianggap “mahal” karena Indonesia akan memiliki 70% penduduk dengan usia produktif. Tentu populasi muda itu akan menjadi potensi mendorong bangsa ini mewujudkan slogan Indonesia Emas. Para pemuda dengan usia produktif tersebut akan menjadi tulang punggung peradaban yang unggul. Namun dengan syarat, bila mereka memiliki kesehatan yang baik, keahlian dan kecerdasan yang mumpuni di satu bidang, serta tentu ditopang oleh karakter yang kuat.
Hanya saja, belakangan pemuda Indonesia dihadapkan pada quo-vadis dalam menatap masa depan. Sampai akhirnya ada ungkapan satire, bahwa Indonesia Emas akan menjadi Indonesia (C)emas. Mengapa muncul pesimisme semacam itu? Kekhawatiran itu rasanya bukan tanpa alasan. Harapan yang begitu besar pada kelompok pemuda di Indonesia mulai dibayang-bayangi potensi kegagalan. Seperti hasil penelitian ResumeBuilder, Forbes dan McKinsey baru-baru ini, dimana ditemukan fakta bahwa 60% perusahaan telah melakukan pemecatan terhadap karyawan yang masuk dalam klasifikasi Gen-Z.
ADVERTISEMENT
Padahal para karyawan tersebut baru mereka rekrut di tahun yang sama. Lemahnya motivasi bekerja, sulitnya berkomunikasi, kurangnya keterampilan, hingga sikap yang menolak untuk bekerja keras dengan isu menjaga kesimbangan hidup dan isu mental health muncul sebagai alasan mengapa banyak perusahaan melakukan lay-off. Apakah Gen-Z dan Post-Z masih memiliki harapan? Pada tahun 1999 lewat bukunya Lesson From The Top, Neff dan Citrin (1999) menyatakan bahwa yang determinan terhadap kesuksesan seseorang adalah soft skill. Sedangkan penguasaan hard skill hanya menyumbang 20% untuk menggapai keberhasilan. Problem Gen-Z tersebut lebih banyak terletak pada ketidakmampuan memaksimalkan soft skill. Lalu, apa atau siapa yang keliru? Apa yang mereka alami?
Digital Native Generation
Terdapat banyak argument dan alasan yang bisa diajukan sebagai alasan mengapa kondisi tersebut terjadi.
ADVERTISEMENT
Pertama, Generasi-Z dan Generasi Post-Z merupakan generasi yang lahir dan tumbuh sebagai digital native, atau generasi yang lahir dan tumbuh di era digital. Hal ini menyebabkan engagement dengan intensitas yang tinggi terhadap gadget dan teknologi. Kesempatan untuk berinteraksi sosial secara langsung, melatih manajemen konflik tidak bisa dilakukan oleh mereka. Hal ini selaras dengan hasil penelitian IBM Institute tahun 2020 bahwa 74% Gen Z menghabiskan waktu luang untuk melakukan aktivitas online. Kondisi tersebut didukung oleh merebaknya Covid-19, dimana semua pembelajaran dilakukan melalui dunia maya. Tidak hanya pembelajaran, belanja pun demikian. Laporan Populix 4 mengungkapkan data lebih dari 54% masyarakat senang berbelanja online dan angka tersebut didominasi Gen-Z.
Kedua, melek teknologi merupakan keuntungan, namun teknologi juga mesti dipahami sebagai pedang bermata dua. Penggunaan berlebihan pada teknologi menciptakan ketergantungan, sehingga Gen-Z mengalami ketumpulan berpikir. Kemampuan mesin pencari untuk menjawab semua pertanyaan dengan instan, dan belakangan muncul Chat GPT yang dijadikan andalan untuk menyelesaikan semua pertanyaan yang diajukan membuat critical thinking pudar. Kebiasaan pada penemuan hasil yang instan mengakibatkan problem yang ketiga yaitu ekspektasi Gen-Z dan Post-Z pada pencapaian karir yang instan dan feedback materi yang cepat. Tentu hal tersebut dalam pertumbuhan karier sulit untuk dipenuhi, karena semua pekerjaan membutuhkan proses dan jenjang karir.
ADVERTISEMENT
Problem keempat adalah kesehatan mental. Tekanan mental dapat dialami oleh anak muda karena banyak hal. Selain karena gap budaya antar generasi, tuntutan tinggi lingkungan mapupun pekerjaan, tekanan lain berasal dari paparan informasi dan akses pada sosial media yang tinggi Gen-Z. Ekspose sosial media yang mereka konsumsi akan lebih rentan rentan menimbulkan rasa cemas, kesepian, burnout dan sebagainya. Lalu apa yang harus dilakukan generasi ini agar mampu bersaing?
