Konten dari Pengguna

Atas Nama Rakyat

Miftah Rinaldi Harahap
Pegiat komunitas New Native Literasi, Gerilyawan Partai Hijau Indonesia, Instagram:@rinaldiharahap2023
21 Oktober 2023 20:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa aksi demo buruh mulai bergerak dari Patung Kuda ke gedung International Labour Organization (ILO) jalan M. H Thamrin, Kamis (10/8/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi demo buruh mulai bergerak dari Patung Kuda ke gedung International Labour Organization (ILO) jalan M. H Thamrin, Kamis (10/8/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lihat. Bagaimana para tokoh yang digadang-gadang menjadi capres berkeliling ke seluruh pelosok negeri sembari menyembur-nyemburkan pelbagai macam olahan kalimat yang diakhiri dengan "Membawa kemajuan, kemakmuran, dan pelbagai macam keutamaan lainnya untuk rakyat." Mereka memposisikan diri sebagai juru selamat di tengah problematika multi-dimensional yang sedang dialami oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Sorak-sorai rakyat bergemuruh beriringan dengan senyum dan lambaian tangan dari mereka kepada rakyat. Mereka terlihat sangat menikmati suasana di mana rakyat adalah objek dan mereka adalah para penguasa dari objek-objek tersebut.
Cara pandang dari para tokoh yang memposisikan diri sebagai juru selamat bukan murni kesengajaan mereka. Tetapi memang pengetahuan yang tertanam di benak tentang rakyat selalu bermakna pasif. Pengetahuan mereka tentang kepasifan rakyat ini tidak terlepas dari sejarah panjang bangsa ini dalam memaknai konsep kewarganegaraan.
Membaca kembali lembar sejarah bangsa Indonesia dalam proses pemaknaan terhadap konsep kewarganegaraan sama dengan mempertegas siapa sebenarnya rakyat dan bagaimana geliatnya di dalam negara. Ini sekaligus ingin melacak pada masa apa konsep kewarganegaraan dimaknai secara pasif dan apa yang menyebabkan kepasifan itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Selain itu memaknai kembali konsep kewarganegaraan juga bisa menjadi peringatan kepada rakyat untuk lebih berhati-hati dalam mendengarkan olahan kalimat yang dilontarkan oleh para tokoh yang hendak menjadi penguasa di negeri ini.
Pada masa revolusi kemerdekaan, konsep kewarganegaraan Indonesia erat kaitannya dengan upaya untuk membangun sebuah demarkasi antara "Siapa Indonesia"(pro republik) dan "Siapa kolonial " (anti-republik). Soekarno pada masa itu berpidato tentang “character building” dan “Nation building” guna untuk memperkokoh identitas nasional kewargaan Indonesia.
Melalui pidato itu pula kita bisa melihat bahwa penegasan tentang demarkasi ini memberi penjelasan bahwa konsep kewarganegaraan Indonesia terbentuk dari pengalaman keterjajahan dan upaya untuk memerdekakan diri. Singkatnya, konsepsi ini dipahami sebagai nasionalisme.
Berbeda dengan masa revolusi, pada masa orde baru konsep kewarganegaraan lebih dimaknai sebagai bagian dari sistem yang dianut oleh negara. Dominasi negara terhadap pemaknaan konsep kewarganegaraan mengakibatkan konsep ini tidak lagi menjadi domain publik tetapi menjelma menjadi domain negara untuk memberi stempel kepada seluruh warga. Bahkan bukan hanya memberi stempel tetapi cara negara untuk meleburkan seluruh warga menjadi bagian dari negara.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk menjadikan warga sebagai bagian dari negara mengingatkan kita pada ide "Negara Integralistik" dari Soepomo. Ide fasistik ini menerangkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara demi menjamin keharmonisan umum. Ide ini secara tidak langsung menganggap bahwa rakyat tidak ada harganya atau hanya dianggap sebagai properti dari negara yang sewaktu-waktu bisa dilenyapkan jika dianggap mengganggu "keharmonisan umum."
Memasuki masa reformasi, penguasaan makna yang dilakukan orde baru mendapat interupsi dari gagasan-gagasan hak asasi manusia dan demokrasi. Kesadaran terhadap gagasan hak asasi manusia dan demokrasi mengakibatkan timbulnya keinginan untuk menghapuskan dominasi negara.
Warga menegaskan sikap bahwa mereka bukan objek pasif yang bisa dieksploitasi oleh negara. Tetapi mereka mempunyai inisiatif politik untuk ikut terlibat dalam negara dan menemukan konsepsi kewarganegaraan yang lebih otonom. Otonomisasi ini yang kemudian membuat warga memperluas diskursus terhadap konsep kewarganegaraan ke segmen ekonomi dan keadilan sosial, gender dan preferensi seksual, etnisitas dan ras.
ADVERTISEMENT
Kendati perluasan diskursus terhadap konsep kewarganegaraan bergeliat di ranah publik. Tetapi tetap saja kesadaran tentang perluasan ini tidak menyentuh seluruh warga. Kesadaran ini semakin terhambat karena para penguasa yang sedang-akan berkuasa masih terpenjara di dalam sikap mental fasistik orde baru. Jika anda ingin melihat bukti bagaimana sikap mental fasistik itu masih menguasai alam pikiran para penguasa yang sedang berkuasa cukup lihat bagaimana Watchdoc memvisualkannya melalui film dokumenter "Ekspedisi Indonesia Biru."
Lantas, apabila anda ingin melihat bukti sikap mental fasistik itu terpancar dari para penguasa yang akan berkuasa, maka lihat dari pidato-pidato bombas mereka yang selalu mengatasnamakan rakyat tanpa pernah dicurigai kata "rakyat" di situ mereka pahami dalam konsepsi kewarganegaraan yang seperti apa. Jika bukti tersebut tidak cukup meyakinkan anda maka lihat dari cara mereka memposisikan diri sebagai "juru selamat" dan anda adalah "objek" yang harus diselamatkan.
ADVERTISEMENT