Konten dari Pengguna

Angin Revolusi: Sebuah Usulan Narasi untuk Mahasiswa Indonesia

Miftah Rinaldi Harahap
Pegiat komunitas New Native Literasi, Gerilyawan Partai Hijau Indonesia, Instagram:@rinaldiharahap2023
12 November 2023 16:38 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa. Foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa. Foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tragedi Kanjuruhan sudah berlalu tetapi luka masih membekas di hati setiap anak bangsa. Namun, sepertinya para elite politik tidak terlalu mempedulikan hal itu. Mereka tetap saja larut dalam kesibukan memilih calon presiden dan wakil presiden jelang Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, para elite politik hari ini seperti tidak menggubris lautan aksi mahasiswa yang belakangan gencar menyuarakan penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Seperti angin lalu, para elite politik seolah ingin mengatakan kepada seluruh mahasiswa Indonesia yang turun ke jalan bahwa kalau mau perubahan maka tunggu sampai pemilu diadakan pada 2024.
Bukankah ini seperti penghinaan kepada seluruh mahasiswa Indonesia? Bukankah sejarah Indonesia telah menggambarkan dengan jelas bahwa kemerdekaan negeri ini diperoleh dengan munculnya kaum intelektual-penggerak yang kemudian merebut dan bukan menunggunya diberikan oleh para penjajah?
Ini adalah fenomena menarik melihat para elite politik tidak gentar menghadapi pelbagai macam aksi protes yang dilayangkan oleh para mahasiswa. Padahal seperti yang kita ketahui bersama setiap aksi protes mahasiswa selalu turun dengan massa yang sangat signifikan.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang menyebabkan para elite politik bersikap demikian? Apakah narasi yang disuarakan para mahasiswa belum cukup tajam untuk membuat para elite politik memenuhi pelbagai macam tuntutan yang disuarakan?

Pergulatan Mahasiswa Indonesia

Ilustrasi Demonstrasi. Sumber: shutterstock
Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah kita ulas bagaimana pergulatan para mahasiswa dalam membawa arus perubahan politik di Indonesia. Timeline sejarah Indonesia mencatat bahwa masing-masing angkatan dari pergerakan mahasiswa adalah suatu rangkaian dialektis yang selalu terhubung dari masa ke masa.
Onghokham (1977) menjelaskan, munculnya intelektual-aktivis ini bukan fenomena baru di panggung sejarah Indonesia. Boleh dikatakan, golongan muda ini muncul karena melihat peranan orang muda pada suatu peristiwa sejarah yang besar.
Angkatan 08 yang memantik kebangkitan nasional; Angkatan 28 yang menghasilkan konsep bangsa; Angkatan 45 yang menghasilkan konsep negara; Angkatan 66 yang meruntuhkan rezim orde lama dan kemudian mengantarkan bangsa Indonesia masuk ke rezim orde baru; Angkatan 98 yang meruntuhkan rezim orde baru dan kemudian mengantarkan bangsa Indonesia masuk ke alam demokrasi.
ADVERTISEMENT
Deretan peristiwa ini kembali mengingatkan kita kepada pendapat yang dilontarkan oleh Francois Raillon (1989) bahwa para pemuda yang sadar adalah generasi yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Mereka berhak untuk mengaktualisasikan kekuatan moral, mempunyai hak untuk mengambil inisiatif untuk menggugat generasi sebelumnya yang dinilai telah kehilangan idealisme dan integritas karena terlalu terlena dengan kekuasaan.
