Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lestarikan Budaya Betawi Melalui Santapan Lebaran
15 Mei 2022 6:51 WIB
Tulisan dari Ririn Ariana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Raya Idul Fitri atau lebaran terasa kurang tanpa ketupat, rendang, dan opor ayam. Belum selesai khotbah disuarakan, musik keroncong mulai mengalun dari perut seorang jamaah di pelataran masjid kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Aroma opor ayam yang menguar ke seluruh ruangan rumahnya sejak malam takbir terbayang begitu saja di kepalanya.
ADVERTISEMENT
“Tadi ingin pulang duluan, soalnya kebayang opor ayam buatan Mama. Soalnya tadi pagi belum sempat makan karena bangun kesiangan,” ucap Syahrul dengan tawa di akhir kalimatnya.
Bagi Syahrul, masakan ibunya adalah yang terbaik sebelum memulai tradisi keliling untuk menjalin tali persaudaraan sekaligus berbagi bingkisan dengan sanak saudara. Bingkisan yang diberikan bermacam-macam, umumnya berisi kue kaleng, kue kering, sirup, hingga satu kotak teh ataupun gula.
Namun, Syahrul menuturkan, ibunya tidak menjadikan kue kering yang merupakan campuran budaya Eropa sebagai isi bingkisan untuk dibagikan kepada sanak saudara. Nurhaya, ibu Syahrul, seorang warga asli betawi sekaligus pemilik warung makan di kawasan Ciganjur akan menyajikan manisan kolang-kaling, tape uli, wajik, hingga dodol betawi untuk dibagikan kepada saudara.
ADVERTISEMENT
“Kalau lebaran, gua kaga bikin kue nastar atau kastengel, tapi tetap beli satu atau dua toples. Kalau kolang-kaling sama tape uli, gua bikin sendiri. ” Ujar Nurhaya dengan logat betawi yang khas.
Hari itu adalah hari kedua lebaran, Nurhaya baru saja kembali dari rumah saudaranya di Pedurenan, Jakarta Selatan.
“Gua bikin banyak banget itu, tadi baru gua bawa ke Pedurenan. Ceritanya ada open house, sudare-sudare pada dateng, kakak, adek, encang, encing, anak, cucu, ada kali totalnya dua ratus orang. Di dalam masih ada sisa dikit, buat kalau ada tamu mau icip-icip,” ujarnya lagi sambil merapikan rambut yang keluar dari turban khas orang tua.
Menurut perempuan berusia 63 tahun itu, kolang-kaling dan tape uli sangat dicari oleh masyarakat betawi. Masalahnya, para orang tua sudah tidak sanggup menumbuk beras ketan sampai menghasilkan tape uli yang lembut ketika masuk ke mulut. Sedangkan anak muda tidak terlalu suka menyulitkan diri dengan membuat hidangan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Dulu, neneknya si Syahrul yang di Pasar Minggu kan demen banget bikin tape uli, sampai pas sudah sakit-sakitan juga tetep aja pengen bikin, Pas neneknya si Syahrul kaga ada, ya kaga ada yang bikin lagi. Padahal kan makanan begini juga budaye ye. Kalo gua si emang udeh dari dulu bikin beginian, ngelanjutin Emak juga,” lanjut Nurhaya.
Jika saat puasa kolang-kaling disajikan sebagai pelengkap dalam semangkuk kolak atau es campur. Nurhaya akan mengolah kolang-kaling untuk disajikan secara tunggal sebagai manisan pada hari raya. Warnanya yang cerah sangat cocok dengan rasa manis dan dingin untuk dinikmati siang hari.
Membuatnya pun tidak sulit. Kolang-kaling cukup dicuci dengan air mengalir, lalu direndam dalam air beras, kemudian direbus dengan daun pandan dan daun jeruk. Setelahnya, kolang-kaling ditiriskan lalu dicampur dengan gula ataupun sirup dan didiamkan di dalam kulkas sebelum disantap.
ADVERTISEMENT
Melestarikan budaya sebenarnya bukan hal yang sulit, melalui makanan ringan salah satunya. Seperti Nurhaya yang menyajikan makanan ringan khas Betawi saat lebaran.