Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Asas Pertanggungjawaban Kesalahan dalam Sengketa Pengangkutan Minyak Sawit
22 Juni 2021 8:24 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:07 WIB
Tulisan dari Rima Gravianty Baskoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh:
1. Clift Cardley Jacobus Mahulete S.H. (Shipping Practitioner and Maritime Law Enthusiast)
ADVERTISEMENT
2. Rima Gravianty Baskoro, S.H., ACIArb. (Peradi Licensed Lawyer and Associate of Chartered Institute of Arbitrators)
I. Pengangkutan Minyak Kelapa Sawit
Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau memerlukan upaya dan strategi khusus untuk pemerataan pemenuhan kebutuhan masyarakat di Indonesia. Maka transportasi laut memegang peranan penting untuk mendistribusikan kebutuhan masyarakat antar pulau. Salah satu kebutuhan yang dilakukan dengan transportasi laut adalah pendistribusian minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil / CPO).
Minyak kelapa sawit / CPO menjadi salah satu muatan dalam cargo yang rutin dilakukan pengirimannya melalui jalur laut. Hal ini dikarenakan minyak kelapa sawit / CPO sampai saat ini masih menjadi bahan dasar minyak goreng, kosmetik, biodiesel, pasta gigi, cat, dan lain-lain. Dalam hal kegiatan pengangkutan minyak kelapa sawit / CPO melalui laut dapat menggunakan tiga jenis pengoperasian kapal, yaitu:
ADVERTISEMENT
a. kapal industri:
kegiatannya ditujukan khusus untuk melayani transaksi barang dari suatu perusahaan industry
b. kapal sewa:
tujuan dan jadwal tidak tergantung dari muatan, namun ongkos angkut tergantung dari jumlah barang yang dibawa;
c. kapal bertrayek:
tujuan dan jadwal sudah ditentukan, sedangkan ongkos angkut tergantung dari berat maupun volume barang yang dibawa.
Kelaiakan kapal menjadi salah satu pertimbangan penting untuk menentukan keberhasilan proses pengapalan dan pengangkutan minyak kelapa sawit. Berikut adalah unsur-unsur kelaikan kapal yang perlu diperhatikan:
a. Kesesuaian kapal untuk perdagangan minyak kelapa sawit / CPO (negara pemilik kapal, bendera tempat kapal terdaftar, usia kapal, jenis tangki dan pelapisannya, serta ukuran tangki dan pompanya;
b. Pemahaman pemilik kapal dan awak kapal tentang terminologi pengangkutan minyak kelapa sawit, seperti lay days, penundaan, kontrak perdagangan minyak kelapa sawit, dan pemberlakuan three cargo (kapal hanya mengangkut minyak kelapa sawit / CPO pada tiga pelayaran sebelumnya)
ADVERTISEMENT
c. Legalitas kapal: klasifikasi, sertifikasi dan asuransi.
II. Asas Hukum Dan Perjanjian dalam Pengangkutan Minyak Kelapa Sawit
Dalam kegiatan pengangkutan laut terdapat asas-asas hukum yang menjadi dasar dilakukannya kegiatan pengapalan dan pengangkutan minyak kelapa sawit. Asas-asas hukum pengangkutan yang bersifat perdata tersebut terdiri dari :
a. Asas konsensual
Perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung dengan dokumen pengangkutan;
b. Asas Koordinatif
Pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari yang lain. Meskipun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pengirim barang. Pengangkut merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.
ADVERTISEMENT
c. Asas campuran
Pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjian yaitu: pemberian kuasa, penyimpanan barang dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
d. Asas pembuktian dengan dokumen
Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali untuk jarak dekat contohnya angkutan dalam kota.
Lebih lanjut, menurut sistem hukum Indonesia, perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus) di antara para pihak, hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 90 KUHD yang mengatur sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Surat angkutan merupakan persetujuan antara si pengirim atau ekspeditur pada pihak satu dan pengangkut atau pemilik angkutan kapal dengan pihak lain. Persetujuan tersebut selain memuat persetujuan kedua belah pihak, seperti misalnya batas waktu pelaksanaan pengangkutan laut dan mengenai penggantian rugi dalam hal kelambatan, juga memuat tentang:
1. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, begitupun merek-merek dan jumlahnya;
2. Nama penerima barang;
3. Nama dan tempat pengangkut;
4. Jumlah upah pengangkut;
5. Tanggal;
6. Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur.
III. Prinsip Pertanggungajawaban Dalam Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Minyak Kelapa Sawit
Sehubungan dengan upaya penyelesaian sengketa, terdapat tiga teori pertanggungjawaban pengangkut yang harus diketahui dan dibuktikan untuk menentukan upaya terbaik dan strategi paling efektif untuk penyelesaian sengketa. Tiga teori pertanggungjawaban pengangkut tersebut adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based on fault principle)
Dalam menentukan tanggung jawab pengangkutan didasarkan pada pandangan bahwa yang membuktikan kesalahan pengangkut adalah pihak yang dirugikan atau penggugat. Dalam hukum positif Indonesia, prinsip ini dapat menggunakan pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad).
b. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle);
Tergugat dianggap selalu bersalah kecuali tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan. Jadi dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya saja beban pembuktian menjadi terbalik yaitu pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah. Dalam KUH Dagang, prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah dapat ditemukan dalam Pasal 468.
ADVERTISEMENT
c. Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute liability principle).
Pihak yang menimbulkan kerugian (tergugat) selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak adanya kesalahan dan tanpa melihat siapa yang bersalah. Prinsip pertanggungjawaban ini memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian bagi penumpang atau pengirim barang.
IV. Kesimpulan
Untuk memastikan kelancaran pengangkutan minyak kelapa sawit / CPO melalui laut, maka selain harus menentukan jenis pengoperasian yang efektif, juga harus memperhatikan faktor kelaikan kapal demi keselamatan dan keamanan proses pengangkutan.
Sehubungan dengan pembuktian atau perjanjian dalam pengangkutan laut, Pasal 90 KUHD telah mengatur dengan tegas bahwa dokumen/surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau nakhoda. Tanpa dokumen/surat angkutan, apabila tercapai persetujuan kehendak antara kedua belah pihak maka berarti perjanjian telah ada, sehingga dokumen/surat angkutan hanya merupakan surat bukti belaka mengenai perjanjian angkutan.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada penjelasan prinsip pertanggungajawaban tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pengangkut diberikan beban berat untuk membuktikan bahwa kesalahan bukan dilakukan olehnya. Namun demikian, pada prinsip tertentu, kalaupun pengangkut telah membuktikan tidak melakukan kesalahan, tetap harus ada kerugian atau tanggung jawab yang dipikul oleh pengangkut.
*