Konten dari Pengguna

Menyoal Sistem Patron-Klien di Indonesia

Miftah Rinaldi Harahap
Pegiat komunitas New Native Literasi, Gerilyawan Partai Hijau Indonesia, Instagram:@rinaldiharahap2023
6 April 2024 11:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pakibra mengibarkan bendera Indonesia saat perayaan HUT RI ke-78 di Colombo Sri Lanka. Foto: Dok. KBRI Colombo
zoom-in-whitePerbesar
Pakibra mengibarkan bendera Indonesia saat perayaan HUT RI ke-78 di Colombo Sri Lanka. Foto: Dok. KBRI Colombo
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah melihat baliho-baliho para tokoh politik yang bertebaran di sepanjang ruas jalan negeri ini, entah mengapa tiba-tiba satu pertanyaan penting terbesit di pikiran saya. Apakah sistem patron-klien di negara ini masih tumbuh subur? Bukankah Indonesia telah masuk ke dalam sistem demokrasi yang seharusnya mampu menghilangkan anasir-anasir patron-klien di dalam pentas politik Indonesia?
ADVERTISEMENT
Setelah jatuhnya rezim orde baru digantikan dengan rezim reformasi bisa dikatakan tidak semua hal buruk dapat dihilangkan. Salah satunya adalah sistem patron-klien.
Sebelum tulisan ini menjawab pertanyaan: apakah sistem patron-klien di negeri ini masih tumbuh subur? Saya perlu mengajak pembaca sekalian untuk melacak definisi dari istilah patron-klien dan bagaimana istilah tersebut bisa masuk ke dalam kosa-kata politik di Indonesia.
Dalam relasi patron – klien, patron selalu dianggap lebih dominan daripada klien. Sebab fungsi patron adalah memastikan keperluan dan kebutuhan dari klien selalu terpenuhi. Sebaliknya, fungsi dari klien adalah memastikan agar pelbagai tujuan dari patron bisa tercapai.
Dalam konteks politik, fungsi dari patron berbentuk proyek, pemberian barang, atau donatur yayasan. Sedangkan, fungsi dari klien berbentuk pemberian dukungan politik terhadap patron agar tujuan politiknya bisa terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Melalui penjelasan sebelumnya terlihat bahwa relasi patron – klien adalah upaya untuk memperluas pengaruh dan jaringan. Pengaruh dan jaringan yang luas berguna untuk mempertahankan posisi kekuasaan politik tertentu atau sebaliknya merebut posisi politik tertentu. Tentu, relasi patron – klien ini sangat berbahaya jika sudah merasuk ke dalam setiap sendi kehidupan bernegara karena relasi ini berpotensi untuk memproduksi pelanggaran hukum.

Patron-Klien Apakah masih Tumbuh Subur?

Dalam lembar sejarah Indonesia benih sistem patron – klien telah ada sejak masa kerajaan. Benih sistem tersebut ada di dalam aturan yang dibuat oleh Raja pada saat itu. Sebut saja seperti pemberlakuan aturan membayar upeti kepada Raja. Aturan pemberian upeti ini diberlakukan terhadap rakyat yang menggarap tanah-tanah Raja tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentu pada saat aturan ini diberlakukan rakyat tidak menganggap hal itu adalah aturan yang salah melainkan sebagai bentuk kewajiban kepada Raja. Namun, hal ini membentuk sikap feodalisme pada diri rakyat yang menjadi dasar dari terbentuknya sistem patron-klien. Sistem patron-klien menemukan momentumnya ketika masa orde baru.
Pada masa orde baru sistem patron-klien dimaknai sebagai sistem yang menunjukkan hubungan antara pengusaha dan politikus. Pada masa itu pengusaha berperan sebagai supporting system belaka dari jejaring politik dan ekonomi. Sebab pada saat itu pemerintah dihadapkan persoalan kekurangan modal sehingga pemerintah memberikan bantuan insentif kepercayaan kepada swasta (pengusaha) untuk bekerja sama dengan pemerintah.
Masa orde baru adalah masa di mana hubungan antara negara dengan pengusaha sangat harmonis. Pada masa itu modal, kontrak, konsesi, dan kredit diberikan negara secara langsung kepada para pengusaha.
ADVERTISEMENT
Pada saat inilah relasi patron-klien antara para pengusaha dan politikus juncto birokrat terbentuk. Seiring berjalannya waktu dan pertumbuhan kapital para pengusaha menjadi aktor-aktor belakang layar yang mengendalikan para politikus juncto birokrat dalam mengatur langkah taktis sebuah negara.
Setelah orde baru tumbang Indonesia memasuki masa reformasi, berbeda dengan masa orde baru yang hanya menjadikan para pengusaha sebagai pembantu dari balik layar negara, masa reformasi membuat para pengusaha mencuat ke publik sebagai lakon-lakon utama dalam negara. Tentu, masuknya pengusaha ke dalam dunia politik ada hal yang wajar tetapi bersama dengan itu menghadirkan problem baru.
Menurut koordinator Indonesian Corruption Watch, Ade Irawan, selama ini kedudukan para pengusaha dalam politik sering disalahgunakan untuk memperluas kepentingan bisnisnya, seperti memperluas akses serta pasar bisnis. Tentu pernyataan dari koordinator ICW tersebut mengingatkan dengan satu film dokumenter berjudul “Sexy Killer”. Film yang diproduksi oleh Watchdoc ini berhasil memotret bagaimana gurita bisnis para penguasa yang juga adalah pengusaha atau sebaliknya pengusaha yang juga adalah penguasa.
ADVERTISEMENT
Dari pelbagai macam penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya kita bisa merasakan bahwa sejatinya sistem patron-klien masih tumbuh subuh di negara ini. Lalu, apa penyebab hal ini masih terus berlangsung? Setidaknya ada tiga sebab mendasar yang menyebabkan hal ini masih terus berlangsung:
Lantas, sampai kapan keadaan seperti ini akan terus berlangsung? Setelah 78 tahun usia negara ini sudah saatnya kita menghilangkan sistem patron-klien yang telah lama bercokol dalam nadi bangsa ini. Tetapi ini bukan persoalan mudah sebab sebagian besar stakeholder, tokoh, dan para intelektual di negara ini masih terjebak dalam ambisi-ambisi jangka pendek.
ADVERTISEMENT