Melalui penjelasan sebelumnya, jelas terlihat bahwa mahasiswa Indonesia memiliki peranan penting dalam menentukan arah perubahan politik di negeri ini. Di masa lalu, para mahasiswa Indonesia semangat menggugat dan mampu untuk menciptakan konsepsi sekaligus momentum untuk melakukan perubahan. Namun, di masa sekarang, mahasiswa hanya memiliki semangat untuk menggugat tetapi kehilangan kemampuan untuk menciptakan konsepsi dan momentum perubahan.
ADVERTISEMENT
Keadaan mahasiswa saat ini bukanlah sesuatu hal yang baru, tetapi keadaan seperti ini telah ada sejak masa kebijakan NKK/BKK diterapkan oleh Daoed Yoesoef. Kebijakan ini dibuat oleh rezim orde baru untuk mematikan dinamika kampus dan meredam seruan perlawanan yang digaungkan oleh mahasiswa.
Selain itu, kebijakan ini juga membuat kampus pada akhirnya hanya melahirkan mahasiswa-mahasiswa oportunis yang hanya memikirkan soal kenyamanan, tidak kreatif, dan tidak memiliki pesona yang mampu untuk menjadi sumber inspirasi rakyat. Hal ini pula yang membuat mahasiswa tidak mampu untuk menempatkan diri sebagai sumber kekuatan moral dan kebijaksanaan. Sialnya, mereka juga dihinggapi oleh sikap konsumtif.
W.S.Rendra (1989) menjelaskan tentang kondisi mahasiswa dengan sangat gamblang; “Saya sering didatangi oleh mahasiswa untuk tukar pendapat. Mereka kebanyakan minta kepada saya untuk dapat membantu mereka menggerakkan massa. Wah, saya katakan kepada mereka, apa kalian sudah gendeng, minta saya membantu menggerakkan massa? Apa kalian sudah tidak punya lagi otoritas moral sehingga perlu bantuan pihak luar?Benar jika dulu saya terlibat aktif di masa pergerakan mahasiswa 78 ataupun masa sebelumnya mulai dari 1971, 1972, ataupun 1974. Tapi bukan mereka yang meminta saya atau memengaruhi saya. Tetapi saya sendirilah waktu itu yang terpengaruh oleh gerakan mereka.”
ADVERTISEMENT
Ia juga mengkritik bahwa gerakan mahasiswa tidak mempunyai arah dan tujuan yang jelas ketika bergerak. Seolah-olah gerakan mahasiswa sekarang cenderung hanya untuk ramai-ramai, asal ribut, kemudian dimuat di koran, dan puas.
Berefleksi dari deretan penjelasan sebelumnya, bukankah sebagian besar mahasiswa masih melakukan hal tersebut? Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa dewasa ini seolah hanya untuk setor muka ke jalan, lalu diakhiri dengan undangan ke pelbagai stasiun TV atau kanal YouTube.
Kemudian, pergi bertemu tokoh publik yang mungkin dulunya adalah aktivis mahasiswa, berbincang tentang problem-problem kebangsaan, lalu diakhiri dengan meminta bantuan kepada tokoh tersebut.
Belum lagi ketika kita melihat narasi-narasi yang dimunculkan oleh mahasiswa ketika turun ke jalan, bukankah tak ada narasi baru? Narasi yang dimunculkan selalu sama yaitu “reformasi.” Sialnya, narasi reformasi yang dimaksud tidak jauh-jauh dari pergantian kepemimpinan politik belaka.
ADVERTISEMENT
Bukankah, sudah saatnya mahasiswa muncul dengan narasi yang mampu mengubah tatanan sosial-politik yang sedang sakit parah ini? Jangan-jangan inilah yang menyebabkan para politisi tak tahu diri itu menganggap mahasiswa tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk melakukan perubahan sosial.
Dengan kurang ajar mereka menganggap mahasiswa hanya sekumpulan anak manja yang tak mampu mencipta konsep dan momentum. Lihat saja apa yang mereka lakukan! Di tengah problematika bangsa yang semakin kompleks disuarakan oleh mahasiswa melalui demonstrasi, elite politik tetap sibuk membicarakan soal kasak-kusuk politik jelang 2024.

