Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Penyelesaian Sengketa Asuransi Angkutan Laut Melalui Arbitrase di Indonesia
7 Juli 2021 11:31 WIB
Diperbarui 24 Agustus 2021 11:09 WIB
Tulisan dari Rima Gravianty Baskoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh:
1. Clift Cardley Jacobus Mahulete S.H. (Shipping Practitioner and Maritime Law Enthusiast)
ADVERTISEMENT
2. Rima Gravianty Baskoro, S.H., ACIArb. (Peradi Licensed Lawyer and Associate of Chartered Institute of Arbitrators)
I. PENDAHULUAN
Sejak dulu, para ahli hukum sudah berpendapat bahwa pengaturan khusus terkait segala perbuatan hukum yang terjadi di maupun melalui laut penting untuk disusun dan diterapkan, khususnya tentang angkutan laut. Hal ini dikarenakan gelombang air laut yang senantiasa bergerak dan tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Perubahan titik batas daratan dengan laut yang berakibat pada hak lintas tiap negara, sapuan ombak, bajak laut, transaksi perdagangan dengan moda transportasi laut, hingga kerusakan barang angkutan akibat air laut menjadi beberapa pertimbangan penyusunan regulasi tentang kemaritiman, salah satunya tentang asuransi angkutan laut.
Di Indonesia, kegiatan pengangkutan barang dengan moda transportasi laut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.
ADVERTISEMENT
Pasal 468 KUHD pada intinya mengatur bahwa pengangkut atau pemilik kapal angkut bertanggung jawab dan berusaha sebaik-baiknya agar barang-barang yang diangkutnya tetap utuh mulai sejak ia menerima barang itu dari si pengirim hingga sampai saat ia menyerahkan barang tersebut kepada si penerima. Pengangkut juga dibebankan penggantian kerugian atas kerusakan barang yang diangkut kecuali dapat dibuktikan bahwa hal tersebut dikarenakan:
a. Suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari;
b. Barang sudah rusak;
c. Kesalahan si pengirim.
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya berjudul “Hukum Laut Bagi Indonesia” menyampaikan bahwa terdapat dua pertanggungjawaban dari pengangkut atau pemilik kapal, yaitu
a. Terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pekerjanya di kapal;
b. Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pekerjanya dalam lingkungan pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Melihat pada risiko yang harus ditanggung oleh pengusaha dan/atau pemilik angkutan laut, maka sistem asuransi muncul sebagai bentuk pengalihan beban dan pertanggungjawaban agar dapat meringankan pemilik kapal.
II. ASURANSI ANGKUTAN LAUT DI INDONESIA
Regulasi tentang asuransi secara umum di Indonesia diatur di Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan definisinya terdapat di Pasal 246. KUHD pada intinya mengatur bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara penanggung dengan tertanggung, di mana penanggung mendapatkan premi dari tertanggung dan tertanggung berhak untuk menerima ganti rugi atau pengalihan risiko dari penanggung. Ganti rugi ini disebabkan oleh kondisi-kondisi akibat kehilangan, kerusakan atau tidak mendapatkan keuntungan sesuai yang diharapkan oleh tertanggung akibat sesuatu yang tidak pasti atau tidak bisa diduga.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, asuransi angkutan laut berarti pertanggungan tertanggung yang dibebankan kepada penanggung untuk hal yang terdapat pada angkutan laut tersebut, antara lain:
a. Angkutan laut itu sendiri (kosong atau bermuatan, dipersenjatai atau tidak, berlayar sendirian atau bersama-sama dengan kapal lain);
b. Alat-alat perlengkapan angkutan laut;
c. Alat-alat perlengkapan perang dalam angkutan laut;
d. Bahan makanan, dan pada umumnya semua biaya yang telah dikeluarkan perusahaan angkutan laut;
e. Barang-barang muatan dalam angkutan laut;
f. Keuntungan yang diharapkan dari pelaksanaan pengangkutan laut;
g. Biaya angkutan yang akan diperoleh;
h. Dan lain-lain.
