Konten dari Pengguna

Ketika Pendidikan Tergeser Oleh Gaya Hidup

Rikza Anung Andita Putra
Rikza Anung Andita Putra adalah mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
29 April 2025 16:09 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rikza Anung Andita Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk tanggung jawab intelektual. Sumber foto: Dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Belajar bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk tanggung jawab intelektual. Sumber foto: Dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Di tengah semakin kompleksnya tuntutan hidup, orientasi mahasiswa terhadap pendidikan perlahan mulai bergeser. Proses menuntut ilmu yang seharusnya menjadi inti dari kehidupan kampus kini kerap terpinggirkan oleh berbagai kepentingan pragmatis. Tak bisa dipungkiri, narasi tentang “kuliah untuk mendapat pekerjaan” begitu dominan dalam benak banyak mahasiswa. Bahkan, bagi sebagian kalangan, kuliah dianggap sukses apabila bisa segera menghasilkan uang. Di sinilah muncul persoalan: apakah pendidikan tinggi masih dipandang sebagai ruang pembentukan intelektual, atau sekadar jalan pintas menuju stabilitas finansial?
ADVERTISEMENT
Pengalaman pribadi saya sempat menjadi momen reflektif atas isu ini. Suatu waktu, saya berbincang dengan paman saya, seorang guru besar salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia menyampaikan satu kalimat yang sederhana namun membekas:
"Kalau masalah perutmu sudah aman, jangan lagi sibuk berfikir untuk menghasilkan uang. Fokuslah belajar, dan itu tugasmu hari ini!"
Wejangan ini menjadi pengingat keras bahwa tidak semua orang memiliki privilese untuk belajar tanpa memikirkan beban ekonomi. Maka ketika seseorang diberi kemewahan itu, ia mestinya menggunakannya untuk berinvestasi dalam pengembangan kapasitas diri, bukan justru terdistraksi oleh godaan-godaan jangka pendek.
Sayangnya, fenomena yang berkembang hari ini menunjukkan sebaliknya. Banyak mahasiswa yang lebih tertarik membangun citra sosial dibanding memperdalam isi kepala. Gaya hidup konsumtif, dorongan untuk tampil sempurna di media sosial, hingga tekanan untuk terlihat “sukses” menjadi pemicu bergesernya prioritas. Belajar, membaca buku, berdiskusi, atau melakukan riset, semua itu kerap dianggap tidak cukup menjanjikan secara instan. Padahal, justru di situlah letak nilai dari pendidikan tinggi: membentuk karakter, menajamkan nalar, dan memperkaya perspektif.
ADVERTISEMENT
Perlu digarisbawahi, tulisan ini tidak sedang menyalahkan mahasiswa yang harus bekerja karena keterbatasan ekonomi. Realitas itu nyata dan patut dihargai. Namun, refleksi ini lebih ditujukan kepada kita yang berada dalam posisi cukup beruntung, tetapi sering kali lalai dalam menggunakan waktu belajar. Ketika tidak ada beban ekonomi, ketika orang tua telah mengupayakan segalanya, maka tanggung jawab kita adalah menuntut ilmu sebaik-baiknya.
Dalam jangka panjang, dunia kerja pun tidak hanya membutuhkan ijazah, tetapi pemikiran yang matang. Ketika orientasi pendidikan bergeser terlalu jauh ke arah material, maka kita hanya mencetak tenaga kerja, bukan pemikir. Maka pertanyaannya: apakah kita masih ingin menjadi mahasiswa yang berpikir, atau cukup puas menjadi mereka yang hanya mengejar gelar?
ADVERTISEMENT
Sebab, di tengah dunia yang semakin kompleks, bangsa ini tidak hanya membutuhkan orang-orang yang kaya, tetapi juga mereka yang berpikir, reflektif, dan berintegritas.