Womenomics : Strategi Potensi Pertumbuhan di Balik Isu Populasi Jepang

Rika Adani
Mahasiswa Universitas Airlangga, Fakultas Ilmu Budaya, Program Bahasa dan Sastra Jepang
Konten dari Pengguna
1 April 2024 14:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Adani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rika Adani Widya Imannajwa, Bahasa dan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya
ADVERTISEMENT
Populasi Jepang sebanyak 127 juta di 2005 mengalami penurunan cukup signifikan, pertahun 2022 tingkat pertumbuhan populasi Jepang mencapai -0.4%. Jika pertumbuhan tersebut berlanjut stagnan, diprediksi di tahun 2050 populasi Jepang akan berkurang hingga hanya 95 juta. Kondisi demografi ini tentu menjadi perhatian besar bagi pemerintah. Pemerintah Jepang mengonstruksi tatanan ekonomi, sosial, politik, hingga budaya demi meningkatkan laju pertumbuhan populasi.
Grafik laju pertumbuhan populasi Jepang. Source : The World Bank
Alasan dibaliknya penurunan tingkat kelahiran di Jepang cukup unik, masyarakat Jepang memperlakukan peran pria dan wanita berbeda. Pria dirancang untuk lulus kuliah, bekerja, dan memberikan nafkah untuk keluarga. Sedangkan wanita dirancang untuk kuliah setelah lulus SMA atau menjadi pekerja hingga menemukan seseorang yang akan menikahinya. Di beberapa sektor pekerjaan, wanita hanya diberi jejang karir sementara yang dapat dengan mudah digantikan. Tekanan sosial yang kian hari berorientasi pada pekerjaan mengakibatkan remaja di Jepang tidak terpikirkan untuk rencana menikah bahkan hingga memiliki anak. Bahkan menurut Kathy Matsui, pencetus womenomics, Jepang adalah satu satunya anggota Organization for Economic Cooperation Deveplopment (OECD) yang memiliki lebih banyak hewan peliharaan daripada anak – anak (Matsui, 2011).
ADVERTISEMENT
Pemerintah Jepang berpacu oleh penuaan populasi yang terus berjalan. Jepang diestimasi sebanyak 29.8 % dari populasinya berusia 65 tahun ke atas di tahun 2021, maka dari itu Jepang dilabeli sebagai “super-aged society.” Dibandingkan rata rata usia di dunia yakni 30,2, di Jepang 48,7. Dengan semakin sedikitnya generasi muda, pemasok pekerja produktif akan semakin berkurang sehingga berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi yang bisa diliat di tingkat Gross domestic product (GDP) tahun 2022.
Grafik laju pertumbuhan GDP Jepang. Source : The World Bank
Generasi muda dalam usia produktif dapat mendukung secara finansial dan fisikal dalam sistem keamanan sosial terhadap generasi tua, contohnya dalam sektor layanan Kesehatan dan bantuan pensiun. Dengan kondisi populasi sekarang, beberapa solusi ditawarkan pemerintah Jepang yakni antara lain kebijakan peningkatan kelahiran, membuka imigrasi, serta womenomics (Matsui, 2011).
ADVERTISEMENT

Konsep Womenomics

Pria dan wanita bekerja sama di kantor. Source : Canva picture
Banyak ekonom percaya bahwa menghapus kesenjangan gender dalam penerimaan kerja, Jepang akan mendorong peningkatan GDP hampir 13%. Membuka kesempatan tidak terbatas pada gender dapat mengatasi tantangan demografi jangka panjang yang dihadapi Jepang. Pada September 2012, Shinzo Abe, Perdana Mentri Jepang meluncurkan kebijakan ekonomi Womenomics, gabungan kata women dan economics, sinergi antara partisipasi wanita dalam pergerakan ekonomi Jepang.
Womenomics adalah konsep yang diperkenalkan oleh Kathy Matsui dalam laporan “Womenomics : Buy the Female Economy” tahun 1999. Solusi utama bagi permasalahan ekonomi Jepang adalah dengan menghilangkan hambatan struktural di Jepang, pasar tenaga kerja serta peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan (Matsui, 2014). Dalam artikel ini akan membahas bagaimana womenomics berdampak dalam pertumbuhan ekonomi di balik krisis populasi dan penuaan populasi Jepang.
ADVERTISEMENT
Populasi wanita (dewasa) sebanyak 50,3% dibanding pria 47.9% (sisa presentasi merupakan data lainnya), setengah lebih populasi di Jepang didominasi wanita. Isu streotip mengenai wanita diharuskan untuk “tetap berada di rumah” menjadi alasan SDM Jepang kurang optimal. Tujuan utama kebijakan womenomics bukan hanya mengurangi kesenjangan gender, namun juga demi mengerahkan seluruh SDM yang tersedia menggerakan produktifitas kegiatan ekonomi secara optimal.

