news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kucing Liar, Manusia, dan Kebaikan Kita

Rina Anita Indiana
Universitas Bhayangkara Surabaya. Brevet ABC Perpajakan. Bersertifikat Konsultan Pajak B. Kuasa Pengadilan Pajak.
Konten dari Pengguna
17 September 2021 12:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rina Anita Indiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
sumber : Unsplash
ADVERTISEMENT
Saya sebenarnya cat hater. Apalagi yang jenisnya kucing kampung atau kucing liar. Dulu sama sekali tidak ada rasa bila melihat makhluk tidak bertuan yang ada di mana-mana itu.
ADVERTISEMENT
Kadang gemas juga saat saya berangkat kerja dia tidur malas malasan. Tidurnya pun kadang di atas keset di depan pintu rumah, menghalangi langkah saya.
Di kantor saya juga lihat kucing yang berjalan-jalan santai tanpa beban. Bayangkan bagaimana perasaan saya yang mungkin dalam satu hari punya sepuluh to do list yang tidak pernah berkurang malah makin bertambah. Aduh, saya betul-betul tidak suka. Saya sampai browsing apakah ada penyakit mental cemburu pada kucing. Kalau ada mungkin itu saya.
Paling gemas saat di warung makan, kucing ada yang mengeong-ngeong di bawah meja, seolah minta jatahnya ditunaikan dengan segera.
Suatu hari seekor anak kucing kecil datang ke rumah saya. Warnanya putih dan kuning. Putihnya seperti salju. Kuningnya kecoklatan. Bulunya halus, tebal dan panjang. Mungkin itu anak kucing blasteran. Entah saya tidak tahu jenis-jenis kucing. Itu kucing tidak bertuan.
ADVERTISEMENT
Kucing itu mengeongnya lucu, pelan. Tidak berisik dan ceriwis seperti kucing kecil lainnya. Selebihnya dia bergelung di kaki saya. Kadang bermain dengan ekornya. Kadang diam saja melihat saya sambil memamerkan matanya yang bulat dan cantik. Ini kucing pertama yang saya pandang detail. Coba saya usap-usap bulunya lalu saya gendong. Jelas baru kali itu saya melihat kucing dengan rasa agak suka.
Saya belikan makanan kering. Entahlah seharusnya kucing makan apa. Saya amati lagi. Ya, itulah kucing. Dia tidak bisa memproduksi makanan. Dia tidak belajar, tidak kuliah, tidak bekerja. Dia makan dari kasih sayang kita.
Kucing liar kadang memburu tikus, kadang makan burung pipit yang jatuh dari sarangnya, kadang makan makanan sisa. Tapi yang paling utama sebenarnya dia menunggu kita memberinya makan.
ADVERTISEMENT
Nasib kucing tentu tidak sama, ada yang seperti ratu, ada yang dirawat ala kadarnya. Ada juga kucing yang tidak disayangi siapa-siapa. Jangankan disayang, dia lewat pun sudah ditendang. Saya malah pernah melihat kulit kucing yang melepuh karena disiram minyak. Mungkin kucing itu lapar lalu mencuri makanan. Saya bergidig. Manusia kadang bisa luar biasa kejamnya.
Saya punya teman yang selalu membawa makanan kucing di tasnya. Kalau ada kucing liar di jalan dia beri makan. Katanya, “Kita manusia bisa mencari makan. Sedangkan kucing, kalau tidak kita beri makan apa bisa mencari makan sendiri. Kadang aku sedih melihat kucing mengeong tapi aku sedang tidak bawa makanan.”
Dulu saya menganggap sikapnya aneh. Sekarang saya cukup paham.
ADVERTISEMENT
Saat ini, melihat kucing yang bergelung manja di teras saya sudah tidak gemas lagi. Kucing saja melihat saya bekerja dan bebas makan yang saya inginkan dia tidak peduli, kenapa saya yang justru iri. Saya ingin suatu saat juga menyimpan sebotol kecil makanan kucing di tas saya. Tapi belum. Ini masih wacana. Untuk benci kucing memang sudah tidak lagi. Tapi untuk sangat menyayangi seperti teman saya mungkin perlu proses.
Yang saya resapi sekarang adalah bahwa kucing adalah makhluk-Nya. Mengasihinya itu sudah menjadi kewajiban kita. Sama dengan kebaikan pada sesama manusia, kucing juga seharusnya mendapat kebaikan kita.
Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular.