Konten dari Pengguna

Mengulas Kebudayaan Mentawai Lewat Novel Burung Kayu

Riki Dwi Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang
25 Mei 2022 21:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riki Dwi Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sampul Novel Burung Kayu - Review Buku
zoom-in-whitePerbesar
Sampul Novel Burung Kayu - Review Buku
ADVERTISEMENT
Review - Bagi para penikmat cerita fiksi, tentunya sudah paham dan tahu betul bagaimana karangan fiksi berjalan di dalam sebuah cerita. Jangkauan cerita yang luas tergantung imajinasi pengarangnya, menjadikan cerita fiksi menjadi lebih seru untuk dibaca. Keseruan cerita tersebut tentu dibarengi dengan alur serta jalan cerita yang menarik.
ADVERTISEMENT
Novel Burung Kayu merupakan novel etnografis yang mengangkat cerita tentang persoalan sosial di pedalaman pulau Mentawai, novel ini mampu menarik perhatian pembaca dengan jalan ceritanya yang mengangkat isu sosial masyarakatnya. Tidak hanya tentang pertikaian, novel ini juga mengangkat kisah percintaan di dalamnya sehingga tidak terkesan kolot karena hanya membahas satu bahasan inti saja.
Novel terbitan Juni 2020 ini bahkan dinobatkan sebagai naskah yang menarik perhatian juri sayembara novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2019). Niduparas Erlang sebagai penulis novel ini mampu membungkus cerita dengan kombinasi imajinasi naratif dibarengi dengan sepenggal kisah – kisah masa lalu.
INFORMASI BUKU
a. Judul Buku : Burung Kayu
b. Pengarang : Niduparas Erlang
c. Tahun terbit : 2020
ADVERTISEMENT
d. Jumlah Halaman : 183
e. Kategori : Fiksi
f. Penerbit : Teroka Gaya Baru
Novel Burung Kayu merupakan karya ke-3 setelah sebelumnya Niduparas Erlang menerbitkan beberapa buku seperti La Rangku (2011), Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pasar (2015), La Rangku; Yang Terlahir dari Keriangan dan Kehilangan (2017).
Cerita dalam ini berangkat dari pertikaian antar dua suku yang berujung pada kematian Bagaiogok. Taktsilitoni, istrinya, ingin mewariskan dendam kematian suaminya kepada anaknya, Legeumanai dengan menikahi Saengrekerei adik iparnya sendiri.
Namun, setelah pernikahan itu terjadi, muncul permasalahan lain saat mereka memutuskan untuk pindah ke barasi dekat muara, pemukiman yang dibangun pemerintah. Niat awal untuk balas dendampun jadi terbengkalai karena keluarga legeumani harus berhadapan dengan kebijakan baru yang muncul diantara para suku.
ADVERTISEMENT
Novel Burung Kayu ini mampu memperlihatkan sudut pandang masyarakat mentawai saat menghadapi dinamika permasalahan yang terjadi di sana. Dengan begitu, masyarakat luas dapat sedikit banyak paham tentang bagaimana masyarakat adat, khususnya Mentawai dari kaca mata pembaca.
Di sisi lain, cerita menarik yang terkandung dalam novel tidak dibarengi dengan penjelasan glosarium maupun footnote di dalam novel. Sedangkan ada banyak kata bercetak miring yang digunakan untuk menyebutkan beberapa istilah dalam bahasa mentawai itu sendiri. Saya sebagai pembaca, jujur, merasa sedikit kehilangan semangat terlebih di pertengahan buku, karena harus bolak – balik membuka internet hanya untuk mencari arti kata bercetak miring tersebut.
Saya yakin, dengan adanya glosarium di dalam novel ini akan menjadikan buku ini menjadi lebih baik, karena hal tersebut bisa menambah wawasan pembaca mengenai pengetahuan adat mentawai dengan lebih mudah tanpa harus pusing memikirkan arti kata mentawai yang tentu tidak semua pembaca paham artinya. Namun di satu sisi, pembaca seperti di ajak untuk belajar bahasa serta kebudayaan Mentawai secara otodidak, sehingga ingatan yang tersimpan dapat lebih mudah untuk diongat kembali dan tidak mudah dilupakan.
ADVERTISEMENT