Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mampu Meningkatkan Tigkat Diskusi Moral Siswa? Selamat Guru Cerdas!
4 Juni 2017 22:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Riki Wirahmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Moral, menjadi isu yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas, sejatinya esensi dari pendidikan tidak akan didapat jika siswa tidak faham tentang moral dan tidak terampil mengaplikasikannya. Pada bab 13 bukunya Thomas Lickona, educating for Character. Meningkatkan tingkat diskusi moral menjadi bab tersendiri, bagaimana menciptakan suasana kelas yang penuh dengan diskusi kritis mengenai temuan-temuan berupa studi kasus yang dipaparkan oleh guru-guru hebat di kelasnya. Diawal, disuguhkan diskusi menarik mengenai “Dilema Mary” sebagai berikut: “John dan Mary adalah siswa IPS kelas tujuh. Ketika tes, Mary tahu kalau John melihat kertas ujiannya dan menulis jawabannya. Mary juga tahu bahwa John ada di tempat game sebuah mal pada malam sebelumnya ketika Mary belajar keras untuk ujiannya. Apa yang seharusnya Mary lakukan? Apa yang akan kamu lakukan jika kamu adalah Mary?”
ADVERTISEMENT
Ada lima petunjuk yang bisa dilakukan oleh guru sebagai strategi penting untuk merespon pemikiran siswa tingkat rendah dan menstruktur diskusi moral selanjutnya untuk menggambarkan pemikiran tingkat tinggi yaitu guru harus mengatur konteks yang nonrelativistic untuk diskusi, merencanakan masalah-pertanyaan spesifik yang akan menantang pemikiran siswa, menantang siswa untuk tetap berfikir tentang isu tersebut, dan diskusi berlabuh dalam kurikulum berbasis pendekatan.
Lima petunjuk yang dituliskan diatas tidak lain adalah sebagai alat untuk menyadarkan siswa betapa pentingnya refleksi terhadap tindakan moral yang dilakukan setiap harinya. Sehingga tingkat kreatifitas gurulah yang selanjutnya ditantang untuk membuat “kurikulum” yang sesuai dengan tingkat kebutuhan siswa dalam memahami moral itu sendiri. Seperti yang dikembangkan oleh spesialis etika Joan Engel dan rekan-rekannya di Kementerian Pendidikan Alberta, Kanada tentang kegiatan-kegiatan dari kurikulum tersebut meliputi guru membuat atau menempel gambar orang yang beretika dikelasnya, guru merancang proyek etika dalam bertindak, guru memfasilitasi siswa tentang etika di dunia, guru mendatangkan guru tamu dalam etika diberbagai profesi.
ADVERTISEMENT
Menonton film dalam proses pembelajaran misalnya, menjadi salah satu alat yang cerdas untuk menunjukkan nilai-nilai moral itu, sehingga akhirnya siswa diberi kesempatan untuk menemukan intisari nilai dari film yang ia tonton, indicator keberhasilan dari nonton film ini mampu membuat salah satu siswa misalnya berkata, “terkadang memang sulit untuk mengatakan kebenaran, tapi setiap orang akan merasa lebih baik pada akhirnya” atau berucap “satu kebohongan akan membawa kepada kebohongan yang lainnya”. Selain itu, bermain peran, menempel gambar-gambar etika yang baik atau etika yang buruk, belajar untuk menilai dengan bijak, hingga membantu siswa membangun moral pengertahuan pribadi bisa menjadi alternative lain yang bisa dilakukan oleh guru untuk mendorong dan meningkatkan refleksi moral siswa. Sejatinya “Bagi guru, usaha untuk mengikutsertakan anak muda dalam merefleksi moral yang bijak adalah sangat esensial. Berfikir bukanlah semuanya harus terdapat moralitasnya, tapi tidak akan ada moralitas tanpa berfikir” ujar Thomas Lickona di penghujung tulisan Bab 13nya.
ADVERTISEMENT