Konten dari Pengguna

Realitas Sosial dalam Naskah Drama "Awal dan Mira" Karya Utuy Tatang Sotani

Rina Zulvia
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya memiliki hobi membaca, menulis, dan bernyanyi.
23 Juni 2024 14:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rina Zulvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover buku Awal dam Mira yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Cover buku Awal dam Mira yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Kepulan asap memenuhi tinggi langit, membawa aroma mesiu yang masih menguar di udara. Deru desingan peluru telah mereda, menyisakan kesunyian mencekam yang melingkupi puing-puing bangunan. Perang telah usai, namun jejak-jejaknya masih membayang di setiap sudut. Di balik tembok-tembok berlubang tembakan, kehidupan mulai kembali. Wajah-wajah lelah dan lusuh menengok ke luar dengan hati-hati, seolah belum yakin bahwa masa-masa kelam itu benar-benar telah berlalu. Rumah-rumah yang hancur harus dibangun kembali dan luka-luka yang mendalam di hati harus diobati secara perlahan. ‘Awal dan Mira’ adalah sebuah naskah drama karya Utuy Tatang Sotani yang mengisahkan fragmen kehidupan yang mengangkat realitas sosial dan kemanusiaan masa pascaperang kemerdekaan yang berhasil menggambarkan dampak kejamnya revolusi pada orang-orang biasa.
ADVERTISEMENT
Naskah drama Awal dan Mira terbit pertama kali pada tahun 1951. Menceritakan tentang kehidupan manusia-manusia yang cacat akibat perang revolusi sehingga menjadi badut hinaan manusia-manusia lain yang tak ikut berperang tapi mendapat keuntungan lebih banyak. Naskah drama ini juga mengisahkan tentang perjuangan seorang pemuda bernama Awal yang ingin merebut cinta Mira seorang gadis cantik pemilik kedai kopi. Kisah cinta mereka penuh dengan rintangan, bukan hanya karena perbedaan kelas, tetapi lebih pada kenyataan fisik si gadis. Kenyataan yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun, termasuk pemuda yang mencintainya.
Cerita ini berlatar kehidupan di perkampungan yang jauh dari keramaian. Tokoh yang digambarkan dalam cerita ini adalah golongan kelas menengah ke bawah yang belum dapat merasakan kemerdekaan dan harus memperjuangkan kemerdekaannya sendiri. Tentunya, dengan kecacatan fisik yang dialami Mira dan keterbatasan keadaan, memerdekakan diri cukuplah sulit. Hal ini digambarkan oleh Mira dan Ibunya yang harus bertahan hidup dengan membangun warung kopi di depan rumahnya.
ADVERTISEMENT
Realitas sosial yang tercermin dalam naskah drama “Awal dan Mira”
Realitas-realitas sosial di bawah ini adalah gambaran yang tercermin dalam naskah drama Awal dan Mira tentang kondisi masyarakat Indonesia pada era 1950-an.
Kesenjangan kelas sosial:
(Kutipan dalam buku halaman 7)
Awal: “Saya mau bicara dengan Mira sendiri. Lain, lain dari
omongan orang lain yang akan saya katakan padanya”.
Ibu Mira: “Tapi, De...Mira...anak Ibu itu, manusia biasa saja. Jangan Aden mengharapkan yang bukan-bukan dari dia”.
Awal: “Siapa pula yang mengharapkan yang bukan-bukan? Saya tidak mengharapkan yang bukan-bukan dari Mira. Harapan saya dari Mira adalah harapan laki-laki sewajarnya yang menginginkan supaya perempuan itu jadi kawan hidup laki-laki. Itu harapan saya. Dan harapan itu tidak bukan-bukan”.
ADVERTISEMENT
Ibu Mira: “Maksud Ibu, Den, Mira itu bukan perempuan dari golongan atas. Dia hanya tukang kopi”.
Kutipan tersebut menggambarkan hubungan antara Awal, seorang pemuda bangsawan, dengan Mira, gadis dari golongan kelas menengah ke bawah. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan status sosial yang masih kuat di masyarakat.
Dampak perang kemerdekaan:
(Kutipan dalam buku halaman 54)
"inilah kenyataanku. Kakiku buntung. Buntung karena peperangan”.
Pada kutipan tersebut, Mira digambarkan sebagai korban perang kemerdekaan yang mengalami cacat pada kakinya. Hal ini menggambarkan realitas sosial tentang dampak pascaperang terhadap masyarakat sipil.
Kritik terhadap keadaan sosial:
(Kutipan dalam buku halaman 6)
"...dari itu," kata suara perempuan nyaring lantang yang keluar dari radio, "adalah sudah menjadi kewajiban kita kaum wanita, supaya di zaman sekarang ini, setelah kita banyak kehilangan sebagai akibat peperangan, kita kaum wanita mesti lebih giat berjuang berdampingan dengan kaum laki-laki guna membangun masyarakat damai di tanah air kita Indonesia yang indah, dan molek ini. Marilah kita menyingsingkan lengan baju kita...."
ADVERTISEMENT
"Omong kosong semuanya juga!" jawabnya, "Omongan badut. Hh, berjuang berdampingan- tanah air yang indah dan molek! Enak saja bicara. Dia sendiri tidak akan tahu apa yang dikatakannya. Asal saja berbunyi."
Drama ini mengandung kritik terhadap keadaan sosial pada masa itu, terutama terkait persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh revolusi.
Stigma terhadap disabilitas:
(Kutipan dalam buku halaman 54)
“Mira bangkit berdiri, terus berjalan keluar kedai, mendapatkan Awal. Berjalan dengan menggunakan kruk pada kedua ketiaknya”.
"inilah kenyataanku. Kakiku buntung. Buntung karena peperangan. Tetapi lantaran inilah, Mas, lantaran ke atas aku cantik dan ke bawah aku cacat, selama ini aku bagimu merupakan teka-teki. Tetapi sekarang...."
Sikap Mira yang menyembunyikan kondisi kakinya menunjukkan adanya stigma sosial terhadap penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Sensitivitas politik pada masa itu:
(sumber: ensiklopedia sastra indonesia kemendikbud)
Terdapat fakta bahwa drama ini dilarang menunjukkan adanya sensitivitas politik dan upaya pemerintah untuk mengontrol narasi pasca peristiwa G30S.
Drama Awal dan Mira berdasarkan Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 1381/1965, tanggal 30 November 1965, dinyatakan sebagai salah satu buku terlarang dengan alasan untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas pengaruh dari 'Gerakan 30 September'.
Rina Zulvia, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.