Kembali ke Republik

Ilustrasi kembali ke republik. Foto: Unsplash.
Suka atau tidak. Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah tentang upaya untuk melepaskan diri dari belenggu feodalisme. Transformasi yang dilakukan dari pelbagai macam kerajaan ,lalu berubah menjadi bangsa, hingga menentukan sikap melahirkan sebuah negara adalah sederet upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Sepintas terlihat bahwa upaya tersebut berhasil, hal itu terbukti dari adanya transformasi secara institusional dan identitas. Namun, jika kita mencoba untuk menelisik lebih dalam lagi transformasi yang kita anggap sebagai bentuk dari keberhasilan tersebut, tidak lantas menghilangkan sikap – mental feodal rakyat Indonesia.
Jika membaca penjelasan sebelumnya, sejatinya mahasiswa tidak perlu bingung untuk menentukan apa sebenarnya problem utama bangsa ini. Mereka hanya perlu untuk menyempurnakan apa yang belum sempat disempurnakan oleh para pendiri bangsa. Tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah mahasiswa Indonesia mengetahui apa yang belum sempat disempurnakan oleh para pendiri bangsa ini?
Ketika melihat dan membaca pelbagai macam tuntutan yang dilontarkan mahasiswa ketika melakukan aksi, saya bisa menduga bahwa mahasiswa Indonesia tidak mengetahui secara persis tentang apa sebenarnya belum sempat disempurnakan oleh para pendiri bangsa ini. Oleh sebab itu, izinkanlah saya untuk menjelaskan kepada kawan–kawan sekalian tentang hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Mari kita mulai penjelasan ini dari perdebatan antara para pendiri bangsa terkait dengan bentuk negara di sidang BPUPK (Badan Usaha Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Saat itu ada dua konsep yang mengemuka di sidang BPUPK terkait bentuk negara yaitu monarki dan republik.
Sebagian besar tokoh menginginkan bentuk negara Indonesia adalah monarki dengan rasionalisasi bahwa konsep ini mengandaikan sebuah negara yang dipimpin oleh wali negara dan tidak bertentangan dengan perasaan rakyat.
Sedangkan, tokoh lainnya menginginkan bentuk negara Indonesia adalah republik dengan rasionalisasi bahwa konsep ini akan mengantarkan Indonesia ke dalam lembar sejarah baru yang tidak terikat dengan masa lalu, dan negara dibangun berdasarkan kedaulatan rakyat.
Silang-sengkarut perdebatan tentang bentuk negara ini pada akhirnya tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah, tetapi berakhir dengan voting yang pada akhirnya memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik. Terpilihnya republik sebagai bentuk negara dapat dimaknai sebagai sikap penolakan bangsa Indonesia terhadap konsep monarki.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hal ini juga dapat dimaknai sebagai keberhasilan dari bangsa Indonesia dalam melakukan transformasi. Tetapi seperti yang sudah saya sampaikan pada awal tulisan ini bahwa transformasi yang dilakukan hanya bersifat institusional dan identitas.
Institusional maksudnya republik hanya dipahami sebagai nama dari sebuah negara yang hendak merdeka. Sedangkan, identitas maksudnya republik hanya dipahami sebagai alat pembeda antara bangsa Indonesia dengan kolonialisme.
Patung Machiavelli pemikir konsep republikanisme. (sumber: www.pexels.com)
Melalui penjelasan tersebut terlihat bahwa pemahaman bangsa Indonesia tentang bentuk negaranya sendiri hanya berada di dalam taraf de jure dan gagal meneruskan ke tahap de facto yaitu memahaminya sebagai sistem filsafat politik. Secara filosofis negara yang memilih bentuk republik harus dikelola dengan menggunakan konsep republikanisme.
Dalam semesta filsafat konsep republik diartikan sebagai suatu komunitas politik bersama yang dikelola oleh pemerintah yang berasas hukum dan kesetaraan dengan tujuan mencapai kebahagiaan bersama. Sedangkan, republikanisme diartikan sebagai teori dan ajaran mengenai pemerintahan republik.
ADVERTISEMENT
Honohan (2002) menjelaskan bahwa republikanisme atau sering disebut juga sebagai civic humanism merupakan sebuah aliran dalam filsafat politik yang memiliki akar panjang. Para pemikirnya terbentang dari Cicero dan Aristoteles di era klasik, Machiavelli di era pencerahan, Rousseau di Prancis, Madison di era Revolusi Amerika, Hanna Arendt di abad ke-20, dan Michael Sandel di era Kontemporer.
Pada mulanya republikanisme berasal dari kodifikasi yang dilakukan oleh Cicero. Ia dipahami sebagai sebuah pandangan filsafat yang terlibat. Maksudnya, ia bukan hanya sebuah konsep semata-mata, tetapi juga merupakan manifestasi dari sebuah gerakan politik.
Dari masa ke masa, konsep republikanisme memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Van Gelderen dan Skinner (2002) menerangkan pada masa Aristoteles, republikanisme dimaknai sebagai prasyarat etik dari keterlibatan dalam “polis”, pada masa Cicero dimaknai sebagai suatu wilayah etis di mana politik mewujud dalam bentuk sempurna.
ADVERTISEMENT
Di era Machiavelli, republikanisme menjadi semacam prinsip kebebasan yang mendasari otonomi negara. Pada masa Rousseau, republikanisme menjelma menjadi prinsip kedaulatan yang menggantikan kedaulatan para raja. Kemudian, di wilayah Eropa, republikanisme menjadi semacam ideal yang menggaungkan demokrasi dan kesetaraan untuk menggantikan dominasi kaum monarki.
Melalui uraian sebelumnya, kita bisa memotret beberapa proposisi dasar di dalam konsep republikanisme, yaitu berorientasi kepada pemenuhan kebaikan bersama (common good), menekankan pentingnya keutamaan warga (civic virtue), menekankan perlunya peran partisipasi kewarganegaraan, adanya institusi politik, serta patriotisme. Coba perhatikan proposisi – proposisi ini dengan baik.
Kemudian, coba perhatikan Indonesia saat ini, saya yakin kita akan mendapati bahwa proposisi ini tidak ada di dalam gerak – gerik kita dalam bernegara. Sebab, seperti yang sudah saya sampaikan pada awal tulisan ini bahwa konsep republikanisme layu sebelum dikenal oleh bangsa ini. Ketiadaan proposisi ini pula yang menyebabkan feodalisme enggan menghilang dari alam pikiran rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka, saya ingin mengusulkan kepada seluruh mahasiswa Indonesia untuk mengaktifkan kembali republik dan republikanisme sebagai basis narasi perjuangan dan pergerakan untuk menuntut perubahan. Mahasiswa Indonesia harus mengambil peran meneruskan revolusi yang belum sempurna ini. Terakhir, izinkanlah saya secara tegas mengatakan kepada kawan – kawan mahasiswa sekalian bahwa masa depan kita ada di masa lalu kita. Res publica, res populi!