Abenomics Womenomics Goals

Pemerintahan Perdana Mentri Abe mencangkan womenomics berserta Key Performance Indicators (KPI), indikator keberhasilan kebijakan womenomics yakni :
1. Meningkatkan tingkat partisipasi pekerja perempuan berusia 25-44 tahun dari 68% pada tahun 2012 menjadi 77% pada tahun 2020. (berjalan sesuai estimasi)
2. Menormalkan “M-curve” dengan meningkatkan persentase perempuan yang kembali bekerja setelah melahirkan anak pertama mereka dari 38% pada tahun 2010 menjadi 55% pada tahun 2020. (berjalan progresif)
M-kurva menunjukan pola kerja berdasarkan umur dan gender di antara tahun 1999 dan 2019
3. Menargetkan 30% representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan di seluruh masyarakat Jepang pada tahun 2020. (belum memenuhi target)
ADVERTISEMENT
4. Memperluas kapasitas penitipan anak, dengan tujuan mengurangi daftar tunggu penitipan anak pada tahun 2017. (berjalan progresif)
5. Meningkatkan persentase ayah yang mengambil cuti melahirkan (parenting) dari 2,6% pada tahun 2011 menjadi 13% pada tahun 2020. (berjalan progresif)
Indikator keberhasilan didasarkan untuk mengatasi masalah demografi, penurunan angka kelahiran populasi. Merupakan win win solution antara pihak pemerintah dan masyarakat. Womenomics tidak menutup kemungkinan wanita akan lebih memilih sibuk bekerja dibanding memiliki keluarga karna pemerintah menyediakan kebijakan yang tidak memberatkan tekanan terhadap pasangan yang memiliki anak, faktanya tunjangan cuti orang tua di Jepang kini termasuk yang paling besar di dunia. Disisi lain dengan membuka kesempatan bagi wanita kembali berpatisipasi dalam dunia kerja setelah melahirkan, pergerakan ekonomi akan bergerak beriringan dengan rencana peningkatan angka kelahiran.
Grafik yang menunjukan tingkat presentasi wanita yang kembali bekerja setelah melahirkan. Source : Cabinet Office
Poin ke-5 dalam KPI Womenomics dapat mempengaruhi streotipe bahwa ayah hanya bertugas mencari nafkah, tidak perlu berpartisipasi mengasuh anak. Rata rata ayah di Jepang menghabiskan 1 jam didalam rumah, 15 menit diantaranya untuk mengasuh anak (Matsui, 2011). Menerima cuti kerja bagi ayah akan memberi ruang interaksi bersama anak, yang akan berpengaruh baik jangka panjang di dalam pertumbuhkan psikologis anak. Namun target ini masih memerlukan perjalanan yang cukup panjang, karna terhitung di tahun 2017 hanya 5% ayah yang mengambil cuti, sedangkan target goalnya 13% di tahun 2020.
ADVERTISEMENT

Womenomics 5.0

Dalam perjalanan sepanjang 20 tahun kebijakan womenomics, hasil yang diharapkan melebihi ekspetasi. Womenomics 5.0 mencatat rekor partisipasi tenaga kerja wanita mencapai 71% melampaui Amerika Serikat dan Eropa, walaupun 56% diantaranya merupakan pekerja paruh waktu. Pencapaian ini dapat mendorong tingkat GDP naik hingga mencapai 15%, lebih dari yang direncanakan dari laporan womenomics 1999. Hal ini menjadikan steotipe bahwa keberagaman gender bukan suatu pilihan, namun sebuah keharusan ekonomi dan bisnis.
Hasil akhir womenomics masih jauh dari target, beberapa area yang perlu diimprovisasi dan didukung penuh pemerintah yakni, a) peran wanita di tingkat pemimpin di sektor swasta/public, b) kesetaraan upah gender, c) kontrak kerja yang fleksibel, d) insentif pajak, e) kapasistas tempat pengasuhan yang memadai, f) bias kesenjangan gender. Masyarakat harus menghilangkan mitos-mitos mengenai Womenomics, mengubah streotip peran gender di media, dan mendorong pemberdayaan perempuan dalam mengejar pendidikan yang setara. Isu akhir yang dihadapi womenomics ialah mengenai streotipe peran gender dalam masyarakat, serta memecahkan bias bawah sadar (Matsui, 2019)
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Womenomics merupakan bukti nyata tindakan pemerintah Jepang menghadapi isu penurunan tingkat kelahiran dalam populasi. Dalam 20 tahun, womenomics menunjukan optimistik disetiap progress yang dibuat. Tentunya kebijakan yang dicanangkan Perdana Mentri Abe, memerlukan sinergi penuh seluruh stakeholder baik dari Jepang sendiri, hingga dunia. Sesuai deklarasinya di organisasi internasional United Nation 2013, “create a society in which women shine.” Tindakan ini menaikkan peringkat global Jepang dari peringkat 29 menjadi peringkat 11 yang diukur dengan persentase perempuan di posisi kabinet (Kano, 2018). Kebijakan Womenomics dapat membuka peluang untuk dikaji dari segi politik, sosial, ekonomi, psikologi, budaya, serta perannya dalam SDG’s.

Referensi

Erika, M. (2018, December). Reality Check : Can "Womenomics" Help Save Japan's Declining Population.
ADVERTISEMENT
Forgach, N. (2009). Ja
pan's Population Decline and its Implications for Japanese Society.
Goldman Sachs. (2019). 20 Years on Womenomics 5.0. Portofolio Strategy Research.
Goldman Sachs. (2019, June 4). Womenomics 5.0: Twenty Years On. Retrieved April 1, 2024, from www.youtube.com/watch?v=RVr7u382vl0
Kurnia, B., & Iskandar, K. (2021). Towards sustainable society: Womenomics and women employment in Japan. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
Matsui, K. (2011, May 21). TEDxTokyo - Kathy Matsui - Womenomics. Miraikan, Odaiba, Japan: TEDx Talks.
Sholihin, F. (2022). Global Migration sebagai Solusi Jepang dalam Menghadapi Aging Population melalui the Immigration Control and Refugee Recognation Act. Journal Transborders.
The World Bank. (2022). WORLD DEVELOPMENT INDICATORS. Retrieved from https://datatopics.worldbank.org/: https://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators/
ADVERTISEMENT