Keberadaan asuransi menjadi faktor penting bagi pengusaha atau pemilik angkutan laut. Hal ini dikarenakan asuransi angkutan laut pada akhirnya menanggung beban pertanggungjawaban tertanggung (dalam hal ini pengusaha atau pemilik angkutan laut) sesuai besaran kerugian yang dideritanya. Hal in sesuai dengan asas perjanjian asuransi sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Asas identitas, yang berarti bahwa pembayaran klaim berupa ganti rugi harus sesuai kerugian yang diderita
b. Asas kepentingan, yang berarti harus ada kepentingan antara tertanggung dengan objek asuransi
c. Asas itikad baik, yang berarti bahwa para pihak akan menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam polis asuransi
d. Asas subrogasi, yang berarti bahwa ada pengalihan hak untuk menuntut pihak ketiga sebagai penyebab kerugian, dalam hal ini hak menuntut pihak yang rugi menjadi tertuju kepada perusahaan asuransi
e. Proxima Causa, yang berarti bahwa asuransi sebagai pihak penanggung hanya menerima pengajuan klaim atau tertanggung (pengusaha dan/atau pemilik angkutan laut) hanya berhak menerima ganti rugi apabila terbukti bahwa kerugian tersebut terjadi dari risiko yang dijamin dalam perjanjian asuransi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia pada umumnya klaim asuransi atas risiko dapat dilakukan oleh tertanggung kepada penanggung jika terjadi kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Kebakaran atau ledakan di angkutan laut;
b. Angkutan laut terdampar dan/atau mendarat di pelabuhan darurat;
c. Tabrakan dengan benda / kapal lain;
d. Pembongkaran barang di pelabuhan darurat;
e. Pembuangan barang ke laut;
f. Sapuan ombak;
g. Kerusakan angkutan laut dan/atau muatannya akibat air laut;
h. Kerugian yang terjadi sewaktu bongkar muat dari angkutan laut;
i. Ada sejumlah biaya yang dikeluarkan tertanggung untuk penyelamatan angkutan laut dan/atau muatannya.
Dalam polis asuransi angkutan laut, pada umumnya penanggung dan tertanggung menyepakati hal-hal sebagai berikut:
a. Identitas dan legal standing para pihak
b. Masa berlakunya perjanjian
ADVERTISEMENT
c. Definisi (alat angkut, kapal, jettison, abandonmen, dan lain-lain)
d. Risiko yang dijamin (kerugian, kerusakan dan tanggung jawab terhadap barang maupun kepentingan yang ditanggung);
e. Pengecualian terhadap risiko-risiko yang ditanggung (karena kapal tidak laik atau tidak sempurna, keadaan perang, kerusuhan, akibat kesalahan pemilik kapal/tertanggung,
f. Kerugian umum
g. Kewajiban pemilik kapal/pengangkut/tertanggung untuk mengungkap fakta
h. Pembayaran premi dan mata uang yang digunakan
i. Hak dan Kewajiban para pihak pada masa transit, saat berakhirnya perjanjian pengangkutan maupun saat terjadi perubahan rute perjalanan
j. Klaim asuransi
k. Kerugian total
l. Pembayaran ganti rugi dan hilangnya hak untuk menuntut ganti rugi
m. Pengabaian/abandonmen
n. Penyelesaian Perselisihan/Sengketa melalui Arbitrase
Sebagaimana diatur dalam Pasal 255 KUHD, kesepakatan antara penanggung dan tertanggung yang berisi klausul-klausul sebagaimana telah diuraikan di atas harus diperjanjikan dalam bentuk tertulis. Pertanggungan dalam bentuk asuransi tersebut dicatatkan dalam satu dokumen yang disebut dengan polis.
ADVERTISEMENT
III. ARBITRASE SEBAGAI PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI ANGKUTAN LAUT DI INDONESIA
Dalam pelaksanaan kesepakatan dalam perjanjian asuransi angkutan laut, tidak jarang terjadi sengketa antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (pengusaha dan/atau pemilik angkutan laut). Sengketa asuransi angkutan laut terjadi karena beberapa kondisi, antara lain akibat:
Untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian terkait asuransi angkutan laut antara penanggung dan tertanggung harus memperhatikan klausul penyelesaian sengketa di dalam perjanjian pertanggungan asuransi angkutan laut tersebut. Di Indonesia, penyelesaian sengketa terkait pelaksanaan pertanggungan asuransi angkutan laut dibawa ke forum arbitrase. Sehingga dalam perjanjian pertanggungan asuransi angkutan laut terdapat klausul arbitrase sebagai penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
“Dengan ini dinyatakan dan disepakati bahwa Tertanggung dan Penanggung akan melakukan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sesuai dengan Peraturan dan Prosedur Arbitrase atau melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi lainnya yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.”
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu Sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di Indonesia, penyelesaian sengketa terkait asuransi dahulu dilakukan melalui Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia/BMAI. Namun terhitung sejak 1 Januari 2021, penyelesaian sengketa terkait asuransi dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) yang menggantikan peran BMAI sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 61/POJK.07/2020.
Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh tertanggung selaku Pemohon dalam penyelesaian sengketa asuransi angkutan laut melalui lembaga arbitrase adalah kemauan dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa ini dengan cara negosiasi untuk mendapatkan win-win solution dalam jangka waktu yang cepat. Kunci utama keberhasilan negosiasi adalah adanya titik temu antara keinginan tertanggung/Pemohon dengan penanggung/Termohon.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik arbitrase, bahkan terkadang Majelis Arbiter meminta agar direktur ataupun pihak penentu kebijakan dari tertanggung/Pemohon dan penanggung/Termohon agar dapat bertemu langsung untuk bernegosiasi demi mendapatkan win-win solution. Untuk mencapai titik temu tersebut disarankan agar tertanggung/Pemohon menginformasikan titik terendah poin negosiasinya, dan penanggung/Termohon menginformasikan titik maksimal yang sanggup ditanggungnya. Dengan adanya pergerakan level permintaan dan kesanggupan dari para pihak, diharapkan dapat menuju kesepakatan perdamaian yang pada akhirnya nanti dilekatkan dalam putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat.
Namun jika memang upaya negosiasi tidak mencapai titik terang, maka tahapan yang harus menjadi perhatian bagi tertanggung/Pemohon adalah tentang pembuktian. Pembuktian dalam Arbitrase selain dilakukan melalui bukti tertulis (dokumen, korespondensi, dan lain-lain) juga dilakukan dengan cara pemeriksaan para saksi dan pemeriksaan ahli. Pada tahapan pembuktian tertanggung/Pemohon dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa kondisi yang dideritanya termasuk dalam kesepakatan keadaan yang harus ditanggung oleh asuransi.
ADVERTISEMENT
Dengan terbuktinya kondisi pertanggungan, maka timbul hak bagi tertanggung/Pemohon untuk mengajukan klaim pertanggungan kepada penanggung/Termohon. Persoalan selanjutnya adalah membuktikan bahwa klaim pertanggungan yang diajukan oleh tertanggung/Pemohon sesuai dengan jumlah kerugian yang diderita oleh tertanggung/Pemohon sehingga penanggung/Termohon wajib membayarkan uang pertanggungan kepada tertanggung/Pemohon.
Oleh karena itu, para pihak dalam perjanjian asuransi angkutan laut lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Selain karena diberikan kebebasan untuk menentukan jumlah majelis arbiter, penunjukan anggota majelis arbiter, bahkan hingga jadwal persidangan.
Contohnya jika memang upaya negosiasi bisa ditempuh dalam waktu cepat, maka hasil dari negosiasi tersebut akan menjadi putusan arbitrase yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Kalaupun negosiasi gagal dan perkara dilanjutkan, jangka waktu pemeriksaan perkara di arbitrase pun dapat diselesaikan dengan jangka waktu lebih cepat dari pengadilan konvensional.
ADVERTISEMENT
IV. PENUTUP
Pengusaha atau pemilik angkutan laut penting untuk mengutamakan penggunaan asuransi angkutan laut. Sebab dengan adanya asuransi angkutan laut, beban pertanggungjawaban pengusaha atau pemilik angkutan laut dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi. Namun pertanggungjawaban tersebut harus sesuai jumlah besaran kerugian yang diderita oleh pengusaha atau pemilik angkutan laut.
Prinsip pelaksanaan asuransi angkutan laut harus didasarkan pada empat asas yaitu asas identitas, asas kepentingan, asas itikad baik, dan asas subrogasi. Sedangkan kondisi pertanggungan asuransi angkutan laut pada umumnya adalah terhadap kondisi kebakaran atau ledakan angkutan laut, tabrakan dengan benda atau angkutan laut lain, kerusakan akibat air laut, pembongkaran barang di pelabuhan darurat, dan lain-lain.
Pada umumnya sengketa asuransi angkutan laut di Indonesia adalah terkait pembayaran klaim asuransi, dalam hal ini dapat berupa tidak dilakukannya pembayaran klaim asuransi oleh penanggung, kekurangan bayar klaim asuransi oleh penanggung, dan/atau ditolaknya permohonan klaim tertanggung oleh penanggung.
ADVERTISEMENT
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga arbitrase, penanggung dan tertanggung harus mencantumkan klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi angkutan laut. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memberikan kemudahan untuk para pihak karena seluruh hukum acara dan majelis arbiter bisa disepakati oleh para pihak, serta jangka waktu pemeriksaan sengketanya pun jauh lebih cepat dibandingkan pengadilan konvensional.