Konten dari Pengguna

Pondasi Republik: Perbedaan Hukum dan Peraturan

Miftah Rinaldi Harahap
Pegiat komunitas New Native Literasi, Gerilyawan Partai Hijau Indonesia, Instagram:@rinaldiharahap2023
6 November 2023 13:20 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Silakan sebut di dalam hati para pembaca sekalian berapa banyak undang–undang yang dihasilkan oleh para stakeholder mendapat protes dari rakyat karena dianggap tidak mampu untuk menghasilkan keadilan. Dalam tulisan ini saya sebut dua peristiwa yang paling mutakhir sebagai contoh; gelombang protes rakyat untuk membatalkan omnibus law dan revisi undang–undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
Melalui dua peristiwa ini saja kita tidak perlu heran, mengapa akronim “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah,”UUD (ujung-ujungnya duit),”atau “hukum bisa dibeli” tetap hidup di nadir setiap rakyat Indonesia. Hukum selalu mendapat preseden yang buruk di mata rakyat, akibat peraturan perundang–undangan yang jauh dari hakikat hukum itu sendiri.
Padahal hukum merupakan pondasi penting dalam sebuah negara republik. Dalam sebuah negara republik,ada beberapa pondasi penting yang mendasari di antaranya adalah politik dan hukum. Pemikir awal republik seperti Cicero mengatakan bahwa republik harus dimengerti sebagai sebuah bentuk kerangka kemitraan dari warga yang bersatu dalam sebuah bentuk kehidupan bersama yang diikat oleh hukum.
Pemikir republik lainnya seperti Aristoteles juga bertutur bahwa hidup yang berharga hanya diperoleh apabila dijalani dalam sebuah polis yang ditata berdasarkan hukum. Ia juga menambahkan hukum itu seperti kebijaksanaan tanpa nafsu.Oleh karena itu manusia akan lebih baik apabila diatur dan dikuasai oleh hukum dibandingkan oleh manusia yang lain (Robet,2021).
ADVERTISEMENT
Kemudian, dari uraian tersebut kita pun bertanya,apakah sebagai rakyat yang hidup dalam sebuah negara republik kita telah memahami secara paripurna hukum, peraturan, dan politik? Melalui tulisan ini saya akan menguraikan apakah yang dimaksud dengan hukum dan peraturan? Apa perbedaan keduanya? Serta, bagaimana persinggungannya dengan politik?

Hukum

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Ketika mendengar kata hukum,hal apakah yang terbesit di kepala anda? Apakah setumpuk peraturan membosankan yang diterbitkan oleh lembaga–lembaga pemerintahan?
Jika hal itu yang ada di pikiran anda, maka itu tidak salah karena memang sejauh ini hukum selalu dimaknai sama dengan peraturan. Tetapi apakah benar demikian?
Jika ingin menelisik hakikat hukum maka kita harus merujuk kepada filsafat hukum. Namun, sebelum kita masuk ke dalam topik utama tersebut. Biarlah saya menjelaskan secara sepintas kepada para pembaca sekalian tentang apa yang dimaksud dengan filsafat hukum. Agar kita mempunyai pijakan yang jelas untuk masuk ke topik utama. Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat tingkah laku yang mencoba untuk membahas mengenai epistemologi hukum, aksiologi hukum, ontologi hukum, dan teleologi hukum. Keempat hal yang ada di dalam filsafat hukum ini selalu berkaitan dengan moral dan etika (Erwin,2016).
ADVERTISEMENT
Topik utama yang menyoal hakikat hukum, jika ditinjau melalui filsafat hukum merupakan pembahasan di dalam ontologi hukum. Ontologi hukum merupakan bagian dari filsafat hukum yang membahas tentang hakikat hukum. Baiklah, mari kita mulai dengan membahas tentang apa itu hakikat?
Menurut Erwin (2016), hakikat adalah sebab terdalam dari adanya sesuatu. Hakikat juga berarti eksistensi dari segala sesuatu yang di dalamnya terdapat substansi dan aksidensi.Sementara itu, Aristoteles mengatakan hakikat mengajarkan kita untuk memisahkan antara substansi (yang hakikat itu) dengan aksidensi (kuantitas, kualitas, relasi, status, waktu, tempat, situasi, aktivitas, dan positivitas).
Melalui penjelasan tersebut bisa dikatakan bahwa hakikat hukum itu adalah substansi hukum.Substansi hukum itu adalah ajaran moral. Sampai pada penjelasan ini, mungkin anda belum bisa menangkap maksud dari penjelasan saya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, biarlah saya menjelaskan secara lebih terperinci mengenai substansi hukum tersebut. Nilai, etika, moral, dan hukum adalah empat hal yang mempengaruhi kehidupan manusia di dalam realitas. Realitas terdiri dari dua hal yaitu kebaikan dan keburukan. Dua hal ini membutuhkan alat sensor yang bernama nilai.
Nilai adalah sesuatu hal yang berada di dalam diri manusia yang berfungsi untuk mencari sesuatu hal yang berguna demi kebaikan hidup. Kemudian, untuk menelusuri hal yang berguna tersebut, manusia memerlukan etika. Etika adalah cara untuk mencari tahu mengapa hal itu disebut baik/buruk atau juga bisa disebut sebagai pemikiran yang ada dibalik baik/buruk.
Lalu, etika diterjemahkan menjadi ajaran moral. Ajaran moral adalah ajaran yang menetapkan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan guna menuntun manusia hidup dan bertindak menjadi manusia baik.Kemudian, ajaran moral inilah yang dibakukan menjadi hukum.
ADVERTISEMENT
Dari penjabaran sebelumnya bisa dilihat bahwa hukum mempunyai sifat tidak terbatas karena bersumber dari ajaran moral. Ajaran moral selalu bertumbuh dan berubah seiring dengan pergulatan manusia di realitas.

