Konten dari Pengguna

Anak Nakal Tak Butuh Barak, Mereka Butuh Buku

Rikza Anung Andita Putra
Rikza Anung Andita Putra adalah mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
30 April 2025 17:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rikza Anung Andita Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak-anak di ruang tidur bersama, bagian dari proses tumbuh yang membutuhkan bimbingan, bukan hukuman. Mereka butuh didengar, bukan didisiplinkan secara koersif. Sumber Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak di ruang tidur bersama, bagian dari proses tumbuh yang membutuhkan bimbingan, bukan hukuman. Mereka butuh didengar, bukan didisiplinkan secara koersif. Sumber Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Ketika pertama kali mendengar gagasan Dedi Mulyadi untuk mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke pelatihan militer, saya sempat melihatnya sebagai sebuah terobosan. Di tengah kompleksitas persoalan remaja hari ini, pendekatan yang tegas memang terlihat menarik. Saya mengira, mungkin ini bentuk kepedulian negara yang lama hilang.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah saya berdiskusi lebih dalam dengan beberapa kawan, perspektif saya berubah. Justru dari diskusi itulah muncul pertanyaan-pertanyaan baru: apakah pelatihan militer benar-benar mampu mengubah perilaku dan cara pandang seseorang? Apakah disiplin yang bersifat koersif bisa menggantikan proses pendidikan yang seharusnya membebaskan dan memanusiakan? Ataukah ini hanyalah cara negara menghindari tanggung jawab dalam mendidik, dengan membungkus kekerasan dalam narasi “pembinaan”?
Kenakalan remaja tidak bisa semata-mata dilihat sebagai penyimpangan moral individu. Ia adalah cermin dari kegagalan struktural: sistem pendidikan yang tak inklusif, lingkungan sosial yang menekan, dan absennya negara dalam memberi ruang tumbuh yang aman. Sayangnya, ketika anak-anak tumbuh tanpa arah akibat kelalaian negara, justru mereka yang disalahkan dan dikirim ke barak.
ADVERTISEMENT
Ironinya sangat nyata. Negara memilih pendekatan militeristik, bukan pendekatan pendidikan. Barak menggantikan buku. Komando menggantikan dialog. Kepatuhan dijadikan tujuan utama, alih-alih pemahaman dan kesadaran.
Lebih jauh, pendekatan ini membawa risiko serius, terutama secara psikologis. Anak-anak yang masih dalam proses tumbuh kembang bisa mengalami tekanan mental akibat lingkungan yang keras dan penuh disiplin kaku. Bahkan lebih dari itu, muncul kekhawatiran bahwa mereka akan keluar dari barak bukan sebagai individu yang lebih baik, tapi justru sebagai pribadi yang merasa punya kuasa, tanpa bekal moral yang memadai.
Pada titik ini, kita perlu bertanya: apakah ini bentuk pendidikan, atau hanya mekanisme penjinakan? Anak-anak yang dicap nakal bukanlah musuh yang harus ditaklukkan. Mereka adalah korban dari sistem yang gagal menghadirkan keadilan dan pendampingan. Maka tugas negara bukan menghukum, melainkan hadir untuk memulihkan. Bukan melatih ketundukan, tapi membangun kesadaran.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, yang mereka butuhkan bukan barak, tapi buku. Bukan komando, tapi ruang dialog. Bukan kekerasan, tapi kehadiran yang membimbing.