Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Melihat Penggilingan Bakso di Pasar Tradisional
28 Juli 2021 17:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rina Anita Indiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Peristiwa itu saya alami lima tahun lalu. Namun, rasanya seperti masih segar dalam ingatan seperti saat detik-detik diputus oleh mantan. Bahwa sebenarnya proses menggiling bakso di pasar itu sangat tidak higienis.
ADVERTISEMENT
Hari raya Idul Adha selalu ditandai dengan asap bakaran sate yang mengepul. Itu bila kami mendapat daging kambing. Kalau pak RT membagikan daging sapi maka sate juga jadinya. Namun, sate sapi mungkin seharusnya tidak bernama sate.
Kala itu daging berdatangan sampai freezer saya over capacity. Disate semua dan seketika jelas bukan cerita indah sebab perut pasti ingin nuansa berbeda. Akhirnya muncul ide baru, bagaimana kalau dibikin bakso.
Ternyata ada orang yang ribuan kali makan bakso, tapi tak pernah sekalipun membayangkan seperti apa proses membikin bakso. Dan orang itu tidak mungkin saya ajak berkenalan.
Betapa pun peliknya, tapi gagasan tentang bakso yang kenyal, penuh daging, sehat karena less-vetsin menggoda juga.
Setelah googling di tetangga akhirnya saya meluncur ke pasar. Info valid mengatakan penggilingan daging ada di pojok belakang. Cukup mudah dicari walau tanpa google map. Bila petunjuknya mengatakan timur, tenggara, selatan, barat daya, mungkin saya tersesat.
ADVERTISEMENT
Ada tiga tempat penggilingan daging di pasar. Semua antrean sudah seperti ular naga yang panjangnya bukan kepalang.
Saya "membebek" diantrean yang paling pendek. Itupun mungkin sudah ada tujuh sampai delapan orang di depan saya. Saya perhatikan mereka mengunjungi sebuah toko dulu untuk membeli tepung.
Aneh sekali, toko tepung itu banyak tepungnya. Di atas menjuntai bumbu-bumbu masak siap gunting. Saya menyampaikan bahwa ingin membuat bakso yang berkarakteristik enak. Penjual lalu menimbang sedikit tepung dari sebuah karung, mengambil garam krosok, menggunting sebungkus lada bubuk, dan beberapa jenis vetsin yang judulnya lain-lain.
Saya kontak menjerit, “Buuu, tidak usah pakai ituuu.”
Ibu penjual malah sewot. Dia mengatakan, “La ya nggak enak!”
Lalu dia dengan semena-mena menuangkan semua bumbu beraneka vetsin bermacam merk itu di atas tepung. Saya menunduk sedih. Mimpi makan bakso less-vetsin seketika pupus. Malah bingung bagaimana jadinya kalau vetsin-vetsin itu berebut perhatian dalam mengkamuflase lidah saya.
ADVERTISEMENT
Ibu penjual menambahkan beberapa potong bawang putih dan sebutir telur. Lalu meminta saya mengantre. Dan saya pun mengantre.
Suara mesin penggiling menderu seperti helikopter. Air dari kran meluber dari timba. Merendam juga kaki penggilingnya yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Saya heran pada ketahanan kakinya. Dengan mode seperti itu mungkin saya akan kena kutu air dalam dua hari.
Lapak penggilingan daging sebenarnya berdinding putih. Namun, entah kenapa warnanya sekarang terlihat seperti karya seni tingkat tinggi yang natural. Lebih banyak hitamnya daripada putihnya. Apakah itu yang disebut dinding kotor dan berlumut?
Daging yang saya bawa dicacah pada mesin kecil bersama es batu. Lalu masuk pada mangkuk sangat besar dari besi yang diputar oleh mesin.
ADVERTISEMENT
Bapak penggiling membawa kapi kecil di tangannya lalu sibuk mengendalikan laju daging yang dilumat mesin dengan gerakan memutar. Pak penggiling sama sekali tidak memakai sarung tangan. Keringat mengembun di seluruh tangannnya. Ulangi, tangannya mengembun oleh keringat.
Sesekali daging keluar dari mangkuk besi dan jatuh ke meja yang menghitam. Dengan santai pak penggiling menyerok daging 'keluar kandang' itu dan mengembalikan pada mangkuk penggiling. Saya bergidig.
Proses pengendalian daging ini membuat daging menyiprat di tangan sampai ke siku. Kalau dirasa daging sudah terlalu banyak menempel, pak penggiling menyerut daging di tangannya dan mengembalikan pada mangkuk besi. Ya betul. Daging di tangan yang mengembun dengan keringat itu.
Semua pemandangan itu betul-betul membuat saya ingin terbang saja. Baksonya untuk yang lain. Saya meyerah. Namun melihat semua orang yang di belakang saya tetap mengantre dengan tabah, juga orang-orang yang sudah selesai menggiling juga pasti mendapatkan treatment yang sama, saya mencoba kuat.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pak penggiling menyerahkan seplastik daging giling kepada saya. Tak lupa menyerut lagi daging yang masih menempel di sekujur tangannya. Menyerut, lalu memasukkan ke kantong plastik.
Sampai di rumah, saya tidak berencana menceritakan apa yang saya lihat tadi kepada siapapun. Di depan kompor yang tersambung LPG sehingga menghasilkan air yang bergolak, saya memutuskan api penyucian ini sudah cukup sebagai penebus segala kengerian yang saya saksikan tadi. Bakso akhirnya matang sempurna dan kami semua menikmatinya dengan suka cita.
Saya iseng googling (yang ini di google bukan bertanya tetangga) bagaimana cara menggiling bakso di tempat lain. Apakah sengeri pengalaman saya. Ternyata berdasarkan banyak testimoni memang sama.
Dari situ dapat saya simpulkan, lima dari sepuluh orang Indonesia kagum dengan Maudy Ayunda. Eh, bukan. Maksud saya penjual bakso di Indonesia menggilingkan baksonya dengan prosedur tidak higienis seperti yang saya saksikan itu.
ADVERTISEMENT
Entah kenapa saya jadi tenang karena kemungkinan tidak sendirian. Penikmat bakso dari seluruh kecamatan saya makan bakso dari penggilingan yang sama. Kalau keracunan pasti sudah sekecamatan. Nyatanya tidak.
Sampai di sini saya ingin mengeluhkan, tapi sama sekali tidak punya gagasan. Apakah saya harus mogok makan bakso? Atau meminta MUI memberi label “lumayan”atau “menjijikkan”kepada penggilingan bakso? Harusnya memang ada suatu standar tentang kebersihan dan higienitas penggilingan bakso.
Yang jelas, seharusnya prosedur penggilingan bakso di pasar tradisional tidak semengerikan itu.