Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Saat Adab Pesantren dituduh Feodalisme
23 April 2025 14:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rikza Anung Andita Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Belakangan ini, pondok pesantren kembali menjadi bahan perbincangan di media sosial. Sayangnya, bukan dalam konteks apresiasi, melainkan tuduhan—bahwa pesantren adalah sarang praktik feodalisme. Banyak yang menilai relasi antara santri dan kiai terlalu hierarkis dan mengekang kebebasan berpikir. Sebagai seseorang yang cukup dekat dengan dunia pesantren, saya merasa tuduhan itu berlebihan dan menyederhanakan realitas yang jauh lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa kasus yang tampak berlebihan—misalnya soal kepatuhan mutlak tanpa ruang dialog. Tapi apakah itu cukup untuk menyimpulkan bahwa seluruh sistem pesantren dibangun di atas feodalisme? Saya rasa tidak. Menggeneralisasi dari satu-dua kasus adalah kekeliruan serius, apalagi jika tidak disertai pemahaman mendalam terhadap tradisi yang hidup di pesantren.
Di pesantren, nilai inti yang mendasari relasi antara santri dan guru adalah adab. Ini bukan sekadar etiket, tapi kesadaran untuk menempatkan ilmu dan pemberi ilmu pada tempat yang semestinya. Santri menghormati kiai bukan karena tak bisa berpikir kritis, tetapi karena menyadari bahwa ilmu bukan sekadar informasi, melainkan amanah yang diturunkan melalui proses rohani dan intelektual yang panjang.
ADVERTISEMENT
Pengalaman saya menunjukkan bahwa relasi ini justru sangat manusiawi. Ketika seorang santri mencium tangan kiai, itu bukan bentuk penghambaan, melainkan cara memperoleh keberkahan dari guru agar ilmu yang didapatkan benar-benar bermanfaat. Bahkan dalam perbedaan pandangan sekalipun, adab tetap menjadi pijakan. Di pesantren yang sehat, bertanya, berdiskusi, bahkan mengkritik guru bukanlah hal yang tabu—selama dilakukan dengan tata krama yang benar.
Yang dikhawatirkan, jika stigma feodalisme terus dipelihara, maka pesantren akan kehilangan kepercayaan publik. Akan banyak orang tua yang enggan memasukkan anaknya ke pesantren karena takut terjebak dalam sistem yang katanya otoriter. Padahal, pesantren adalah lembaga yang telah lama berkontribusi mencetak cendekiawan muslim—bukan hanya yang paham agama, tapi juga berkontribusi nyata untuk bangsa. Stigma ini bisa menjadi penghalang besar bagi regenerasi ilmuwan muslim yang berakar pada tradisi lokal.
ADVERTISEMENT
Kepada pembaca yang belum pernah bersentuhan langsung dengan pesantren, saya ingin mengajak untuk melihat lebih dekat. Jangan hanya menilai dari kasus-kasus viral atau cuplikan yang dilepas dari konteks. Banyak pesantren yang mengajarkan Islam yang moderat, inklusif, dan sangat rasional. Berdasarkan data dari Kementerian Agama, mayoritas pesantren di Indonesia justru berada dalam arus Islam wasathiyah (moderat), yang menjadi kekuatan utama dalam menjaga harmoni sosial dan keagamaan di negeri ini.
Pesantren bukan tempat yang menolak zaman. Ia adalah lembaga yang menjunjung nilai-nilai spiritual sekaligus membuka ruang dialog intelektual. Adab yang dijunjung di dalamnya bukan bentuk pembungkaman, melainkan cara menjaga integritas ilmu dan relasi antarmanusia. Di tengah dunia yang semakin kehilangan rasa hormat dan empati, adab adalah warisan besar yang tak boleh dianggap remeh—apalagi disalahpahami sebagai feodalisme.
ADVERTISEMENT