Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Genealogi Ganda Politik
7 Desember 2023 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Arus deras politik kembali menambah citra–buruk politik di benak sebagian besar rakyat Indonesia. Dekadensi politik yang sudah–sedang terjadi kembali membuat sebagian besar rakyat bertanya-tanya, apakah memang seperti ini yang disebut dengan politik?
ADVERTISEMENT
Bertubi-tubi rakyat Indonesia dipertontonkan pelbagai macam bentuk akrobat politik yang terkadang sampai membuat rakyat heran dan terperangah. Bahkan, secara vulgar bisa dikatakan bahwa semakin rakyat memaknai politik maka semakin hilang pula harapannya terhadap politik.
Secara filosofis politik memang memiliki wajah ganda. Paul Ricoeur (1965) menyebutkan bahwa “politics only exist in great moment in crisis, a specifically political rationality and a specifically political evil.”Pandangan ini menyebutkan bahwa politik memiliki wajah ganda yaitu politik rasional dan politik durjana.
Politik rasional adalah wahana di mana terjalin hubungan antara manusia yang tidak tereduksi oleh konflik kelas atau kepentingan. Sedangkan, politik durjana adalah politik yang dimaknai sebagai wahana yang penuh dengan kedurjanaan dan permainan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Politik rasional dan politik durjana merupakan dua hal berbeda, tetapi tetap memiliki hubungan dialektis antara satu dengan lainnya. Maksudnya, dua hal ini berada di dalam suatu pergulatan yang sama dan berelasi secara paradoks antara satu dengan lainnya. Inilah yang disebut oleh Ricoeur sebagai political paradox yaitu adanya gerak pemisahan sekaligus penyatuan yang tidak habis-habisnya antara politik rasional dan politik durjana.
Selain, Paul Ricoeur, Nicolo Machiavelli (1978) juga menjelaskan tentang wajah ganda politik yaitu virtue dan fortuna. Virtue atau kebajikan dimaknai berbeda oleh rakyat dan elite. Virtue bagi rakyat adalah aktivitas kewargaan yang baik dalam rangka memelihara hukum dan tujuan republik.
Sedangkan, virtue bagi penguasa adalah keberanian untuk mengambil sikap tegas, determinan dan penuh dengan subjektivitas. Fortuna merupakan suatu kondisi ketidakpastian di dalam realitas politik.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap tindakan politis yang diambil oleh penguasa selalu berada dalam tarik-menarik antara virtue dan fortuna. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam tarik-menarik antara virtue dan fortuna, penguasa harus mampu mengambil sebuah keputusan penuh determinasi.
Melalui hal ini terbaca bahwa politik bukan tentang menerapkan prinsip-prinsip metafisik, melainkan bertindak melampaui yang tak pasti dan tak mungkin dengan segala konsekuensi yang harus diambil. Selain itu ini juga menegaskan bahwa penguasa dan rakyat selalu berada di dalam hubungan yang tidak bisa terdamaikan.
Sebab, virtue bagi penguasa adalah saat berani mengambil keputusan dengan penuh determinasi dan subjektivitas (memerintah dan menindas). Sementara, virtue bagi rakyat adalah hasrat untuk memelihara hukum dan tujuan republik (kebebasan).
ADVERTISEMENT
Realitas ini ditafsirkan oleh Claude Lefort sebagai awal pemahaman yang politik (le politique/the political), yaitu politik rasional dalam pengertian momen antara virtue dan fortuna yang tidak berdasar maupun dalam arti proses antagonisme yang tidak terdamaikan yang mendasari segala bentuk politik (Robet, 2021). Pocock (1975) menyebut ini sebagai “momen Machiavelli,” yaitu politik sebagai momen dalam arti kejadian yang melampaui politik sebagai kenyataan dan praktik rutin prosedural sehari-hari.
Laclau (1990) menegaskan bahwa "yang politik" berakar kepada ketidakmungkinan totalitas dalam struktur sosial secara umum. Sementara "politik" adalah residu dari "yang politik," ia adalah ampas yang tersisa setelah ketidakmungkinan dari "yang politik." Hal ini yang kemudian mengalami proses simbolisasi oleh tindakan dari para aktor-aktornya.
ADVERTISEMENT
Mouffe (2000) juga memberikan penegasan terkait hal ini, ia mengatakan bahwa "yang politik" adalah dimensi antagonisme yang inheren dalam relasi manusia, antagonisme ini dapat muncul dalam berbagai bentuk dan berbagai tipe relasi sosial.
Sebaliknya, "politik" adalah indikasi dari praktik, diskursus, dan institusi yang bermaksud untuk melanggengkan tatanan tertentu dan mengorganisir hubungan kerja sama antara manusia dengan syarat bahwa ia secara potensial selalu di pengaruhi oleh dimensi “yang politis”.
Melalui penjelasan ini terlihat bahwa memahami yang politis dan mengerti bahwa politik selalu berupaya untuk menyempitkan yang politis serta mencoba untuk mengaburkan potensi antagonistik dalam relasi manusia, maka kita dapat melihat persoalan fundamental dalam politik demokrasi. Secara tidak langsung, hal ini mempertegas demarkasi antara politik yang dipahami sebagai rutinitas sehari-hari dengan politik dalam pengertian esensial.
ADVERTISEMENT
Deretan penjelasan sebelumnya juga memberikan gambaran bahwa “yang politik” tidak terletak di dalam instalasi demokrasi kontemporer. Sebab, "yang politik" tidak pernah berada di dalam prosedur institusional tetapi berada di dalam keyakinan akan kejadian yang tidak dapat ditebak, diprediksikan, atau dikualifikasikan dengan perhitungan apa pun. Maksudnya, "yang politik" hanya bisa dialami dengan cara menerima dan meyakininya begitu saja.
Maka,bisa dikatakan bahwa pelbagai macam dekadensi politik yang sudah–sedang terjadi di dalam realitas politik Indonesia adalah “politik” yang merupakan ampas dari “yang politik”. Ia adalah manifestasi dari politik yang dipahami sebagai rutinitas sehari-hari dan terdeteksi melalui pemahaman terhadap "yang politik".