Nasib Suram Budak Prostitusi di Jantung Industri Seks Pompeii

7 Juli 2017 14:11 WIB
ADVERTISEMENT
Salve, lucru!
Sebuah coretan yang berarti “Selamat datang, uang” terukir di lantai suatu bangunan ketika penggalian kota Pompeii dilaksanakan sejak 1748 --1.669 tahun setelah kota itu terpanggang dan terkubur debu abu vulkanik akibat letusan Gunung Vesuvius pada 79 Masehi. Penemuan itu diceritakan oleh Dick dan Bill Lynam dalam buku berjudul Footloose Pilgrims: A Journal of Moped Travels Through Europe.
ADVERTISEMENT
Masa lalu Pompeii tercatat gemilang. Ia menjadi salah satu kota penting pada zaman Romawi Kuno, megah dan mewah dengan segala gemerlapnya.
Rumah-rumah mewah dengan kebun luas, kamar mandi megah, serta kehidupan seks dan bisnis prostitusi disebut Gregory S. Aldrete dalam buku Daily Life in Roman City sebagai pleasure of life di kota kuno ini.
Aldrete menuliskan dalam bukunya bahwa bisnis prostitusi zaman Romawi Kuno adalah bisnis legal. Dengan syarat, semua rumah bordil harus terdaftar dan membayar pajak setiap hari.
Rumah-rumah bordil itu baru boleh buka pukul 15.00 karena hubungan seks dilarang pada siang hari. Mereka yang melakukan hubungan seks saat matahari masih bersinar terang dicap imoral.
Menyoal bisnis prostitusi, Pompeii boleh dibilang rajanya. The Independent mencatat, dalam dua minggu, bisnis esek-esek di kota ini bisa menyumbang hingga 200.000 Euro, kira-kira setara Rp 3 miliar.
ADVERTISEMENT
Diperkirakan setidaknya terdapat 35 sampai 41 rumah bordil, tidak termasuk pelacur jalanan yang menawarkan berbagai ‘layanan’ dengan harga lebih murah di kota kecil seluas 67 hektare itu.
Banyak pendatang dari luar kota, mulai orang kaya bahkan budak, menjajal berbagai layanan menggiurkan yang ditawarkan.
“Legenda bahwa Pompeii kota mesum adalah benar, sekaligus tidak benar,” kata Kepala Arkeolog Pompeii, Pietro Giovanni Guzzo seperti dikutip dari Spiegel.
Saat ekskavasi atau penggalian bangunan yang diprediksi sebagai rumah bordil pada 1862, terungkap gambaran dunia prostitusi kala itu.
Penentuan apakah satu bangunan ialah rumah bordil atau tidak, harus sangat hati-hati. Pasalnya, fresko atau mural erotis menjadi hiasan yang lumrah di dinding-dinding bangunan. Patung atau ukiran berbentuk phallus atau alat kelamin jantan yang begitu diagungkan, merupakan dekorasi yang umum ditemukan.
Rumah bordil di Pompeii. (Foto: Pinterest/Kio Aoyagi)
Lupanare Grande. Ini rumah bordil paling terkenal dari reruntuhan Pompeii. Diambil dari kata lupanar yang berarti rumah bordil, sedangkan para pekerja seks di dalamnya disebut lupa (serigala betina).
ADVERTISEMENT
Berlokasi di persimpangan Vico del Lupanare dan Vico del Balcone Pensile, rumah bordil itu hanya berjarak sekitar dua blok dari alun-alun kota.
Lupanare terdiri dari dua lantai dan memiliki 10 kamar di dalamnya, masing-masing 5 kamar di tiap lantai. Ukuran kamarnya sempit, tak berjendela, dan hanya memuat tempat tidur batu dengan matras tipis.
Jejak alas kaki ditemukan dalam bangunan yang penuh dihiasi fresko erotis itu, menandakan pengunjung bahkan tak melepas sandal saat sedang bersama PSK.
Di atas tirai yang menutupi tiap kamar, terdapat gambar-gambar erotis berbagai posisi seks yang diprediksi menjadi menu atau papan iklan layanan yang ditawarkan. PSK yang sebagian besar adalah budak dari Yunani hingga Asia, dikurung dalam satu tempat.
ADVERTISEMENT
“Kamar sesak, tidak nyaman, pengap, dan menghitam karena jelaga lilin tidak menunjukan kenikmatan yang ditawarkan,” tulis sebuah jurnal arkeologi Jerman, Abenteuer Archäologie, menggambarkan buruknya tempat prostitusi itu.
Lupanare dipastikan bukan rumah bordil yang mewah. Dari catatan-catatan di dinding yang ditemukan oleh para arkeolog, terkuak betapa murahnya harga yang diterapkan: seharga dua potong roti atau setengah liter wine.
Itu pun dikantongi lebih dulu oleh mucikari. Sementara yang bisa diperoleh para pekerja seks, entah berapa. Itu pun belum dipotong pajak.
Hidup dalam ruang sesak dan pengap dengan upah murah terpaksa dilakoni karena mereka tak memiliki dan mendapat pelajaran keahlian lain. Para budak dan perempuan kelas menengah bawah itu tidak punya banyak pilihan.
ADVERTISEMENT
Para arkeolog setidaknya menemukan 100 grafiti berisi tulisan pelanggan Lupanare. Menurut para arkeolog, para pelanggan kebanyakan adalah orang Romawi biasa. Berbeda dengan orang kaya dan pejabat yang bisa dengan mudah mengambil selir.
Pada salah satu grafiti tertulis “Aku mengacaukan banyak perempuan di sini”. Kemudian prasasti lain bertulisan “Pada tanggal 15 Juni, Hermeros mengacau di sini bersama Phileterus dan Caphisus”.
Berada di kota industri seks paling terkenal seantero Mediterania, kehidupan para pekerja seks komersial itu justru muram, jauh dari kesan erotis.
Editor video: Cornelius Bintang
"Hidup dan Mati" Kota Pompeii (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)