Peraturan

Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Menurut Erwin (2016), secara ontologis peraturan berasal dari kesepakatan yang merujuk pada dominasi penguasa. Oleh sebab itu, moral selalu sifatnya terbatas.
Kemudian, dengan mengatasnamakan kajian moral dibuat menjadi pedoman demi sebuah kepentingan. Lalu, pada akhirnya diharapkan hasilnya adalah rekayasa sosial.Peraturan juga bisa disebut sebagai generalisasi yang dipatutkan untuk menjadi standar mengawali adanya istilah “harus.”
Oleh sebab itu, peraturan selalu mengelaborasi pelbagai macam simbol-simbol hukum untuk menghasilkan sebuah sistem tertentu. Setiap peraturan selalu bersifat relatif, inilah yang menyebabkan sistem yang dihasilkan dari peraturan selalu rentan mengalami cacat hukum apabila sistem tersebut dijalankan atau diubah dengan tidak memperhatikan hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari sanalah muncul apa yang kita kenal dengan istilah “celah hukum” yang dianggap sebagai tanda kelemahan dari sebuah peraturan yang kemudian sering dimanfaatkan oleh seseorang untuk kepentingannya. Inilah yang mengharuskan peraturan harus terus berjuang untuk melengkapi dirinya dengan perkembangan dengan beragam pengetahuan universal yang semuanya tercakup dalam hukum.
Melalui penjelasan sebelumnya terlihat bahwa peraturan selalu terbatas karena dibuat hanya untuk mencapai suatu tujuan yang hendak dituju pada suatu waktu tertentu.Jadi,peraturan dibuat dengan mengesampingkan pelbagai macam perkembangan hal–hal baru yang mungkin akan diatur pada masa mendatang.
Keterbatasan ini yang kemudian akan menimbulkan masalah dihari depan karena para stake-holder dimasa mendatang belum tentu bisa memahami genealogi dari sebuah peraturan yang dibuat. Ketidakpahaman tentang genealogi tersebut akan mengakibatkan sebuah peraturan akan mengalami kematian. Kematian sebuah peraturan itu juga berarti kematian fungsi,sedangkan fungsi yang mati akan mengakibatkan isi dari peraturan yang disusun akan bias atau tidak fokus bahkan menyimpang dari pokok dan cita yang hendak dicapai.
ADVERTISEMENT

Perbedaan Hukum dan Peraturan

Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Pada penjelasan sebelumnya kita bisa melihat bahwa hukum merupakan konsepsi moral ideal-dinamis yang dihasilkan oleh manusia dengan maksud untuk mengantarkan mereka mencapai kebaikan. Sedangkan, peraturan merupakan manifestasi kesepakatan manusia atas pelbagai macam simbol–simbol hukum yang telah melalui mekanisme politik.
Oleh sebab itu, peraturan selalu bersifat terbatas dan tidak bisa dilepaskan dari dominasi penguasa yang menggunakannya untuk mengubah realitas sosial. Sedangkan,hukum akan selalu berpihak kepada kebenaran bukan kekuasaan.
Selain itu peraturan akan selalu bersifat relatif karena harus terus- menerus memperbarui diri mengikuti perkembangan dari hukum itu sendiri.Sebut tiga dari sekian banyak perkembangan hukum seperti legal theory Feminist,environmental law, dan animal rights. Bukankah, ini adalah perkembangan hukum yang terus selaras dengan pertumbuhan kesosialan manusia?
ADVERTISEMENT
Maka, mau tidak mau, setiap stake holder yang hendak ingin membuat sebuah peraturan harus mengikuti dan mempelajari dengan saksama pelbagai perkembangan hukum tersebut, karena jika tidak bisa dipastikan peraturan tersebut akan mengalami kecacatan.
Selain itu, uraian sebelumnya juga menunjukkan kepada kita bahwa medium dari hukum dan peraturan adalah politik. Politik sangat menentukan apakah sebuah peraturan dibuat dengan memperhatikan perkembangan hukum atau malah sebaliknya mengacuhkan perkembangan hukum tersebut.
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
Tentu, politik yang hanya dipahami sebagai cara untuk merebut kekuasaan dan bukan sebagai wahana untuk merawat keutamaan–keutamaan manusia seperti integritas,keberanian,keadilan, kebahagian,kebebasan, dan lain sebagainya akan menghasilkan peraturan–peraturan yang mengacuhkan perkembangan hukum itu sendiri.
Tentu inilah yang menjadi sebab utama dari buruknya hukum di mata rakyat. Preseden–preseden buruk seperti; ”hukum bisa dibeli,” dan “ujung-ujungnya duit (UUD)” akan terus terawat di alam bawah sadar rakyat.Hal inilah yang kemudian berimplikasi kepada sikap acuh tak acuh rakyat kepada stake holder yang membuat pelbagai macam peraturan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, izinkan saya menyampaikan bahwa peraturan yang memperhatikan perkembangan hukum hanya bisa dihasilkan dari ke-ideal-an politik. Ke-ideal-an politik yang dimungkinkan jika kita kembali mengaktifkan republik.