Sepenggal Kisah Maestro Gandrung Pasca-G30S

1 Oktober 2017 14:17 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Rina Nurjanah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Periode tahun 1965-1966 menjadi masa suram bagi bangsa Indonesia. Pada tahun itu, setelah terjadi peristiwa G30S yang masih berkabut misteri, banyak orang dituduh terlibat PKI lalu dihukum, bahkan tanpa pengadilan terlebih dulu.
ADVERTISEMENT
Ketakutan yang dibangun pada masa itu, bahkan dirawat hingga kini, masih terbayang jelas di ingatan Temu Mesti atau Mak Temu, maestro Tari Gandrung asal Banyuwangi.
Wanita kelahiran 20 April 1953 ini terpaksa berhenti sekolah di kelas lima. Ia masih berusia 12 tahun saat itu dan mulai menari-nari.
"Ibu (sekolah) sampai kelas lima. (Kelas) enam, tahun '65, saya berhenti. Gestok, Gestapu. Saya berhenti (sekolah). Banyak orang disembelih," cerita Mak Temu sambil merinding dalam perbincangan dengan kumparan akhir Agustus lalu di Desa Kemiren.
Ia terpaksa berhenti sekolah apalagi gurunya lenyap setelah dijemput pasukan Gagak Hitam.
Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: YouTube)
zoom-in-whitePerbesar
Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: YouTube)
Pasukan Gagak Hitam, menurut Hanif Risa Mustafa dalam tesis Pascasarjana Program Studi Sejarah UGM berjudul “Konflik Elit dan Kekerasan Arus Bawah: Pergolakan Politik 1965 di Banyuwangi”, merupakan pasukan gabungan masyarakat sipil yang memiliki keahlian bela diri.
ADVERTISEMENT
Pasukan ini melakukan pengejaran dan pembunuhan bagi mereka yang terkait dan terlibat langsung dalam Partai Komunis Indonesia. Mereka berada di garda depan dalam mengeksekusi orang-orang yang dituduh PKI.
Di masa itu juga banyak penari Gandrung yang menghilang. Salah satunya terjadi pada Ngatini yang menghilang pada dan tak pernah kembali.
"Ngatini tidak bisa membaca dan menulis, tetapi keikutsertaannya dalam tari tradisional yang memiliki gerakan bebas tanpa harus melalui persetujuan negara, membuat rezim penguasa saat itu menuduhnya komunis dan Gerwani," tulis Rachmi Diyah Larasati dalam buku Neoliberalism and Global Theatres Performance Permutations yang diterbitkan oleh International Federation of Theatre Research.
Dalam tulisannya Rachmi menuturkan kisah Poniti, putri dari Ngatini yang hilang, dan menunjukkan bagaimana Tari Gandrung berubah setelah periode tragedi 1965-1966 terjadi. Gandrung yang pada mulanya memiliki gerakan yang bebas berubah jadi memiliki pakem-pakem yang diizinkan negara.
Pementasan Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pementasan Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Seni pertunjukan rakyat semacam Gandrung yang tak memiliki aturan ini dianggap jorok. Gandrung juga menjadi salah satu kesenian Banyuwangi yang terstigmatisasi, seperti halnya lagu rakyat Genjer-Genjer.
ADVERTISEMENT
Tulisan berjudul Stigmatisasi terhadap 3 Jenis Seni Pertunjukan di Banyuwangi yang terbit dalam Jurnal Kajian Seni UGM 2015 menulis, Gandrung diberi stigma negatif sebagai tari erotis. Hal itulah yang membuat Gandrung dianggap butuh penyesuaian.
Gandrung, yang dipercaya sebagai kesenian tertua di Banyuwangi, dalam bahasa Jawa berarti kedanan, kesengsem (tergila-gila atau cinta habis-habisan). Tarian yang berasal dari masyarakat agraris Banyuwangi ini merupakan perwujudan rasa syukur terhadap Dewi Sri yang telah memberi kesuburan pada tanah pertanian.
Tari Gandrung Banyuwangi di Istana Negara (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Tari Gandrung Banyuwangi di Istana Negara (Foto: Dok. Istimewa)
Mak Temu sendiri menceritakan bahwa tari Gandrung yang dipelajarinya disebut sebagai Gandrung Terob dengan gerakan yang bebas mengikuti ketukan kendang. Sementara tari Gandrung sekarang yang banyak dipelajari adalah Gandrung Kreasi yang memiliki pakem-pakem gerakan.
ADVERTISEMENT
Rachmi dalam tulisannya menjelaskan pada periode 1966-1970 banyak utusan negara dikirim ke desa-desa untuk "menyaring" gerakan tari agar sesuai dengan pedoman nasional. Dalam periode ini negara melakukan proyek rekonstruksi budaya besar-besaran. Pedoman nasional diterapkan dalam pakem gerakan tubuh hingga kostum.
Lebih lanjut ia menuliskan, "rezim Soeharto percaya baik secara sosial atau politik, membunuh dan memenjarakan orang-orang tanpa proses hukum, menstigmatisasi mereka sebagai anggota Partai Komunis atau simpatisan dan menolak hak mereka, seperti akses terhadap pendidikan, kartu identitas, atau pekerjaan resmi, adalah tindakan yang benar."
Dalam banyak kasus, pemerintah juga kemudian melarang mereka untuk mengambil bagian dalam praktik budaya tradisional termasuk menari melalui penerapan strategi pengawasan, penyensoran yang konstan, dan berbagai bentuk hukuman di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Meskipun telah mengalami sedikit banyak penyesuaian, kini kita bisa menikmati tari Gandrung secara lebih leluasa. Namun, kekerasan yang terjadi di masa itu, baik kekerasan fisik, sosial, hingga budaya, melahirkan ketakutan yang hingga kini masih menghantui.
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)
zoom-in-whitePerbesar
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)