DJP Tidak Perlu Melihat TikTok Milikmu

Rina Anita Indiana
Universitas Bhayangkara Surabaya. Brevet ABC Perpajakan. Bersertifikat Konsultan Pajak B. Kuasa Pengadilan Pajak.
Konten dari Pengguna
15 Agustus 2021 16:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rina Anita Indiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unsplash
ADVERTISEMENT
Berawal dari tren di Tiktok dengan backsound, "Ganteng, Review Saldonya Dong!". Sebuah akun memperlihatkan saldo ATM sebesar 11 triliun rupiah. Warga Tiktok pun langsung bereaksi. Akun itu segera mengklarifikasi. Bukan saldonya ternyata. Itu saldo pelanggannya.
ADVERTISEMENT
Menurut perkiraan saya malah angka itu editan. Terlihat beberapa angka tampak miring. Selain dari font yang tampak berbeda, saya juga cukup sanksi dengan nominalnya. Kasus Akidi Tio saja nilainya “hanya” 2 triliun. Nilai 11 triliun setara dengan APBD 2020 untuk planet Bekasi dan planet Surabaya sekaligus.
Namun demikian saya tentu saja tidak bisa mengatakan bahwa pasti saldonya fake. Orang yang punya uang sebanyak itu mungkin tidak banyak, tapi mungkin juga ada. Dan kalau orang yang sedikit itu ternyata ingin pamer seperti rata-rata manusia, tentu boleh saja.
Komentar mencolok atas unggahan 11 triliun datang dari akun Ditjen Pajak RI (DJP). Sedikit tapi mengena di hati. “Gantengnyaaaa.”
Komentar ini pun viral dan dikomen kembali lebih dari 5.000 kali. Bahkan diviralkan juga oleh Lambe Turah Official, “Admin Ditjen Pajak aktif banget ya bund.”
ADVERTISEMENT
Beberapa akun juga menyoroti DJP yang rajin menyatroni wajib pajak yang show-off kekayaan di medsos. Namun demikian, apakah memang DJP mengambil data postingan wajib pajak tersebut untuk menarik pajak? Mungkin iya tapi seharusnya tidak perlu.
Sejak tahun 2017, data pemilik rekening bank dengan saldo di atas 1 miliar sudah masuk ke meja DJP secara berkala. Tenang saja (atau malah jangan tenang, ya?) dalam senyap DJP selalu memegang data. Komen DJP itu sebenarnya untuk menciptakan “tubir-tubir” saja. Atau untuk menegaskan bahwa DJP melakukan pengawasan. “I watch you!”
Tidak cuma saldo di bank, DJP juga mengantongi data dari instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain. Lengkap. Ada juga Automatic Exchange of Information. Tinggal mau dari mana bergerak, dan tinggal siapa yang kena giliran disasar.
ADVERTISEMENT
Mari kita bahas mengenai simpanan 11 triliun pada kasus di atas. Misalnya ini benar-benar ada, dan misalnya ini ‘ditemukan’ DJP, apakah jadi muncul tagihan pajak? Mungkin iya tapi tidak selalu.
Bank pasti memotong PPh Final sebesar 20% dari bunga tabungan di bank. Maka bunga bank sudah disucikan dengan potong pajak itu. Namun tidak selesai sampai di situ. DJP akan memastikan asal uang itu darimana. Apakah saat mendapatkan uang itu dulu sudah dipajaki?
Perlu dicatat atau dibaca ulang agar membekas di hati, semua penghasilan kena pajak. Penghasilan itu bisa dari gaji, honor menjadi pembicara, hadiah lotre, juga bonus ikut olimpiade. Bahkan bila saat menggali sumur menemukan uang 11 triliun juga harus dipajaki. Uang halal dipajaki, uang haram juga dipajaki. DJP tidak mempermasalahkan asal uang. Asal bayarlah pajak penghasilannya.
ADVERTISEMENT
Pajak itu sesuatu yang dibenci. Jarang sekali orang yang sukarela mengiris uangnya untuk disetorkan demi pajak. Karena merasa dibenci, DJP mencari cara untuk mengorek data yang membuat kita kena skak-mat tidak bisa mengelak. Salah satu caranya dengan meminta data pihak lain yang saya sebutkan di atas tadi.
Sebenarnya ada hal yang digali DJP dari status media sosial kita. Ilustrasinya begini, uang dari sumur tadi bisa saja tidak disimpan di bank, tetapi untuk mengajak keluarga pacar ke Hawaii. Mungkin saja suasana pantai seperti di film Moana membuat calon mertua luluh, kan?
Saat di Hawai pasti langsung memotret dan selfie bersama. “Alhamdulillah sesuatu. Akhirnya bisa mewujudkan impian calon mertua.”
Di foto ada berjejer-jejer 20 orang, ibunya, bapaknya, adiknya, adik angkatnya, pakliknya, buliknya, mantan pacarnya. Nah di situ DJP bisa mengendus dengan mudah berapa biaya yang dikeluarkan. Tinggal mencocokkan dengan jejak imigrasi, manuskrip penerbangan, lalu tinggal dihitung biayanya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan terakhir adalah uangnya dari mana? Apakah sudah dibayar pajak penghasilannya?
Tidak ada yang tahu bahwa seseorang baru saja menemukan uang 11 triliun di sumur. Seseorang itu sendiri yang memberi tahu DJP. Iklim medsos yang begitu terbuka saat ini di samping ada kelebihannya ternyata juga ada kekurangannya. Di satu sisi bisa membikin orang lain jadi iri, dan mungkin memang ini tujuan saat posting. Namun di lain sisi juga membikin DJP tahu isi brankas kita. Sesuatu yang mungkin saja kita hindari.
Kantor pajak berpegang pada rumus sederhana yaitu delta penghasilan. Bahwa penghasilan adalah konsumsi plus penambahan harta. Maka DJP mengintai kalian lewat lubang senapan yang itu-itu saja.
Kembali pada tren pamer saldo di Tiktok, sama sekali tidak ada larangan. Apalagi kalau pajaknya sudah dihitung, disetor dan dilapor dengan benar, Kalau perlu sekalian posting juga bukti sudah setor pajaknya, lalu langsung saja tag Ditjen Pajak RI. Dengan begitu tidak perlu "minta bantuan" orang lain untuk tag DJP.
ADVERTISEMENT
Kalau bersih kenapa risih. Kalau ingin viral tapi benar, ya bayar.