Rumus 4-Be
Setidaknya ada rumus 4-Be yang dapat dilakukan. Pertama, Be Real. Belajar untuk meningkatkan intensitas keterlibatan sosial. Caranya dengan melakukan “detoks” penggunaan gadget berlebihan. State of Mobile 2024 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada tingkat pertama lama penggunaan gadget yaitu rata-rata 6 jam perhari. Waktu yang sangat lama! Untuk itu kita harus mulai melakukan langkah “ekstrem” dengan meninggalkan gadget, lalu mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya, latihlah kemampuan berkomunikasi dengan bergabung ke dalam organisasi baik di lingkungan sekolah, kampus ataupun lingkungan rumah. Dengan demikian kemampuan berkomunikasi, empati, berkolaborasi dan mengelola konflik makin terasah.
ADVERTISEMENT
Kedua, Be a Critical. Melatih kemampuan berpikir kritis dengan tidak selalu menggantungkan jawaban pada mesin pencari dan mesin Chat GPT. Mulailah kembali membentuk kelompok-kelompok membaca, book club dan berpartisipasi pada kegiatan komunitas diskusi. Berdialektika dengan cara membaca, menuliskan ide dan mendiskusikannya merupakan proses yang harus dicintai oleh para pemuda. Kita bisa meniru para pendiri bangsa yang gemar menghabiskan waktunya untuk membaca buku, menulis dan berdiskusi. Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir merupakan nama dari banyak tokoh yang gandrung membaca buku dan berdialektika. Dengan tiga kemampuan ini, membaca dan menulis dan berargumen, Gen Z akan memiliki kemampuan berpikir kritis.
Ketiga, Be Motivated. Tentukan pilihan pada jenjang karir yang diinginkan baik itu jangka pendek dan Panjang. Pihak perusahaan atau penyelenggara kerja sebaiknya memberikan panduan dan arahan karir yang transparan. Yang tidak kalah penting adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang. Syarat bekerja yang kerap kali ditemukan adalah seorang pelamar harus memiliki “Pengalaman Kerja”. Bagaimana mungkin seorang Gen-Z dan Post-Z dapat memiliki kepercayaan diri dengan kemampuannya ketika mereka tidak lebih dulu diberi trust untuk mencoba? Hal ini dapat dilakukan dengan program-program magang yang dilakukan saat proses pendidikan berlangsung. Yang tak kalah penting adalah memberikan ruang yang inkflusif kepada pemuda untuk memaknai pekerjaan yang berdampak positif sehingga merasa lebih termotivasi untuk terus terlibat.
ADVERTISEMENT
Keempat, Be Tough. Kesehatan mental yang kerap kali menjadi fokus perhatian Gen-Z juga layak diapresiasi. Namun, pemuda Indonesia harus punya mental baja, bukan mental tempe yang gampang menyerah. Endurance mental pemuda dapat dijaga dengan memfokuskan penguatan iman dan imun. Perkuat pemahaman agama, memulai hidup sehat dengan olahraga yang cukup, menekuni hobi dan lakukan detoks gadget. Selain itu dari pihak pemerintah dan perusahaan dapat memberikan akses yang mudah dan murah terhadap layanan bimbingan dan konseling.
Kini keputusan berada di tangan Gen-Z dan anak-anak muda masa depan untuk berubah. Apakah mereka mau menjadi abunya peradaban, sebagai “korban” dari lajunya zaman , dengan hanya menjadi penikmat dan penonton, lalu pasrah dengan segala tantangan. Atau pemuda bisa mulai mencoba rumus 4-Be untuk melakukan lompatan penting demi masa depan. Terakhir, kalimat Bung Karno terkait momen Sumpah Pemuda puluhan tahun lalu layak kita jadikan pedoman. “Kita jangan pernah mewarisi abunya Sumpah Pemuda, tetapi kita harus mewarisi apinya Sumpah Pemuda.” Sumpah Pemuda harusnya bukan sekedar momen ritual tahunan tanpa makna. Pemuda harus mendapat core of the core dari Sumpah Pemuda, yaitu api semangat. Menyala Pemuda-Pemudi Indonesia!!.***
ADVERTISEMENT